P E M B U K A

254 61 56
                                    

Semua orang sudah pergi. Kerabat, teman, tetangga, semuanya benar-benar tak lagi disini. Kini, hanya tinggal Nara seorang diri. Di rumah terakhir Mama, tangisnya pecah begitu saja. Air mata yang asin pun menyatu padu dengan derasnya sang permata langit. Hujan kali ini, entah mengapa begitu deras sekali.

"Tuhan ga adil banget sama kita, Ma...hiks..."

Nara tersedu-sedu. Pekatnya tanah hitam sudah mengotori bajunya yang putih. Mamanya pasti melihat keadaan dirinya kini. Namun karena dunia yang sudah tak lagi sama, omelan sang Mama hanya terdengar di angan-angan saja. Sangat tak mungkin lagi untuk menjadi nyata.

"Aku masih gakpapa kalau kehilangan anggota keluarga lain...hiksss...tapi kalau, Mama...hiks...aku gak bisa...gimana aku bisa hidup tanpa, Mama? Hikss..."

Gemuruh di atas sana kian kuat terdengar. Awan hitam yang bergerombol tak bisa ditampik untuk tidak menurunkan airnya. Bahkan sekarang, di sekitar tempatnya terduduk sudah tergenang air coklat. Pekatnya begitu kentara terlihat.

"Aku gak mau tinggal sama Ayah, Ma...hikss...Ayah...Ayah jahat."

Bunga-bunga segar yang tadi ditabur kini perlahan mulai meluruh dibawa air hujan. Sebanding dengan tangis sang anak puan yang tak kunjung mereda juga. Sesakit itu pengaruh seseorang kehilangan orang tercinta. Terlebih Mama.

Tes tes tes

Entah mengapa, hujaman bak batu yang sedari tadi menimpa, kini mendadak tak lagi terasa. Adakah seseorang yang tengah melindunginya dengan sebuah atap?

Maka untuk memastikan, Nara mendongakkan kepala. Terkaan yang tadi sempat bersarang di pikiran, akhirnya terjawab saat rupanya sang tetangga baru depan rumah adalah pelakunya. Sosok remaja laki-laki yang juga sama-sama mengenakan baju putih senada.

"Ayo pulang," ajaknya dengan nada lembut.

Nara mengusap wajahnya sekali. "Kamu duluan aja. Aku masih mau nemenin Mamaku disini."

Tak memberi jawaban apa-apa, Shaka--laki-laki itu justru hanya menatap lurus ke arah mata Nara yang memerah. Jelas, itu sebab karena dia menangis terlalu lama. Juga, bibir gadis itu sudah kelihatan pucat. Tak lagi pink alami seperti di hari-hari sebelumnya.

"Mama lo pasti gak suka liat anaknya kayak gini, Na."

Jederrrr

Gemuruh berlabuh. Suaranya yang kencang serta merta membuat Nara menutup telinga. Benci, dia sangat benci akan adanya gemuruh di tengah hujan yang tenang seperti ini. Perasaan takut akan merayapi diri untuk dirinya yang phobia gemuruh.

"Takut?" Shaka bertanya lagi. Sedikit memiringkan kepalanya guna melihat muka Nara yang tertunduk.

Yang ditanya tidak menjawab apa-apa. Hanya perlahan melepaskan bekapan tangan dari telinga setelah dirasa gemuruh benar-benar tak lagi ada.

"Kamu kalau mau pulang, pulang aja, Shaka. Aku masih mau disini."

Tak ingin memaksa lebih, dengan hela napas panjang Shaka akhirnya mengangguk mengiyakan. Namun sebelum dia meninggalkan Nara seorang diri lagi, laki-laki itu memberikan satu payung yang memang sedari tadi sudah ada dalam genggaman tangan kiri. Payung bening dengan tulisan hitam 'stay strong and live a good life' yang tertempel cantik di salah satu panelnya.

"Seenggaknya dengan ini lo bisa terhindar dari sakit."

Netra teduh milik Shaka menatapnya begitu lama. Sampai akhirnya laki-laki itu sendiri yang memutuskan untuk mengganti alih pandang. Sambil menggoyang-goyang kecil payung yang belum Nara ambil dari tangannya.

"Makasih," bibir Nara yang kian pucat itu mengutas senyum.

"Hm. Kalau gitu gue pulang dulu. Lo jangan lama-lama disini. Payung emang bisa lindungin lo dari hujan. Tapi payung gak bisa lindungin lo dari angin yang dingin. Jadi cepat pulang supaya lo gak sakit."

Mendengarnya, Nara lantas mengangguk lamat-lamat.

Setelah dirasa tak lagi ada yang perlu dibicarakan, Shaka dengan langkah pelannya menjauhi area pemakaman. Saat hampir mencapai gapura, laki-laki itu tiba-tiba saja berhenti berjalan. Dirinya kembali berbalik arah hanya untuk melihat sekali lagi punggung Nara yang masih terlihat dari tempatnya berdiri kini.

"Gue harap lo kembali baik-baik saja setelah ini, Na."

Disela rintik hujan yang jatuh kian gaduh, pun ditemani gemuruh yang kian saling sahut-menyahut, Shaka akhirnya benar-benar beranjak pergi dari sana. Bersama dengan pikiran yang tak henti-hentinya memikirkan gadis itu.

___

Jangan lupa vote ya senggg

Satu vote dan komen dari kalian sangat berharga untuk aku yang baru
nulis ini🙏

Sudah vote?

Oke terimakasih banyak 🙏

About Us Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang