003

10.7K 572 9
                                    

Seperti kebanyakan orang yang membenci hari senin, Arson juga demikian. Dia bukan hanya malas mengikuti upacara, tapi juga ditambah ada mata pelajaran fisika di jam pertama dan biologi di jam kedua. Tiga hal yang sudah cukup untuk membuatnya sangat anti dengan hari senin.

Untuk menghindari upacara, Arson lebih memilih berpura-pura sakit dan mendatangi anggota PMR yang berjaga di baris belakang supaya dia bisa memisahkan diri dari barisan. Setelah anggota PMR mengantarnya menuju UKS, dia baru melipir pergi ke arah yang berlawanan untuk menuju ke belakang sekolah. Sebenarnya, dia juga tidak sudi pergi ke UKS karena di jam upacara seperti ini bisa dipastikan bahwa ruang kesehatan itu akan sangat penuh dengan banyak orang.

Di belakang sekolah, Arson langsung mengambil posisi bersandar pada tembok. Dia mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya kemudian membakar gulungan tembakau itu dengan pemantik sehingga menimbulkan kepulan asap yang menguap ke udara.

Arson menikmati setiap hisapan dari batang rokoknya sambil mengedarkan matanya ke segala arah sebagai bentuk waspada jika ada yang datang dan memergokinya.

Sebenarnya tidak akan ada orang yang sampai ke belakang sini, apalagi ketika jam upacara. Kecuali anak osis tentunya. Jika sedang bernasib sial, maka mereka yang merokok akan tertangkap oleh ketua osis yang sedang berpatroli.

Kresek.... Krek...

Arson menoleh dengan cepat ketika telinganya mendengar suara bising dari balik pohon. Dia meningkatkan kewaspadaannya, karena bisa gawat jika sesuatu yang berada di balik pohon itu adalah anak osis.

Dengan langkah hati-hati dan perlahan, Arson mendekat untuk memeriksa sumber bunyi tersebut. Dia terkejut sesaat setelah mendapati Devon yang ternyata berada di balik pohon dengan keadaan yang sedang tertidur pulas. Raut wajah Arson yang semula serius waspada, mendadak luluh dan tersenyum.

Arson melempar batang rokok yang baru saja terbakar setengah itu ke tanah, kemudian menginjaknya dengan ujung sepatu sampai nyala apinya padam. Dia lalu berjongkok untuk ikut menyamai posisi tidur Devon yang bersandar pada pohon.

Dalam diam, Arson mengamati Devon yang sedang tertidur begitu lelap tanpa terusik dengan kehadirannya. Dia memperhatikan postur wajah yang terlihat manis ketika dalam keadaan tidur. Mata bulat yang tertutup rapat, pipinya yang juga lumayan bulat sangat cocok dengan hidung dan bibirnya yang kecil.

Lucu. Satu kata yang sangat cocok untuk menggambarkan Devon sekarang.

Posisi tidurnya bahkan meringkuk nyaman dengan kedua tangan yang memeluk dirinya sendiri seakan sebagai bentuk perlindungan. Kepala Devon yang sedikit menunduk membuat rambutnya yang berponi menutupi seluruh keningnya bahkan nyaris menutup mata yang sedang tertutup dengan tenang. Devon terlihat begitu kecil dalam posisi ini.

Terus memperhatikan Devon membuat isi kepala Arson melayang pada kejadian malam itu. Gambaran tentang Devon yang menangis dan bertingkah seperti anak kecil tidak bisa hilang dari ingatannya.

Jika dilihat lagi, wajah dan postur tubuh Devon yang kecil memang masih sangat cocok jika bertingkah seperti kemaren itu. Justru malah sangat aneh kalau melihat Devon bertingkah urakan sebagai ketua geng seperti yang selalu dia lakukan. Wajah dan perawakan sama sekali tidak mendukung untuk berkelakuan nakal. Menurutnya, Devon lebih cocok jadi anak baik yang penurut dan lucu.

Lamunan Arson buyar ketika mendengar suara melenguh dari orang di depannya. Dia melihat mata Devon yang perlahan mulai terbuka, bersamaan dengan suara-suara dari beberapa orang yang sepertinya sedang berjalan kesini.

"Lo—emm"

Mulut Devon langsung di bekap oleh sebuah tangan besar ketika hendak menyuarakan keterkejutannya oleh kehadiran Arson. Devon jelas memberontak dari bekapan tangan Arson, tapi usahanya gagal.

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang