09. Dendam Yang Sama-sama Masih Tersimpan

76 17 0
                                    

Bermenit-menit lamanya Shaka di teras, dengan ditemani secangkir susu hangat buatan Mama dan sekotak almond crispy rasa coklat oleh-oleh dari Ayah yang baru pulang dinas di Surabaya. Merenung terlalu lama, Shaka tidak sadar bahwa ia sudah menghabiskan dua kotak sekaligus. Tersadarnya ketika Bang Heksa datang menyembul di muka pintu.

"Lo mau kemana, bang?"

Bagaimana Shaka tidak bertanya demikian. Penampilan Bang Heksa malam ini begitu rapi dan juga wangi. Dengan setelan kemeja warna mocca, celana jeans denim lengkap dengan sepatu sneakers warna putih. Rambutnya disisir gaya mangkuk tapi sedikit acak-acakan.

"Ke rumah temen."

"Tumben. Biasanya kalau rapi begini cuma mau nge-date sama Mbak Kani."

"Nge-date mulu pikiran lo. Dah ya, gue pergi dulu."

Shaka mengangguk. Pantas saja motor pcx laki-laki itu sudah nangkring cantik di depan garasi. Shaka saja yang tidak menyadari.

"Hati-hati, bang."

"Iyaaa."

Lalu, Bang Heksa kemudian melesat dari halaman. Meninggalkan Shaka seorang diri lagi di depan teras. Satu kotak almond crispy yang tersisa kian habis dilahap. Susu coklat yang tadinya penuh dan hangat juga kian tandas dan mendingin.

Mata Shaka melirik rumah seberang. Tidak ada pencahayaan apa-apa disana. Hanya disinari lampu temaram jalan yang kadang-kadang redup entah karena apa. Nara tidak pulang malam ini. Gadis itu menginap di rumah Kakek dan Neneknya hingga esok hari.

Kembali teringat obrolannya dengan Kakek Nara beberapa jam yang lalu saat mereka memancing ikan bersama di kolam halaman belakang. Pria paruh baya itu berterus terang kepadanya. "Nara itu satu-satunya cucu perempuan di keluarga Kakek sama Nenek. Anak itu pekerja keras, giat dan gigih. Dia sangat disayangi sama almarhumah ibunya. Tapi Ayahnya sama sekali tidak menyukai Nara cuma karena anak itu terlahir sebagai perempuan."

Shaka langsung terdiam. Pancingan bambu yang tiba-tiba bergerak justru tak bisa ia rasa getarannya. Detik-detik tak ada jawaban. Sampai akhirnya Shaka mengajukan pertanyaan.

"Kenapa Kakek sama Nenek gak coba nasehatin Ayah Nara?" Shaka tau jika ia tidak sepatutnya bertanya demikian. Tapi rasa penasaran dalam hatinya tidak bisa dikubur begitu saja.

Kelopak mata yang keriput itu menerawang jauh ke langit. Lantas Kakek tersenyum simpul. Senyum yang justru Shaka artikan penuh kepiluan. "Sudah berulang-ulang kami menasehati dia untuk menerima Nara. Sampai saudara-saudaranya pun ikut turun tangan. Tapi tetap saja, nak. Anak kami yang satu itu keras kepala."

Shaka lagi-lagi tak mampu berkata apa-apa.

"Kakek sama Nenek sekarang sudah tua. Tidak banyak hal lain yang bisa kami lakukan selain membahagiakan Nara. Kami tidak punya banyak uang untuk membelikan semua yang dia mau. Kakek sama Nenek cuma punya keharmonisan untuk dibagi bersama dengan Nara."

Lalu, mata teduh itu menyorot ke arah Shaka. Memandang dengan penuh ketulusan. "Selain Senja, Kakek berharap kamu jadi teman yang baik untuk cucu Kakek. Terimakasih karena kamu sudah mau berbaur dengannya."

Shaka menghela napas. Pembicaraan mereka masih terus terngiang-ngiang di kepalanya. Bukan perihal Kakek dan Nara, tapi perihal Ayah gadis itu. Sungguh, Shaka tidak percaya ada orangtua seperti pria itu. Membayangkan menjadi Nara, Shaka sudah iba duluan.

"Ngelamunin apa kamu, dek?"

Bersamaan dengan angin yang berhembus, Ayah datang dengan secangkir kopi ditangan. Kebiasaan Ayah bila dia sedang ada dirumah. Duduk di dipan teras hingga kopi yang Mama buat menyusut habis tak tersisa. Tak lupa sebatang rokok yang juga turut hadir bersama.

About Us Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang