"Na, lo diapain aja sama Ayah lo semalem? Hah?"
Baru saja Nara menginjakkan kaki di ambang pintu kelas, Senja yang semula duduk di bangkunya langsung berlari ke arah Nara begitu ia tiba. Jemari-jemari Senja yang mungil bertengger di bahunya. Menggoyangkannya ke kanan dan kiri. Raut khawatir tersirat di wajah Senja yang manis.
"Aku oke kok, Senja. Cuma sempat kena tampar aja dikit." Nara tersenyum sambil menunjuk pipi sebelah kanannya. Ruam merah tipis-tipis masih kentara terlihat disana.
Arunika Senjani, gadis bersurai pendek sebahu itu menghela napas lega. Meski pertemanan mereka baru berjalan setahun lebih lamanya, ia dan Nara sudah saling tau hal pribadi seperti keluarga misalnya. Tentu, sikap Ayah Nara yang gadis itu ceritakan kepadanya, sering kali membuat Senja merasa iba. Temannya itu begitu malang soal keluarga.
"Syukurlah, seenggaknya lo gak di perlakukan lebih dari itu. Tapi yang namanya orang kena tampar, sakitnya bukan main loh, Na."
Lagi-lagi Nara tersenyum. Gadis bersurai hitam yang kali ini diurai lengkap dengan bando coklat tua, langsung menggaet lengan sang teman untuk masuk ke dalam kelas.
"Udahlah Senja. Aku kan udah bilang kalau aku gakpapa. Biasa kalau soal di tampar mah. Udah makanan sehari-hari aku sejak kecil, haha..."
Senja tau. Bahwasanya tawa yang terselip di ujung kalimat itu, adalah seutas tawa kesedihan yang tak bisa diutarakan secara cuma-cuma olehnya.
Begitu sesaat Nara sudah duduk bangku besi miliknya, sesosok taruna bersurai hitam datang menyapa. Berdiri disamping Senja yang masih belum juga pulang kembali ke bangkunya.
"Selamat pagi, Naraya."
Kalendra Nawasena namanya. Senyum yang dia patri begitu manis terlihat. Sangat cerah laksana mentari yang bersinar terang pagi ini. Dia memang begitu, ramah sekali orangnya.
"Pagi juga Kalen." Nara membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya.
"Nara doang yang disapa nih? Kok gue enggak? Berasa jadi makhluk gaib gue." Senja menunjuk dirinya.
Hanya dengan reaksi begitu saja, Kalendra dibuat tertawa ringan olehnya. Laki-laki itu lantas menyenggol lengan Senja dengan sikunya. "Yaelah, baru nyadar lo kurcaci?"
Kedua mata Senja melotot. "Apa kata lo?!"
Kalendra kembali cekikikan. "Canda gue. Serius amat sih lo."
Disaat Senja merengut karena perkataan Kalendra kepadanya, Nara justru hanya geleng-geleng kepala.
"Permisi, yang namanya Kak Senja disuruh Pak Jejen ke ruang guru sekarang."
Seseorang yang berdiri di muka pintu, sontak membuat sang pemilik nama menoleh ke arahnya. "Ngapain?"
Adik kelas berambut cepak itu mengedikkan bahu. "Gak tau, Kak. Saya cuma disuruh nyampein gitu aja."
"Oke, makasih, ya."
"Sama-sama, Kak."
Dia pergi. Pun dengan Senja yang turut keluar tak lama setelahnya. Tentu, gadis itu berpamitan dulu pada Nara. Kini, hanya tinggal Nara dan Kalendra yang masih betah berdiri di sisi mejanya. Entah apa yang ingin laki-laki itu bicarakan lagi. Gelagatnya nampak jelas bimbang dan ragu.
"Hm, Na. Pulang nanti mau temenin gue gak?"
Alis Nara saling bertaut. "Kemana?"
"Cari hadiah buat adek gue. Dia ultah hari Minggu ini."
"Kalau pulang nanti gak bisa deh, Kal. Soalnya aku harus kerja sampai malam. Gimana kalau malam Sabtu?"
Mendengarnya, Kalendra tersenyum senang. "Oke gakpapa. Duh, gue jadi gak enak ngerepotin lo. Soalnya demi apapun, gue gak tau hadiah yang pas buat bocil betina. Ada tahun lalu gue beliin adek gue boneka babi yang lucu banget. Gue pikir pas gue kasih, dia bakal suka. Eh, taunya malah di bejek-bejek."

KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Novela JuvenilSejak sore yang temaram hari itu, Shaka benar-benar tidak lagi mengusik gadis itu. Tidak lagi menghubunginya, tidak lagi bertegur sapa dengannya, tidak lagi pergi ke rumahnya, semuanya Shaka tahan meski ia ingin sekali berbicara panjang lebar sepert...