✨18✨

70 23 32
                                    

Setelah kepergian Adam. Sebenarnya bukan hanya Lyla yang mematung, melainkan juga gadis di bawah lantai itu-Cia. Dia mengamati karibnya yang masih terduduk sembari memijat pelipisnya. Dari bawah Cia menatap dengan sendu sembari melengkungkan bibirnya. Ia paham betul, pasti sekarang Lyla sangat delima dengan jawaban yang akan ia beri.

Di satu sisi ada Erick juga Bima, tetapi di sisi lain juga ada Adam yang menyatakan perasaan padanya. Betapa membingungkan jika dirinya berada di posisi Lyla. Sedikit terlintas di pikiran Cia, ternyata sahabatnya satu ini meskipun agak lemot dan tidak up-to-date sama sekali justru menjadi incaran banyak laki-laki. Bahkan, hingga presma sekalipun? Sungguh menakjubkan.

Ia beranjak dari tempat asalnya menghampiri Lyla yang masih pada posisi awal tetapi sekarang ditambah dengan memejamkan matanya. Dia mendudukkan dirinya di samping hospital-bed milik Lyla. Lalu, mengusap lengan Lyla ke atas serta ke bawah dengan lembut dan pelan. "Sabar, ya, Lyl. Jangan terlalu dipikir berlebihan. Istirahat dulu, besok dipertimbangin lagi."

Lyla hanya mengangguk tanpa mengucap sepatah kata. Lyla mulai membaringkan tubuhnya di bantu oleh Cia yang juga menyelimutinya dengan kain tebal di sisinya tadi.

"Ci, gue bingung. Tapi jujur, gue suka Mas Adam," rengutnya membuka obrolan.

"Ya, udah, pilih sesuai kata hati dan pikiran lo. Berarti itu keputusan finalnya?"

Gadis itu menggeleng sambil mengedikkan bahu, lalu kembali merenung mendengar pertanyaan Cia. "Ah, udahlah. Pikir besok aja, mending lo tidur. Gue juga ngantuk mau tidur," ujarnya sembari berpura-pura menguap agar gadis itu menuruti perkataanya.

Namun, sebelum mereka hendak terlelap. Seorang dokter bersama perawatnya datang menggagalkan rencana tidur mereka. "Selamat malam, Ibu Kalyla." Senyumnya mengembang.

"Eh, bukannya tadi sore udah dateng perawatnya, ya, Dok?" Cia menyahut.

Sudutnya mengembang sembari memeriksa detak jantung Lyla dengan stetoskop. "Kan, tiga kali pengecekan, Bu. Pagi, sore, malam. Mungkin ibu lupa." Ia menoleh sekilas ke arah Cia, lalu melanjutkan pengecekannya.

Perawat itu melirik ke arah jam dinding, kemudian beralih melirik jam tangannya. "Oh, iya, ini jam dindingnya ternyata mati, Bu. Besok pagi biar saya ganti."

Cia hanya mengangguk. Setelah pemeriksaan Lyla hampir selesai, dirinya pun mengajukan pertanyaan. "Dok, ini Kalyla boleh pulangnya kapan, ya?"

"Iya, Dok. Soalnya saya besok juga mau ada UTS kayaknya," tambah Lyla.

"Bu, kondisi ibu saya lihat lemah kembali. Tolong jangan banyak pikiran, ya, agar besok pagi ketika saya check sudah membaik. Kalau kondisi ibu membaik, Ibu Kalyla boleh cepat pulang dari sini. Tinggal rawat berjalan saja."

Dia melipat tangannya. "Kalau misalkan besok sudah membaik, nih, Dok. Boleh pulang langsung detik itu juga, nggak, Kalyla ini?" tanya Cia kembali.

"Kemungkinan sore, ya. Karena saya juga harus memastikan pasien saya kondisinya bisa memungkinkan untuk rawat berjalan. Kurang lebih selama dua kali pengecekan berkala, yaitu; pagi serta sore sebelum pulang," rincinya.

Mereka hanya manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Kini, dokter bersama perawat itu pun pamit dari hadapan mereka. Kedua sohib itu kembali melaksanakan kegiatan awalnya, alias tidur hingga sang surya membuatnya terbangun karena sinar gemilangnya.

LOVE IS BURDEN [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang