08. Shaka Salting

76 15 0
                                        

Shaka kira hujan tidak akan berlangsung lama. Tau-taunya, sampai bel pulang sekolah berbunyi gerimis tipis-tipis masih belum juga mereda. Shaka menerawang ke luar jendela. Melihat daun bunga merah di depan kelas yang dihujam air hujan. Biasanya jika dalam situasi seperti ini, Shaka akan bergelung manja di dalam selimut. Makan mie soto buatan Bang Heksa saat suasana lagi dingin-dinginnya. Juga ditemani cerita hangat Mama yang dia dapat dari gosip ibu-ibu komplek.

"Jev, lo bisa nyapu ga sih?! Itu di bawah meja guru masih ada debu!"

Ketika suara Jekiwira terdengar, Shaka langsung mengalihkan perhatiannya. Melihat kedua sahabat karib yang kini sedang sibuk menata kelas supaya rapi (sebab mereka berdua adalah petugas piket esok hari) dengan Jevan yang kebagian alih menyapu, dan Jekiwira yang mengangkat bangku.

"Banyak bacot lo, Jek. Udah untung gue sapu!" Jevan memasang tampang jengkel. Namun tetap menuruti apa yang Jekiwira katakan.

"Udah untung, udah untung, yang ada kalau lo nyapu ga bersih kita bisa dimarahin Yumi. Lo kan tau sendiri cewek Jepun itu kalau ngamuk kayak gorila lepas kandang."

"Ya tinggal dikandangin lagi lah! Apa susahnya."

"Lo berdua gak bakal selesai cepat kalau asik ngomong terus. Buruan kerjain. Gue bantuin," kata Shaka. Laki-laki itu duduk anteng di atas meja dekat pintu kelas.

"Bagus-bagus, lo bantu--"

"Gue bantu liat aja sih."

Reaksi ngebug dari kedua sahabatnya lantas membuat Shaka tergelak. Terlebih Jevan, laki-laki itu sudah memasang tampang sedatar trotoar jalan. Terlihat sekali ingin melempari Shaka dengan sapu di genggaman jemarinya.

"Canda, aelah!"

Shaka turun dari atas meja. Namun nasib mulusnya untuk hari ini tidak berjalan baik. Tong sampah kecil yang ada di dekat kakinya ter-tendang secara tidak sengaja. Isi yang ada disana jelas berhamburan. Sialnya lagi, sampah bekas es cekek rasa anggur ikut mengalir keluar. Demi Tuhan, Shaka ingin mengumpati teman sekelasnya yang tidak menghabiskan minuman itu. Tidak peduli apa jenis kelaminnya.

Namun ada yang lebih penting dari hal diatas. Beralih pandang dari lantai, Shaka lantas memandangi Jevan dan Jekiwira pelan-pelan. Bila mereka kini ada di dunia kartun, Shaka yakin sekali kalau kepala kedua temannya akan mengeluarkan api yang tebal asapnya.

Siapapun tolong ubah Shaka jadi ubi kayu. Setidaknya bila dibanting, tubuhnya tidak akan lembek seperti ubi ketela.

"Gue boleh balik sekarang gak sih?"

"Boleh. Bolehhhhh bangetttt. Asal lo, bersihin itu dulu. S.e.k.a.r.a.n.g." Jevan berkata penuh tekanan. Sambil menunjuk sampah-sampah di lantai dengan ujung sapu ijuk yang masih lebat bulunya.

Aish! Kalau boleh jujur, Shaka malas sekali. Apa ia melarikan diri saja?

Itu lebih baik. Mengerjai kedua temannya berkali-kali tidak lah masalah.

Tiga detik dalam keheningan, Jekiwira dan Jevan masih melirik Shaka dengan tatapan tajam. Tanda menyuruh laki-laki itu untuk segera membersihkan ulah yang dia buat.

"KABURRRR!"

Harusnya Jekiwira dan Jevan tidak diam saja. Sudah menduga hal ini akan terjadi, sebaiknya tadi mereka copot sebelah sepatu Shaka sebagai jaminan. Supaya laki-laki itu tidak melarikan diri seperti sekarang. Ini bukan lah pertama kalinya si Shakarudin itu menguras emosi. Jevan sudah hampir darah tinggi dibuatnya.

"KAMPRETTT!" Jekiwira menyusul dengan gerakan kilat. Nyaris seperti pelari maraton yang kesetanan.

"SHAKA BABI! WOYYYY!" sedangkan Jevan di belakang Jekiwira. Sambil mengacungkan sapu berulang-ulang kali. Sampai ia sadar untuk akhirnya meninggalkan sapunya dengan cara melempar dari kejauhan. Biarlah penjaga sekolah yang nanti memasukkannya ke dalam kelas bila seandainya nanti mereka tidak kembali lagi. Sekarang, mengejar Shaka si kampret adalah hal terpenting.

About Us Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang