Cerita ini mungkin akan aku revisi setelah end. Enjoy ya guysss
___
Hari ini hari Sabtu. Hari yang biasa Nara gunakan untuk pergi bertandang ke rumah Kakek dan Nenek dari Ayah (karena orangtua dari Mama sudah tak lagi ada). Lantaran libur kerja, ia akan menginap disana seperti di hari-hari sebelumnya. Satu yang Nara harap, semoga Ayah tidak kembali sebelum ia yang kembali lebih dulu. Nara tidak ingin rumah kembali bak kapal pecah karena ulah Ayah.
Setelah melakukan serangkaian aktivitas beberes rumah serta menyiram tanaman di halaman depan, Nara akhirnya siap dengan setelan jeans panjang dengan baju rajut warna coksu. Lengkap dengan totebag putih bergambar bunga Matahari. Rambut hitamnya ia biarkan tergerai.
Mengingat waktu kini menunjukkan pukul delapan siang, mentari diatas sana kian merambat naik perlahan-lahan. Burung-burung turut berkicau senada dengan ayam milik tetangga yang juga berkokok begitu keras. Padahal hari sudah siang, tetapi hewan itu agaknya masih betah menjadi alarm yang membisingkan.
"PAK KARTO! AYAMNYA BISA DISURUH DIAM NGGAK?! SAYA MASIH MAU TIDUR!"
Di rumah seberang sana, Nara melihat jelas bagaimana Shaka yang melongokkan kepalanya dari daun jendela. Berteriak ke arah rumah sebelahnya yang hanya dibatasi pagar kayu bewarna kuning. Pemilik rumah yang diteriaki lantas berkacak pinggang. Dengan sapu ijuknya yang sudah nampak tak banyak helaian bulu, dia menunjuk-nunjuk Shaka yang kini justru menguap lebar.
"Kamu ini tidak berubah ya, Shaka?! Dari dulu sudah saya katakan bahwa yang namanya Ayam tidak bisa disuruh diam! Astaghfirullah!"
Pak Karto geleng-geleng kepala.
"Bisa kalau Bapak yang suruh dia diam! Kan Bapak itu Tuannya!"
Melihat Pak Karto yang kembali geleng-geleng kepala, Shaka justru cekikikan. Maka disaat ia tak sengaja beralih pandang ke seberang, senyumnya yang semula lebar lantas berangsur-angsur memudar. Sosok Nara yang berdiri di pinggir jalan langsung membuatnya modar. Gadis itu nampak cantik sekali hari ini.
Menyadari bahwa dirinya yang baru bangun pagi, Shaka cepat-cepat menoleh ke arah kacanya, menatap pantulan dirinya dengan rambut acak-acakan yang nampak seperti habis tersambar petir. Karenanya, Shaka jadi melotot. Kembali menatap Nara yang masih betah berdiri disana seraya menatap bingung ke arahnya.
"Anying, malu!"
Cepat-cepat Shaka menutup jendela kamarnya. Bersembunyi dibalik selimut sembari terus mengumpati diri sendiri.
Sedangkan Nara, gadis itu nyaris seperti anak hilang yang terdiam cengo di pinggir jalan. Melihat tingkah Shaka yang tak ia mengerti sama sekali, otaknya jadi berpikir keras. Matanya yang berbulu lentik itu mengerjap beberapa kali.
"Dia kenapa tiba-tiba gitu, ya? Aneh banget."
___
"Cucu Nenek sudah datang rupanya. Masuk, masuk. Sebentar Nenek panggilkan Kakek dibelakang, ya."
Kedatangan Nara disambut hangat seperti biasa. Wanita paruh baya yang sebentar lagi berstatus lansia itu berjalan tertatih-tatih menuju dapur. Punggungnya yang kian bungkuk itu tak lagi setegap sewaktu Nara kecil dahulu. Tahun semakin memakan usianya yang kian bertambah menua.
Yang sama hanyalah kasih sayang yang tak akan pernah berubah. Laksana selimut usang yang jarang dilirik, tak peduli betapa kusut dan kunonya dia, selimut pasti akan tetap menghangatkan. Tak ubahnya seperti sikap Nenek dan Kakek terhadap cucunya. Sudah setua apapun mereka, keduanya akan tetap merengkuh pundak kecil para cucu-cucunya. Selagi mereka masih berumur panjang, sayangilah keduanya sebagaimana kita menyayangi kedua orangtua.
![](https://img.wattpad.com/cover/357380066-288-k828143.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
About Us
Ficção AdolescenteSejak sore yang temaram hari itu, Shaka benar-benar tidak lagi mengusik gadis itu. Tidak lagi menghubunginya, tidak lagi bertegur sapa dengannya, tidak lagi pergi ke rumahnya, semuanya Shaka tahan meski ia ingin sekali berbicara panjang lebar sepert...