Halooo
Jangan lupa vote yaa
Terimakasih 🙏🏻
•
•
•
Sore hari di waktu pulang sekolah, cuaca tiba-tiba berubah mendung dalam sekejap. Shaka baru saja kembali dari kelas setelah mengambil bukunya yang tertinggal dalam laci. Sekolah sudah sepi, tentu, karena anak-anak sudah bergegas pulang sejak beberapa menit yang lalu. Jevan dan Jekiwira juga pasti telah meninggalkan Shaka, sebab Jevan tadi katanya sempat kebelet berak. Tapi entahlah, ia tidak yakin apakah mereka masih ada di parkiran atau tidak.
Shaka bergegas melewati koridor kelasnya di lantai dua. Namun saat suara canda tawa di lapangan utama terdengar, langkah kaki Shaka berinisiatif untuk berhenti. Ia mendekati dinding pembatas, menatap dua muda-mudi yang kini saling berebut bola basket di tangan sang laki-laki.
Semesta hari ini menyaksikan bagaimana seorang anak laki-laki yang sedang patah hati, bagaimana caranya menatap sendu di tengah mendungnya langit kelabu, semesta agaknya tahu situasi tentang bagaimana dia harus berlaku. Detik yang sama, gerimis mulai turun tipis-tipis. Namun perlahan-lahan berubah menjadi ringan hujan yang lebat.
Kalendra dan Nara yang semula asik berjibaku dengan bola basket, lantas segera menepi dengan jemari yang menutupi kepala. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Sepertinya menertawakan kebodohan yang baru saja mereka buat. Tanpa tahu, bahwa ada seorang anak laki-laki yang sedang teriris miris disini.
Dari atas, Shaka mengamati. Entah apa yang keduanya bicarakan di bawah, tidak terdengar sama sekali, sebab dikalahkan oleh kerasnya bunyi hujan yang berjatuhan di genting.
Detik-detik berlalu, sampai akhirnya Shaka melihat Nara bersama Kalendra meninggalkan koridor kelas X. Berlari menembus hujan untuk sampai ke area parkir. Sudah dapat ditebak akan topik yang tadi mereka bicarakan, pasti tentang apakah mereka harus meneduh atau menembus hujan. Dan Shaka tahu, pilihannya jatuh pada opsi kedua.
Romantis sekali, ya. Berdua menembus hujan, di tengah kota Jakarta yang dingin dan padat.
Shaka menghela napas ringan. Ternyata, ada yang lebih sakit dari sekedar putus dari mantan. Melupakan orang yang belum sempat dimiliki, itu ternyata jauh lebih sulit.
Dan sayangnya, Shaka sudah mengalami itu dua kali.
Pada Rain, dan kali ini pada Nara.
___
Belakangan terakhir ini, Shaka benyak melamunnya. Namun, di hadapan orang-orang, ia masih tetap Shaka yang lama. Shaka yang ceria, Shaka yang lawak, dan Shaka yang senang bercanda. Topeng yang ia pasang benar-benar berhasil menipu. Ia saja sampai merasa bangga!
Ngomong-ngomong, tentang pekerjaan Ayah tempo hari, sampai saat ini beliau tak kunjung mendapatkan pekerjaan baru. Dan toko kue Mama, juga sepi pembeli dari beberapa hari yang lalu. Mungkin karena salah satu tetangga komplek sebelah juga membuka usaha yang sama, pelanggan Mama jadi sedikit berkurang.
Sore hari ini, cuaca sedikit temaram. Shaka jadi teringat obrolan terakhirnya dengan Nara pada suatu penghujung sore. Hingga kini, percakapan itu mungkin jadi yang terakhir. Sebab setelahnya, mereka tidak pernah lagi saling bertegur sapa. Bahkan kemarin, saat Mama menyuruhnya mengantarkan kue ke rumah gadis itu, Shaka langsung menolak mentah-mentah.
Akses berhubungan dengan Nara sudah Shaka tutup rapat-rapat. Biarlah, semesta yang mengatur baiknya bagaimana. Ia hanya perlu mengikuti alur yang terus berjalan.
