Halo
Aku update lagi nih hihi
Dan kemungkinan hari ini aku bakal double update
So, jangan lupa buat votenya biar aku semangat nulis
Sekian dari aku
Terimakasih 🙏🏻
•
•
•
Langit berubah mendung dalam sekejap. Di atas sana, awan kelabu berarak. Mengusir jauh-jauh awan putih yang semula bertebaran di setiap ruas nabastala.
Disini, di gundukan tanah ini, Nara duduk berlutut. Menatap sendu ukiran nama Mama dalam tangis yang tak kunjung mereda sejak beberapa menit yang lalu. Air matanya memang berjatuhan, tapi ia sama sekali tidak merasakan bahunya bergetar karena menahan tangis. Justru, Nara membiarkan dirinya menangis tanpa suara.
"Assalamu'alaikum, Ma. Aku datang lagi. Maaf kalau akhir-akhir ini aku jarang ngunjungin Mama," akhirnya Nara terisak. Bibirnya ia paksa mengukir senyum. Semata-mata untuk menguatkan hatinya yang pilu.
"Mama tau nggak? Dua minggu lalu Ayah pulang ke rumah. Ayah jahat, Ma. Ayah hancurin bunga Anyelir pemberian dari Mama. Boleh nggak, Ma? Kalau aku benci sama Ayah?"
Angin berhembus. Menggugurkan daun-daun mangga yang berada tidak jauh dari pusara Mama. Dingin menyergap kulit. Sepertinya hujan akan hadir sebentar lagi.
"Sekarang, bunga pemberian Mama aku tanam dari awal. Aku rawat ulang sampai dia benar-benar secantik waktu Mama kasih ke aku dulu. Semoga berhasil ya, Ma. Aku nggak mau hadiah terakhir dari Mama kenapa-kenapa. Aku sayang bunga itu kayak aku sayang sama Mama." Nara merasa, air matanya tidak mau berhenti berjatuhan. Terus-terusan mengalir setiap ia mengatakan kata demi kata.
Sakit. Sesak. Perih. Semuanya menyatu padu. Membentuk koalisi yang menyesakkan dada.
Maka kala gerimis mulai turun tipis-tipis, Nara akhirnya membiarkan dirinya di terpa permata langit. Enggan beranjak meski rintik kian berubah menjadi hujaman yang deras. Ia kebasahan. Tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin menuntaskan rasa rindu. Bercerita panjang lebar tentang apa yang di pendam hatinya.
Hujan kini seolah menusuknya dalam-dalam. Membuatnya kesakitan bukan main. Senada dengan hatinya yang semakin sesak. "Hiks...hiks...Nara kangen Mama." katanya seraya memukul dada sekencang-kencangnya.
Akhirnya. Nara benar-benar enggan membawa dirinya beranjak dari sana. Biarlah hujan membasahi bajunya. Biarlah hujan mengotori bajunya. Dan biarlah hujan membelai tubuhnya hari ini. Nara, ingin disini lebih lama. Bersama rasa sesak yang kian menjadi-jadi.
___
Shaka baru saja keluar dari minimarket saat gerimis turun mendesak tanpa pemberitahuan. Pejalan kaki yang berlalu-lalang mulai memacu langkah kesana-kemari. Mencari tempat berteduh sebelum gerimis menjelma menjadi hujan yang deras.
Remaja laki-laki itu berdecak. "Tck! Tau gini tadi mending terima tawaran Mama buat bawa payung pelanginya."
Menyesal kemudian. Shaka mengalaminya detik ini. Hanya karena warna mentereng dari payung milik Mama, Shaka jadi malas membawa benda itu bersamanya. Padahal kalau ia menurut, dirinya bisa selamat dan pulang dengan cepat. Apalah daya. Akhirnya, Shaka merutuk dalam hati. Kalau pulang pun, ia pasti akan tetap kebasahan. Meneduh sementara bukan lah pilihan yang buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen FictionSejak sore yang temaram hari itu, Shaka benar-benar tidak lagi mengusik gadis itu. Tidak lagi menghubunginya, tidak lagi bertegur sapa dengannya, tidak lagi pergi ke rumahnya, semuanya Shaka tahan meski ia ingin sekali berbicara panjang lebar sepert...