18. Timbul Perlahan-lahan

46 10 0
                                    

Jangan lupa untuk vote yaa

Terimakasih 🙏🏻

Sejak perkara di rumah Shaka tempo hari, Nara sebenarnya agak canggung bertatap mata lagi dengan laki-laki itu. Tetapi karena Shaka terlihat biasa-biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa, Nara akhirnya pun bersikap begitu. Seperti sekarang, boncengan berdua, membelah padatnya kota Jakarta sore hari itu.

"Na, antara gue sama Kalendra, siapa yang lebih ganteng?" tanya Shaka, mencoba memutus keheningan yang terjadi bermenit-menit yang lalu.

Sedangkan Nara, gadis itu sedikit terkikik di belakangnya. "Kamu gak punya pertanyaan lain apa?"

"Jawab aja."

Dari kaca spion, Shaka melirik Nara. Dia kelihatan menimang-nimang cukup lama. Dalam hati Shaka sudah bersungut-sungut. Tentang Nara yang lama sekali mengatakan bahwa dirinya lah yang paling ganteng. Tentu, jauh diatas Kalendra.

"Hm, kayaknya lebih gantengan kamu deh," akhirnya, ultimatum itu yang keluar.

Terkaan hati Shaka tidak pernah melenceng. Lihat kan? Nara saja mengakui ketampanan paripurnanya!

"Ooo iya jelassss! Gue kan spek oppa Korea. Beda sama Kalendra yang cuma spek tukang tambal ban."

Lagi-lagi Nara terkikik. Kali ini sedikit lebih lepas. Karena memang, guyonan Shaka benar-benar menggelitiki perutnya. Memang ada-ada saja dia.

Hati Shaka rasanya adem dan sejuk, mendengar tawa Nara yang begitu candu di telinga yang berimbas terngiang-ngiang di kepala, ia juga ikutan tersenyum jadinya. Sampai akhirnya, sesuatu yang seolah menusuk kepalanya mengambil alih perlahan-lahan. Tanpa sadar, Shaka meringis tertahan.

Itu jelas membuat Nara sedikit heran. Lantas dia bertanya. "Ka? Kamu kenapa? Kok tiba-tiba meringis gitu?"

Shaka cepat-cepat menggeleng. Ia tersenyum simpul, mencoba baik-baik saja. "Nggak, gue gakpapa."

Pada akhirnya, Nara hanya mengangguk mengerti. Ia kira Shaka memang benar tidak kenapa-kenapa.

Walau nyatanya, Shaka mati-matian menahan pusing di kepala yang merambat begitu cepat.

___

Di sebuah tanah lapang, Shaka bersama Nara duduk berdampingan. Menatap hamparan rona jingga yang kian memudar perlahan-lahan. Ditemani secangkir kopi yang tadi sempat dibeli sebelum kemari. Angin berhembus, membelai kulit yang masih berbalut seragam putih abu-abu.

Shaka menghelas napas ringan. Pusing yang sebelumnya mendera hebat kini sudah hilang sepenuhnya. Shaka bingung dengan gejala-gejala yang terjadi pada dirinya, bentar-bentar kambuh, bentar-bentar kemudian langsung sembuh.

Sebenarnya, ia terkena penyakit apa? Sebahaya apa?

"Shaka liat deh, koloni burungnya cantik banget!" Nara berseru heboh. Menunjuk sekumpulan burung yang terbang beramai-ramai dengan posisi teratur. Seperti apa yang ia katakan, mereka sangat cantik dilihat mata.

Arah pandang Shaka beralih, ia tersadar jika sudah melamun terlalu lama. "Iya, ya, cantik banget."

Entah mengapa, Shaka tiba-tiba merasa sendu. Hatinya pilu sekaligus sedih. Alih-alih senang karena Nara ada bersamanya sekarang, ia justru merasakan hal sebaliknya.

About Us Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang