Gadis dengan baju lusuh selepas membersihkan kosnya yang terlihat berantakan itu, duduk di halaman depan seraya menggelung rambut, ditemani segelas air dingin di sisinya. Punggungnya penuh keringat, hingga sebagian bajunya pun turut basah. Ia menekuk lutut sembari mengedarkan pandangan pada sekitar. Mentari kian menyengat hingga membuat tenggorokannya terasa kering.
Seseorang menepuk pelan pundak milik gadis tersebut saat dirinya hendak meneguk air dingin. "Ngapain?"
Dirinya tertoleh. "Eh, Cia. Gimana badan lo? Enakan?"
Cia hanya mengangguk. "Kemarin dibuatin Kak Luna teh anget, mendingan."
"Lo sendiri abis ngapain? Kok, badan lo keringetan banget?" sambungnya.
"Bersihin kos kita. Ruang tengah buat lesehan itu kotor. Ya, mungkin gara-gara Kak Arin kemarin makan jajan di situ remahannya banyak yang jatuh," jelasnya runtut.
Cia membulatkan mulutnya penuh. Dia beralih memandang Lyla dengan tatapan sendu seraya berucap, "Lyl, maafin gue, ya? Gara-gara gue muntah, liburan lo kemarin jadi gagal. Maaf juga karena ini tadi belum bisa bantu lo bersih-bersih. Gue nyusahin lo banget, nggak, sih?"
"Apaan, dah. Lo ini kayak sama siapa aja. Nggak nyusahin kali, Ci. Namanya temen, kan, harus saling bantu. Apalagi di perantauan gini, kita harus bareng-bareng. Lagipula, gue udah seneng banget, kok, kemarin. Lo nggak perlu minta maaf, bukan salah lo. Udah, deh, ilangin rasa nggak enakan lo itu. Santai aja sama gue."
Lyla menepuk-nepuk punggung karibnya, kemudian beranjak dari sana. "Eh, gue mandi dulu. Gerah."
"Iya," jawab Cia singkat.
Sebelum Lyla menuju kamar mandi, teleponnya berdering membuat rencananya terurung. Dia melihat siapa pemanggil tersebut, Mas Adam. Buru-buru ia mengangkat panggilannya.
Dari luar kamar, Cia melihat karibnya tengah menerima panggilan itu dengan wajah gusar. Entah siapa yang meneleponnya, tetapi ia yakin dengan pasti jika seseorang di seberang sana sedang membutuhkan bantuan Lyla sehingga gadis itu memasang mimik khawatir yang terpampang jelas di sana.
Setelah mematikan sambungan, Cia melihatnya membawa sebuah handuk dan peralatan mandi, lalu menuruni anak tangga menuju kamar mandi luar dengan terbirit.
Cia menunggu Lyla menyelesaikan kegiatannya sebelum dirinya mengutarakan berbagai pertanyaan pada Lyla. Tidak sampai sepuluh menit, Lyla sudah memakai kaos oblong dan berjalan tergesa menuju kamar.
Belum sempat dia bertanya, Lyla membanting keras pintu kamarnya. Cia terlonjak kaget. Gadis itu mencoba mengetuk pintu beberapa kali karena khawatir, berharap Lyla segera membukakannya.
"Lyl! Lo kenapa? Ada apa?" tanyanya dari luar dengan suara gusar. "Buka pintunya."
"Bentar! Gue ganti baju," sahutnya dari dalam.
Tidak sampai sepuluh menit, Lyla membuka pintu kamar mereka. Penampakannya dengan dress berwarna putih diselingi merah jambu, serta cepolan rambutnya yang sederhana membuat Cia mengernyitkan kening dan melihatnya dari bawah hingga ke atas.
"Mau kemana?"
"Mas Adam sakit. Gue buru-buru mau ke apartemen dia. Lo gue tinggal nggak papa, kan?"
Pupilnya melebar. "Astaga! Ya, udah, lo gue anterin aja."
Lyla menggeleng cepat. "Ngawur, lo baru aja sembuh, woi! Nggak usah aneh-aneh."
Dia berbalik menuju cermin untuk memakai sedikit lipstik berwarna pink glossy. Lyla melepas cepolannya. Kini, rambutnya dikucir rapi dengan pita putih, lalu tangannya beralih mengambil tas kecil untuk segera pergi dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE IS BURDEN [TERBIT]
Fanfiction[BELUM REVISI] Terlalu dalam menaruh rasa seringkali membuat kita lupa akan sebuah lara. Padahal kedua hal itu selalu mengikat satu sama lain. Kalyla selalu menganggap cinta adalah beban dan tak sedikit pun ia berminat untuk jatuh cinta. Beberapa ka...