"Ka! Ayo ikutan main lah! Bosen bareng Jevan mulu!" kata Jekiwira, sedikit berteriak.
Seperti biasa, rumah pohon adalah tujuan paling dinanti sehabis pulang sekolah. Dan sekarang, melihat bagaimana dua sahabatnya bermain bola basket di bawah, Shaka terkekeh. "Nggak mau ah! Ntar gue capek!"
Dapat Shaka lihat, Jekiwira mendengus. "Jangan lebay deh! Lo kan bukan orang sakit!"
Yang praktis melunturkan senyum Shaka dalam sekejap. Ia menarik sudut bibirnya kemudian, lantas meletakkan gitar milik Jevan yang tadi sempat ia pangku. Lalu bergerak cepat menuruni tangga rumah pohon. Bergabung dengan kedua sahabatnya untuk bermain bola basket.
Jekiwira tertawa saat bola yang ia lempar tidak mendarat sempurna, bukannya masuk ke dalam ring, bola itu justru terpental mengenai kepala Jevan yang ada di bawahnya.
"Hahaha, lo ngapain sih diem disitu." Jekiwira tergelak bukan main. Shaka pun sama halnya. Berbanding terbalik dengan Jevan yang justru terlihat marah.
"Si anjing! Gue lagi gak fokus karna dengerin klaksonnya Mang Ucup!" Jevan mendengus.
Bang Ucup--penjual cilok keliling yang setiap hari melewati komplek. Selain rasa ciloknya yang nampol di lidah, serta bumbu kacangnya yang menggugah, harganya pun juga murah meriah.
"Kenapa? Lo mau beli? Bayarin kita tapi?" Jekiwira terkikik.
Yang langsung Jevan setujui dengan mudahnya. "Gas!"
"Anjir beneran lo?!" Shaka heboh sendiri. Sebenarnya, ini bukanlah yang pertama Jevan jadi biang bandar. Hanya saja, tidak bereaksi kaget rasanya seperti ada yang kurang.
"Kapan gue bohong?" tanya Jevan. Lalu berlari lebih dulu meninggalkan dua sahabatnya. Semoga Mang Ucup belum jauh dari rumah Shaka. Tadi ia seperti mendengar motornya berhenti di dekat rumah Erlan--bocah bule Canada yang lahirnya di Bojong.
Jekiwira menyusul Jevan. Berlari kencang untuk mendahului anak blasteran Amerika itu. Sementara Shaka masih bergeming di sana. Menatap kedua sahabatnya yang saling kejar-mengejar. Entah mengapa, sesuatu yang sesak tiba-tiba merambat menusuk dada. Shaka merasa sendu di lubuk hatinya.
Jika ia pergi nanti, apa kedua sahabatnya masih bisa bersikap seperti ini? Apa mereka masih senang bermain basket setiap hari tapi tanpa dirinya? Untuk itu, Shaka beralih melirik ke belakang. Menatap rumah pohon milik mereka yang terlihat masih begitu kokoh.
Suatu hari nanti, rumah pohon itu akan kehilangan satu penghuninya.
Shaka menunduk. Tanpa sadar ia sudah menangis.
"WOY, KA! BURUAN!" itu suara Jekiwira, yang berteriak dari kejauhan.
Remaja laki-laki itu menghapus air matanya. Lalu berbalik ke belakang lagi, seraya berkata. "IYA, BENTAR!"
Dan kemudian, Shaka mematut langkahnya untuk menyusul kedua sahabatnya di sana. Dalam hati ia bersyukur banyak.
Penyakit sialan itu, tidak kambuh lagi hari ini.
___
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Novela JuvenilSejak sore yang temaram hari itu, Shaka benar-benar tidak lagi mengusik gadis itu. Tidak lagi menghubunginya, tidak lagi bertegur sapa dengannya, tidak lagi pergi ke rumahnya, semuanya Shaka tahan meski ia ingin sekali berbicara panjang lebar sepert...