12. Kenapa?

64 13 0
                                    

Malam datang lagi. Tak secercah pun ada kegelapan di langit malam. Agaknya mendung enggan menghadirkan dirinya kali ini. Mungkin, sengaja membiarkan bulan dan bintang-bintang bersinar terang menyinari bumi. Angin sepai-sepoi berhembus sedang. Menyejukkan setiap kulit yang dia belai.

Shaka dan Heksa ada di teras kala pohon ketapang di sudut pagar bergoyang. Duduk berdua di atas dipan seraya menyender khidmat ke tembok krem pudar yang belum sempat Ayah ganti warnanya. Tak lupa, sepiring kue bolu pandan buatan Mama dengan toping keju turut hadir menemani. Lengkap dengan segelas susu coklat yang kali ini Shaka seduh dingin.

Meong

Mimi datang. Mengusel-usel kepalanya di kaki kanan Shaka yang menjuntai. Kucing oyen betina itu terus mengeong sebelum akhirnya Shaka mengangkat dan mendudukkannya di pangkuan. Mimi makin keenakan saat tuan barunya itu mengelus kepala dan lehernya.

"Kenapa sih, si warna kelabu lo kasih nama Keket? Padahal dia jantan. Gak ada nama yang kerenan dikit?" Heksa bertanya heran. Sedari tadi matanya tidak lepas dari mengamati setiap gerak-gerik Shaka dengan kucing barunya itu.

Lima hari yang lalu, sewaktu Heksa bangun dari tidur dan hendak mencuci muka, tau-tau sudah ada dua kucing kurus di dekat tangga samping kamarnya. Keduanya bergurau sambil sesekali bertos ria alias saling menampar kepala. Pantas saja dalam tidur singkatnya, Heksa samar-samar mendengar suara kucing berkelahi. Saat ditanya pada Shaka apakah dia yang membawa kucing ini ke rumah, dan adiknya itu dengan mantap mengangguk.

Katanya, "biar rumah kita gak sepi-sepi amat, makanya gue bawa mereka ke sini. Abang ga usah khawatir, aku udah izin sama Mama kok tadi." Dan begitulah. Akhirnya Mimi dan Keket resmi menjadi bagian dari keluarga.

"Itu udah keren tau, bang. Nama keduanya itu punya filosofi. Mimi diambil dari kata 'mini' yang huruf 'mi' nya di kuadrat. Kalau Keket itu berasal dari kata 'ket' yang 'ke' nya juga sama-sama di kuadrat."

Penjelasan Shaka jelas membuat kening Heksa mengerut. Dirinya bingung bukan kepalang. Lantas berkata ngegas. "Apasih bejir! Pake kuadrat segala! Filosofi apaan begitu?!"

Sementara Shaka mendengus. Abangnya ini nalar otaknya lambat sekali. "Mimi sama Keket itu di ambil dari kata Minimarket. Paham kan sekarang?"

"Kagak," setelah berkata begitu, Heksa mencomot sepotong kue bolu yang tersisa tiga biji. Kopi susu miliknya pun semakin dingin perlahan-lahan.

"Ya udah kalau gitu." Shaka tak ambil pusing. Ia malas menjelaskan lebih. Maka saat Mimi melompat dari pangkuan karena mendengar Keket yang mengeong dari dalam, Shaka kembali membawa dirinya bersandar.

"Cita-cita lo masih yang dulu, Ka?" tiba-tiba saja Heksa bertanya. Tanpa menoleh sedikitpun karena kini ia tengah fokus membalas chat dari pacarnya--Kania.

Shaka menerawang. Mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. Agaknya mencoba berpikir keras. "Emang cita-cita gue dulu mau jadi apa?"

Sukses membuat Heksa melongo. "Bisa-bisanya lo lupa sama cita-cita lo yang mulia itu?"

"Ya gue beneran lupa, bang."

Untuk kali ini, Heksa meletakkan ponselnya ke atas dipan. Sebelum itu, ia terlebih dulu menyetel lagu berjudul Sweet dari Cigarettes After Sex. Irama lembut dan menenangkan seketika mengalun. Menciptakan suasana yang pas untuk saling bertukar cerita layaknya seperti di podcast.

"Dulu waktu lo umur delapan tahun, lo pernah bilang ke kita mau jadi Ustadz biar bisa ruqiyah Jeki masuk islam. Habis itu waktu umur dua belas lo bilang mau jadi Dokter biar bisa sunat Jevan yang selalu kabur-kaburan tiap ada sunat massal. Habis itu, lo nggak pernah bilang lagi mau jadi apa."

About Us Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang