Sore itu, Lyla sangat kacau. Motornya mendadak mogok di tengah jalan. Padahal, jam masuknya sudah sangat mepet. Namun, untung saja ia bertemu dengan seorang lelaki bermotor sport yang tidak hanya tampan, tetapi baik juga hatinya karena berniat menolongnya. Lyla menjelaskan situasinya yang akan terlambat kelas, jika tidak segera mendapat tumpangan ke kampus.
Melihat gadis itu murung, ia pun merasa iba. Hatinya tergerak untuk memberi Lyla tumpangan gratis, menuju kampus. Lelaki tersebut berhidung mancung, beralis tebal, sedikit putih serta memiliki postur tubuh proporsional dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh centimeter, beserta gaya rambut undercut two blocknya.
Sebelum berangkat, ia menawarkan sebuah bantuan pada Lyla, untuk sekalian membawakan motornya yang rusak menuju bengkel selagi gadis itu masuk kelas nanti. Awalnya Lyla ragu, tetapi lelaki itu meyakinkan Lyla dengan memberinya sebuah KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) miliknya sebagai jaminan, berharap jika gadis itu tidak sedikit pun berpikir buruk tentangnya.
Merasa tidak ada pilihan lain, juga karena ia terburu-buru, Lyla pun memutuskan untuk menerima tawaran tersebut meski dengan sedikit keraguan.
Di perjalanan pun, tidak ada percakapan apapun di antara mereka. Hanya ada suara bising dari kendaraan yang menyelimuti keduanya. Saat lelaki itu memberhentikan motornya tepat di depan gerbang kampus milik Lyla, gadis itu turun dengan segera dari atas motor, sembari melepas helm yang sedari tadi terpasang di kepalanya.
Langkah kakinya terburu-buru menuju gedung fakultasnya, hingga lupa mengucap terima kasih pada seseorang yang sudah menolongnya. Ia berlari secepat yang ia bisa menuju lift. Akan tetapi, niatnya terurung sebab melihat tempat tersebut telah penuh sesak oleh sekumpulan mahasiswa yang terlihat dari kejauhan.
Dirinya merubah arah tujuan dengan berlari melewati tangga menggunakan kecepatan penuh. Saat tiba di depan pintu kelasnya, ia bernapas lega karena ternyata Pak Herlambang-Dosen Mata Kuliah Biopsikologi, belum datang.
Gadis dengan rambut yang digelung sembarang, kini memasuki kelas sembari mengelap keringat dengan kedua pergelangan tangannya. Ia segera duduk pada bangku yang biasa ia tempati, bersamaan dengan degup jantungnya yang berdebar tak karuan.
"Astaga, untung banget ada mas-mas tadi. Kalau nggak, bisa abis gue sama Pak Herlambang."
Selang beberapa menit setelah Lyla masuk, tibalah Pak Herlambang dengan tas kebanggaannya berwarna oranye, sambil menenteng laptop dan beberapa buku tebal, yang juga sering ia bawa ketika kelas akan berlangsung.
Hal itulah yang selalu membuatnya malas, setiap ada pertemuan mata kuliah dengan beliau. Meski Lyla hanya memandangi buku tersebut, tetapi tetap saja, begitu jengah rasanya. "Aduh, belom mulai udah puyeng aje pala gue liat buku setebel itu," gumamnya.
"Selamat pagi, teman-teman mahasiswa! Baik, silahkan kalian siapkan untuk presentasi hari ini, saya akan panggil secara acak saja," ungkapnya lantang.
Mata gadis itu terbelalak, degup jantungnya berpacu dengan cepat. Bagaimana mungkin ia lupa, jika hari ini ada presentasi di kelas Pak Herlambang? Keringat bercucuran deras membasahi pelipisnya, bukan karena panas, tetapi karena ketakutan yang mencuat saat ia tersadar jika tugasnya hanya terselesaikan tiga puluh persen dari seratus persen. Tangannya berusaha menyenggol salah satu teman yang berada tepat di sebelahnya.
Ia berbisik, "Nin ... nina, gue belum selesai. Gimana, nih?"
"Lah, lo gimana, sih? Doa aja deh, Lyl. Moga-moga lo kaga disuruh ke depan," ujarnya lirih.
Gadis itu pun menuruti nasihat Nina, meskipun rasa khawatir masih menyelimutinya. Ia memejamkan mata, lalu menyatukan kedua tangan selayaknya orang berdoa.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE IS BURDEN [TERBIT]
Fanfic[BELUM REVISI] Terlalu dalam menaruh rasa seringkali membuat kita lupa akan sebuah lara. Padahal kedua hal itu selalu mengikat satu sama lain. Kalyla selalu menganggap cinta adalah beban dan tak sedikit pun ia berminat untuk jatuh cinta. Beberapa ka...