02. Kembali Pulang

171 55 55
                                        

Tak seperti di malam sebelumnya yang cerah dengan taburan bintang-bintang, malam kali ini nampaknya agak sedikit berubah 180 derajat, kelabu dan gelap. Nara masih bekerja di cafe Cendana sewaktu hujan perlahan-lahan menjatuhkan dirinya dengan gaduh.

Sebelumnya sudah Nara bilang kan, kalau hidupnya tanpa Mama akan lebih sulit dan semakin rumit. Dirinya yang masih remaja harus bekerja banting tulang supaya bisa makan dengan baik. Mengharapkan nafkah dari Ayahnya? Huh, meskipun beliau memberinya, Nara sampai kapanpun tidak akan pernah mau menerimanya. Sebab ia tau, itu pasti hasil jerih dari perbuatan haram.

Sejak kecil Ayahnya memang seperti itu. Nara sendiri heran, kenapa Mama mau menikahi pria hidung belang seperti Ayah. Ibaratkan disandingi dengan Anjing, hewan itu mungkin jauh lebih baik ketimbang kelakuan Ayah yang sangat tidak beradab.

Perihal Cafe Cendana, Nara sudah menjadi pekerja paruh waktu disini sejak tiga hari setelah kepergian Mama. Yah, yang namanya pekerja paruh waktu pasti gajinya tidaklah seberapa. Oleh karenya, Nara juga mencari pekerjaan tambahan di waktu penghujung pekan. Yakni setiap hari Minggu ia jadi jadi kurir pengantar bunga.

"Kamu belum pulang, Na? Jam kerja kamu kan udah habis?"

Saat suara Suzy-rekan kerja yang lebih tua empat tahun darinya itu menyapa dengan tepukan di pundak, Nara sedikit terkesiap. Rupanya sedari tadi ia melamun cukup lama di wastafel.

"Eh, iya, Mbak. Iya ini aku mau segera pulang kok." Nara melepaskan apron merah tua yang biasa para pegawai pakai selama bekerja. Dia menggantungnya di ruang ganti ujung dapur.

"Kamu ada bawa payung? Diluar udah hujan soalnya."

"Ada kok, Mbak. Emang udah siap siaga kalau soal itu, mah. Kan sekarang udah masuk bulan Oktober. Pastinya hujan bakalan sering turun. Ya, udah. Kalau gitu aku duluan ya, Mbak."

Suzy mengangguk. Dia melambaikan salam perpisahan sebelum Nara benar-benar hilang dari balik pintu dapur.

Ngomong-ngomong, payung yang Nara pakai kini adalah payung yang Shaka berikan tempo hari. Ia sudah mengembalikannya pada sang pemberi, tetapi justru laki-laki itu malah menolaknya dengan halus. Katanya, 'ambil aja payungnya, gue gak butuh payung jelek kayak gini' sekiranya begitulah.

Nara sendiri awalnya segan menerima. Tapi karena Shaka bilang kalau Nara tidak mau, lebih baik payungnya di buang saja. Sudah Shaka tegaskan bahwa dia tidak suka dengan warna payungnya yang bening membosankan.

Ahh, laki-laki itu memang aneh. Masalah warna saja dipermasalahkan. Jadi daripada mendarat di tong sampah, Nara akhirnya menerima payung ini. Dan, rupanya ada gunanya juga sekarang.

Jarak cafe Cendana dari rumahnya tidak terlalu jauh. Itu sebabnya Nara memilih untuk berjalan kaki saja. Jalanan trotoar pun masih terbilang ramai dilalui pejalan kaki lainnya. Jadi Nara tidak perlu merasa cemas berlebihan bila dibuntuti orang asing.

Hah, pede sekali, emang ada yang mau dengannya?

Drrtt

Senjaaa is calling....

Nara terkekeh saat sang membaca nama sang penelepon. "Pasti ni anak mau nanyain PR."

Sambungan saling terhubung.

"Ha--"

"Na! Buruan pulang sekarang! Ayah lo ada di rumah!"

Tut

Detik itu juga, kedua kaki Nara rasanya mati rasa. Ditengah lalu-lalangnya orang-orang ramai, gadis itu justru termangu di tempat. Genggaman jari-jemarinya di ponsel kian menguat.

About Us Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang