Haloo
Jangan lupa vote yaa
Terimakasih🙏🏻
Hari ini aku akan double update
Yuhuuu
•
•
•
Acara pemakaman telah usai sejak beberapa menit yang lalu. Kini, mereka semua sudah kembali ke rumah Nenek. Rasa sesak itu masih ada, betah bergelayut di dalam dada entah sampai kapan lamanya.
"Nek." Nara memanggil. Mendekati Nenek yang duduk di meja makan. "Rumah ini...dibiarin kosong aja, ya. Nenek pindah tinggal sama Nara aja. Atau nggak. Nara yang tinggal disini sama Nenek."
Mendengarnya Nenek tersenyum. Mengelus jari-jemari Nara dengan jarinya yang keriput. "Di rumah ini banyak hal yang harus Nenek jaga. Di rumah kamu pun juga sama halnya. Kalau Nenek tinggal sama kamu, nanti rumah ini siapa yang ngerawat? Begitu pun sebaliknya. Nanti kalau Ayah kamu pulang dan tidak ada orang di rumah, apa kamu yakin bunga-bunga Mama kamu yang bagus itu akan selamanya bagus?"
Nara terdiam sejenak. Lalu menggeleng.
"Selain itu, kalau rumah kamu yang disana dibiarkan kosong, Ayah kamu pasti akan semakin leluasa membawa perempuan-perempuan ke sana. Akan mudah pula baginya untuk melakukan hal kotor di rumah itu. Apa kamu rela, Nara?"
Lagi, Nara menggeleng.
"Yang Nenek bilang itu benar, Nara. Kalau kamu kangen sama Nenek, sering-sering lah berkunjung ke sini. Sepertinya, Ibu juga tidak akan mau kalau kami ajak pindah ke Bogor," kata Om Muja, melirik Ibunya yang tersenyum dengan mata sembab.
Sepertinya, memang begini lah jalan yang terbaik.
___
Seharian ini, atau bahkan dari kemarin sejak datangnya kabar meninggal sang Kakek, Nara sama sekali tidak bernafsu menyentuh ponselnya. Disampingnya kini, ada Shaka bersama Kakaknya--Heksa. Keduanya datang untuk turut mengucapkan belasungkawa.
Angin sepai-sepoi bertiup. Di bawah ranumnya pohon jambu yang Shaka amati tempo hari, keduanya duduk pada satu kursi. Sedangkan Heksa membiarkan dirinya untuk berdiri saja.
"Abang pulang duluan ya, Ka. Lo jangan lama-lama disini." Heksa melirik Nara yang diam dengan tatapan kosong. "Kayaknya dia butuh ruang buat sendiri."
Shaka mengangguk. "Iya, Bang."
"Nara?" Maka saat Heksa memanggilnya, barulah gadis itu menoleh.
"Gue turut berduka cita, ya."
"Makasih, Bang." Nara tersenyum simpul.
"Kalau gitu gue pamit dulu."
"Hati-hati, Bang," kata Shaka.
Lantas, Heksa hilang di telan pintu gerbang.
Shaka melirik Nara. "Hm, mau jalan gak, Na? Ke pantai gitu? Seenggaknya biar pikiran lo refresh dikit."
Nara menggeleng. Kemudian memandang Shaka lekat. "Kamu bisa tinggalin aku sendiri?"
Dan...Shaka terdiam.
___
Malam ini hujan turun lagi. Kota Jakarta kembali basah oleh airnya. Bagi mereka yang merajut kisah dikala hujan, maka disaat selesai pun, hujan sepertinya akan selalu jadi suatu hal yang akan dibenci. Padahal sejatinya, yang salah bukanlah hujan, melainkan jalan kisah yang berakhir tidak sesuai kemauan. Lantas, mengapa hujan yang jadi penjahatnya?
Shaka pernah menyukai seorang gadis. Gadis berparas rupawan yang sangat sopan dalam bertutur kata. Rambutnya panjang kecoklatan, hidungnya mancung, alisnya tebal, bibirnya ranum merah muda, sangat sempurna. Maklum, karena dia keturunan Belanda.
Rain namanya. Cinta monyet itu terjadi saat Shaka berumur 13 tahun, pertama kali ketika menginjak jenjang SMP. Satu kenangan yang tertinggal darinya hanyalah sebuah scrapbook bersampul biru. Dia tahu, bahwa Shaka menyukai warna itu. Di hari ulang tahun Shaka yang ke-13, dia memberikannya sebagai hadiah.
"Selamat bertambah umur ya, Shaka. Semoga kamu sehat dan bahagia selaluuuu," kata Rain. Saat mereka berdua berada di taman belakang sekolah kala itu.
"Makasih Rain atas do'a-do'a baiknya."
Gadis itu nyengir kuda. "Hehe, sama-sama." Lucu sekali.
"Maaf ya, hadiahnya gak mahal. Tapi itu aku bikinnya dengan sepenuh hati kok. Spesial buat teman sebangku aku yang paaaaaaaling baik."
Shaka terkekeh saat gadis itu juga terkekeh. Begitulah Rain. Selain parasnya yang cantik, sikap dan sifatnya pun juga sama cantiknya. Benar-benar definisi gadis yang sempurna. Setidaknya ini versi Shaka sendiri.
Sampai kini, hadiah pemberian dari Rain akan selamanya Shaka simpan. Meski nanti, warnanya akan berubah menjadi kuning perlahan, lapuk dimakan waktu.
Juni 2020, Rain meninggal. Dia, korban tabrak lari kala hendak pulang dari minimarket. Saat itu hujan, deras sekali. Shaka masih ingat dengan jelas peristiwa yang satu itu. Hingga kini, ia tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya menjadi Rain. Di tengah hujan, dirinya harus bertahan hidup sekuat mungkin.
Oleh sebab itu, Shaka tidak menyukai hujan. Bukan salahnya, tapi, Shaka sudah benar-benar terlanjur membenci.
Embun menghiasi jendela kamar. Suara Ayah dan Mama yang mengobrol terdengar. Entah topik apa yang mereka bicarakan, Shaka tidak terlalu mengindahkan. Dan juga, suara Bang Heksa yang sesekali terkikik disusul geraman dari Mimi yang sepertinya sedang marah-marah. Itu pasti karena Bang Heksa menggelitiki perutnya.
Berbeda dengan Mimi, Keket justru tertidur melengkung diatas kasur Shaka.
Dalam diamnya, tiba-tiba setetes cairan kental membasahi jari Shaka. Jantungnya seketika berpacu. Terkejut. Segera ia menghapusnya dengan beberapa tisu. Shaka mendongak, mencoba menghalau darah yang ingin kembali turun.
"Shshh...."ringisnya pelan.
"Shaka? Ayo makan dulu, nak." Ini suara Mama. Pintu kamarnya di ketuk tiga kali.
"Iya, Ma! Bentar!" jawab Shaka.
"Ya sudah. Mama siapkan makanan dulu, yaa."
"Iya, Ma!"
Setelahnya, hening kembali. Suara Bang Heksa yang bermain bersama Mimi pun sudah tak terdengar lagi.
Sebenarnya, beberapa hari ini, Shaka jarang makan. Meski lauknya enak sekalipun, ia tetap tidak berselera menyentuhnya. Sebab itu pula, tubuhnya jadi agak semakin kurus.
"Gue punya penyakit, ya?" Shaka bertanya pada dirinya sendiri. Sembari menatap tisu berlumuran darah yang sempat menyumpal kedua hidungnya.
Kalau iya, apakah hidupnya bisa bertahan lebih lama?
___
TBC
![](https://img.wattpad.com/cover/357380066-288-k828143.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Teen FictionSejak sore yang temaram hari itu, Shaka benar-benar tidak lagi mengusik gadis itu. Tidak lagi menghubunginya, tidak lagi bertegur sapa dengannya, tidak lagi pergi ke rumahnya, semuanya Shaka tahan meski ia ingin sekali berbicara panjang lebar sepert...