✨13✨

90 33 74
                                    

Sekarang, Cia dan Bima mulai kebingungan harus bagaimana karena keduanya ada kelas pagi hari ini. Bima pun harus segera bersiap untuk berangkat, begitu juga dengan Cia. Namun, di sela kebingungannya terlintas satu nama di benaknya, Kak Luna.

Ya, gadis itu mungkin bisa meminjamkan mobil pada mereka untuk mengantar Lyla menuju rumah sakit terdekat sebelum mereka berangkat ke kampus. Dia pun keluar meninggalkan Lyla juga Bima di dalam sana dan memastikan apakah Luna sudah berangkat atau belum.

Ia berlari menuju kamar pojok, tempat seseorang yang ditujunya berada. Namun, saat ia mulai mengetuk pintu bukannya Luna yang membuka melainkan Arin-salah satu kakak tingkatnya. Gadis dengan perawakan acak-acakan itu menandakan dirinya jika baru saja terbangun dari tidurnya.

"Misi, Kak."

Arin hanya mengangkat dagu sambil dengan matanya yang sedikit terbuka.

"Kak Luna belum pulang, Kak?"

"Dia udah berangkat dari subuh, kenapa?"

"Tadinya mau minta tolong Kak Luna bawa Lyla ke rumah sakit. Soalnya Lyla demam, Kak. Nggak ada yang jaga kalau di kos. Aku sama Kak Bima juga mau ada kelas pagi."

Dirinya menutup mulutnya yang mulai menguap. "Ya, udah, lu berdua berangkat aja. Biar gua yang urus. Mumpung kelas gua siangan." Cia mengangguk, ia berlari menuju tempat asalnya dan memberitahu Bima.

Selepas Cia memberitahunya, Bima mulai berpikir. Jika Arin ada kelas siang, lalu siapa yang akan menjaga setelah Arin? Jelas saja bukan dirinya, karena sepertinya ia akan pulang larut malam hingga rapat selesai.


"Arin kelas siang, lu sendiri?"

"Oh, iya." Cia menepuk jidatnya, "aku kelas sampe sore, Kak."

Sementara mereka kebingungan, Arin sudah bertengger di depan pintu sembari melipat tangan melihat Cia juga Bima yang tak kunjung berangkat.

"Woi! Katanya kelas pagi? Kenapa nggak berangkat? Jangan khawatir, serahin semua sama gua," tuturnya membuat Bima dan Cia mengangguk bersama. Mereka pun berlari terbirit karena jam masuknya sudah mendesak.

Arin melihat gadis itu dari jauh tengah terbaring lemah dengan beberapa kali menyebut nama seseorang. Dia pun mulai beralih menuju tempat tidur yang di sampingnya terdapat termometer pengukur suhu badan. "Astaga, tinggi banget panasnya."

Dirinya beralih menuju kamar untuk mengambil sebuah kain, lalu ke dapur kos milik bersama sekadar merebus air untuk mengompres panas di dahi Lyla.

Setelah dirasa rebusan airnya sudah cukup, Arin menuju Lyla dengan membawa sebaskom air hangat, siap untuk mengompres. Perlahan, Arin mencelupkan kain itu ke dalam air hangat, kemudian memerasnya, barulah meletakkan kain yang hangat itu pada dahi Lyla. Perlakuan itu membuat Lyla membuka sedikit matanya. "Kak Arin?"

"Diem, lagi gue kompres."

"Aku bisa sendiri, Kak."

"Diem, Lyl. Lu kalo kaga diem gua obrak-abrik ni kamar. Diobatin, tuh, yang tenang," titahnya membuat Lyla tak berkutik selain menurut.

Sementara Arin mengurusnya, tiba-tiba suara klakson motor dari arah luar mengagetkan mereka. Suara itu tidak hanya berulang sekali tetapi berkali-kali, hingga membuat Arin mau tak mau menuruni anak tangga untuk melihat siapakah itu? Sebuah ojol? Atau siapa?

LOVE IS BURDEN [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang