20. Terimakasih

43 8 0
                                        

Halooo

Jangan lupa vote yaa

Terimakasih 🙏🏻

Pagi datang lagi. Selasa yang amat cerah untuk manusia beraktivitas. Tak terkecuali Shaka yang sekarang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Ia mengeluarkan motornya dari bagasi, bersamaan dengan Bang Heksa yang ternyata juga melakukan hal serupa.

"Pucat amat muka, lo. Pake bedak kuning langsat gih, biar gak kayak mayat hidup," setelahnya, Heksa tergelak. Sementara Shaka hanya bisa menghela napas panjang.

Andai saja, Abangnya itu tahu apa yang sedang adiknya derita. Matian-matian untuk tidak terlihat seperti orang sekarat ternyata cukup menguras tenaga. Pagi tadi saja, sewaktu menunggu Bang Heksa menggunakan kamar mandi, Mama sempat berbicara dengannya di meja makan. Dan sialnya, penyakit pusing itu kembali kambuh. Jelas, ia tetap mencoba baik-baik saja sampai Mama beranjak dari sisinya.

Untuk membalas perkataan Bang Heksa, Shaka berkata. "Emang ada bedak kuning langsat?"

"Ya adalah!" katanya sedikit ngegas. Setelah itu memutar arah motornya seratus delapan puluh derajat. "Gue duluan, ya. Belajar yang bener lo. Jangan bikin perkara di sekolah. Gue gibeng lo kalau sampai ngelakuin hal kayak gitu."

Shaka lagi-lagi menghela napas panjang. "Iyaaaa."

Dan kemudian, Heksa benar-benar hilang dari gerbang rumah. Pandangan Shaka lalu beralih tatap ke rumah seberang. Semua jendela sudah ditutup rapat. Tandanya, Nara sudah dulu pergi ke sekolah. Yang biasanya dia pergi bersama Shaka, sekarang tugas itu pasti diambil alih oleh Kalendra. Atau mungkin juga Rion?

Semalam, Shaka mengirimi Nara pesan. Bahwa ia tidak bisa berangkat-pulang bersama dengan Nara lagi. Alasannya sedikit klasik, dan mungkin cukup untuk menyakitkan hati gadis itu.

'Gue udah punya pacar. Kalau gue boncengan sama lo, gue takut pacar gue cemburu.'

Begitu sekiranya isinya. Jujur, Shaka sebenarnya tidak ingin membohongi. Tetapi, ini merupakan suatu cara supaya jarak diantara mereka bisa tercipta. Shaka tidak ingin suatu hari nanti, saat waktunya telah tiba, Nara tidak boleh terlalu mengenangnya lebih dalam. Gadis itu hanya perlu merasakan kehilangan yang tidak seberapa, layaknya seseorang yang hanya sekedar sedih di awal, dan perlahan lupa diakhir.

Shaka ingin Nara seperti itu kepadanya. Dan untuk kisah yang sudah terjalin sejauh ini, akan ia cukupkan sampai disini.

Bersamaan dengan burung-burung yang bertengger di kabel listrik, Shaka menaiki motornya. Lalu kemudian memacu meninggalkan halaman rumah.

Semoga hari ini berjalan baik-baik saja.

___

Nara termenung di bangkunya. Meski situasi kelas sedang ramai-ramainya sebab kedapatan jamkos di pelajaran Matematika, kedua telinganya seolah tak kuasa menangkap bunyi apa-apa. Bahkan, Senja dan Kalendra yang mengobrol di dekatnya pun juga tidak ia hiraukan. Fokusnya kini terarah ke lapangan utama. Pada kelas XI IPS 2 yang sedang melakukan pemanasan.

Dalam banyak sorak-sorai di kepalanya, pikiran Nara hanya tertuju pada satu topik. Tentang siapa gadis yang kini menjalin hubungan dengan tetangganya--Shaka. Siapapun dia, gadis itu pasti beruntung sekali mendapatkan seorang laki-laki yang suka menghibur seperti Arshaka Putra Bumantara. Hari-hari dia pasti dipenuhi oleh canda tawa.

Jujur, dalam hati Nana terbesit rasa ketidakrelaan.

"Na?" Kalendra memanggil. Tapi, gadis itu tidak menoleh ataupun menyahut.

Senja yang duduk di samping Nara pun langsung menyenggol lengannya. Barulah dia tersadar dengan tatapan bertanya.

"Ngelamunin apa sih, lo?" tanya Senja.

Nara menggeleng. "Nggak. Nggak ada, hehe," dan terkekeh kemudian.

Kalendra terdiam. Detik berikutnya ia menoleh ke luar jendela. Lalu kemudian menatap Nara lagi. Pantas saja gadis itu terus-terusan melirik ke sana. Rupanya ada kelas Shaka yang sedang berolahraga di lapangan.

___


Nara ke kantin bersama Kalendra. Dan Shaka tahu itu. Sebab sedari tadi, matanya tidak lepas dari dua muda-mudi yang sekarang berjalan memasuki area kantin. Jauh di dasar hati, sesuatu di dalam sana terasa seperti kebas. Rasa tidak suka pun turut menyatu padu.

"Waduh, Nara sama Kalender tuh!" Jekiwira heboh sendiri. Menyenggol lengan Shaka menggunakan sikunya.

Yang disenggol tidak merespon. Agaknya masih betah memandangi keduanya hingga benar-benar duduk di bangku kantin.

Jevan berdehem. "Lo gak cemburu, Ka? Bukannya Nara itu crush lo," ia menaik-turunkan alisnya.

"Nggak. Sotoy banget luuu," balas Shaka sekenanya. Sesaat setelah Jekiwira beranjak untuk mengambil pesanan mereka yang sudah siap dibuat.

"Cailah! Gue sama Jeki udah tahu kali." Jevan bersedekap dada. Raut wajah sahabatnya itu menggambarkan kejengkelan yang amat besar. Sepertinya dia tidak suka berada di situasi seperti ini.

"Ngaco aja lo berdua."

Walau sebenarnya jawabannya adalah 'iya', rasanya Shaka tetap sangsi untuk mengatakan yang sejujurnya. Terlebih sekarang ia dan Nara sudah membuat jarak. Jadi biarlah perasaan Shaka hanya ia saja yang tahu seperti apa.

"Parah sih kalau kata gue!" Jekiwira datang dengan satu nampan berisikan 3 mangkuk mie ayam. Ia meletakkannya perlahan ke atas meja. Lalu kembali duduk disamping Shaka.

"Parah kenapa?" tanya Jevan, sambil mengambil mangkuk yang menjadi hak miliknya.

"Si Rion mau nembak cewek anjir!" kata Jekiwira, sedikit berbisik.

"Serius lo? Info dari mana?"

"Itu dari cewek-cewek yang ngantri di stan Mang Ujang."

"Siapa ya ceweknya." Jevan melirik Shaka. Yang ditatap lantas menunjuk dirinya. "Kenapa pada liatin gue?"

Shaka jelas kebingungan.

"Ka? Kayaknya si Rion mau nembak Nara deh. Kata gue mending lo serobot aja dulu anaknya, sebelum keduluan si Rion sama Kalender." Jekiwira memanas-manasi, sebelum akhirnya membubuhkan kecap ke dalam mie ayam miliknya.

Jevan mengangguk setuju. Sementara Shaka hanya bisa menghela napas panjang. Dan berkata. "Terserah mereka lah. Gue gak mau ikut campur. Lagian gue lagi gak mau pacaran."

"Yang benerrrr?" Jekiwira memastikan.

Tentu yang Shaka katakan itu adalah sebuah kebohongan. Kebohongan yang benar-benar mutlak. Tapi, ini merupakan satu cara terbaik untuk menolak, dengan tidak mendekati Nara lagi.

Dan semoga, gadis itu tidak merasa sakit hati.

Ya pasti tidak lah, memangnya Shaka ini siapa?

"Ntah tu, nanti kalau udah beneran diambil orang, elo malah nangis." Jevan tergelak bersama Jekiwira.

"Apasih, cewek masih banyak kali! Ga cuma dia aja."

Benar. Namun, Shaka hanya ingin gadis itu. Hanya gadis itu. Bukan lagi Rain yang dulunya sempat bertahta lama dihatinya. Semesta, terimakasih sudah mendekatkan Shaka dengan Nara. Meski ujung-ujungnya harus jadi begini, tidak mengapa.

Setidaknya, ia dan Nara pernah mengukir kisah bersama.

___


TBC

About Us Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang