Ujian Akhir Semester pun telah dimulai sejak beberapa hari yang lalu hingga beberapa hari kedepan. Memang tidak seperti saat sekolah yang berlangsung dengan teratur, jadwal di perkuliahan memang selalu tidak menentu, semua terserah dosen. Jika sang dosen meminta satu tugas akhir sebagai pengganti ujian akhir semester, maka hal itulah yang akan terjadi. Sebaliknya, jika dosen menginginkan ujian tulis atau pun lisan, berarti tandanya mahasiswa harus masuk saat itu juga, tetapi jikalau berhalangan maka harus menggantinya dengan meminta ujian susulan. Memang, perkuliahan ini lebih bersikap mendadak dan mendidik. Semua tergantung rules kampus juga dosen.
Seperti di kelas A2.02.Psikologi, dalam tenggat waktu dua minggu ini, dosen di kelas Lyla mengadakan ujian Biopsikologi di hari Senin kemudian disusul mata kuliah psikologi konseling, tetapi keesokan harinya mereka free tidak ada ujian sama sekali di karenakan dosen ada urusan tertentu. Jadi, digantilah dengan lain hari, baru esoknya tepat di hari Rabu, mereka mendapati ujian mata kuliah PIBK (Psikologi Individu Berkebutuhan Khusus) juga kewarganegaraan. Begitu seterusnya hingga semua mata kuliah selesai diujikan. Lagi-lagi, kebanyakan prediksi dari mahasiswa A2.02.Psikologi tentang kapan dosen akan mulai mengadakan ujian selalu meleset. Entah dosen tiba-tiba sakit, tidak bisa hadir karena masih di luar kota dan semacamnya.
Namun saat ini, semua mahasiswa bisa menghela napas lega termasuk, Lyla. Akhirnya, segala ujian di penghujung semester ini telah dilewatinya dan kabar baiknya, ia tetap bertahan bagaimanapun kondisinya. Segala penat akan belajar, rasa sakit yang harus ditunda karena kepentingan ujian, telah dirasakannya mendekati detik-detik ujian akhir di tahun ini. Berat memang jika dirasa, tetapi ia yakin perjuangannya akan sebanding dengan apa yang akan ia dapat nantinya. Untunglah, di sela-sela itu Cia sebagai sahabat selalu menyemangatinya. Dirinya memang sungguh beruntung.
Gadis itu kini bersantai ria di dalam kantin diikuti Erick. Kebetulan hari ini adalah hari terakhirnya untuk masuk kampus karena esok kegiatan belajar mengajar di sini sudah berakhir. Waktunya liburan!
Ia telah memesan sebuah iced tea sekadar menghilangkan dahaganya. Saat dirinya meminum satu tegukan, lelaki itu berceletuk. "Lo musim ujan malah minum es teh. Pilek mampus!" tuturnya yang tak mendapat satu gubrisan pun dari Lyla. Gadis itu masih asik menonton video dalam ponselnya.
Erick mendecak. "Minimal kalo diajak ngomong disautin, sih."
Lyla mengerlingkan matanya. "Oh, ngajak ngomong gue?" Erick hanya menghela napasnya pasrah sambil melirik. "Lah, ya, maaf? Kan, yang minum es teh di sini bukan gue doang? Bener, nggak?"
"Bodoamat, Lyl. Terserah lo," pekiknya tak habis pikir. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, matanya memicing, memerhatikan sosok lelaki dengan almamater rapi bersama seorang perempuan tengah memesan sesuatu di depan kantin.
"Kak Luna? Kak Bim?" gumamnya, tetapi Lyla tak memerhatikan karena masih berfokus pada ponselnya sambil tersenyum-senyum sendiri.
Padahal saat ini, tiap pasang mata dalam kantin itu mengalihkan pandangan pada sang objek sama halnya seperti Erick. Dari kejauhan, Bima-Presma itu berjalan berdampingan bersama perempuan populer di kampus mereka. Bukan hal itu yang membuat aneh, bukan. Akan tetapi, saat mereka berbicara dan bercanda tawa bersama layaknya orang yang sudah lama mengenal. Padahal seingatnya, baru beberapa kali ini semenjak Lyla sakit pertemuan Luna juga Bima itu terjadi.
"Gue udah duga, pasti tu orang cuma mau mainin Lyla. Untung Lyla kaga pernah suka sama dia," monolognya.
Ketika Lyla hendak beranjak dari tempat duduknya sembari mengesampirkan tasnya, Erick menghadang pergerakannya dengan tangan. "Mau ke mana lu?"
"Mau ke perpus gue." Erick menggeleng sambil mengeratkan genggamannya pada tangan Lyla agar ia duduk kembali.
"Lo apa-apaan, sih, Rick!" Nada suaranya meninggi. Ia menghempaskan tangannya membuat Luna tersadar jika seseorang yang dicarinya berada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE IS BURDEN [TERBIT]
Fanfic[BELUM REVISI] Terlalu dalam menaruh rasa seringkali membuat kita lupa akan sebuah lara. Padahal kedua hal itu selalu mengikat satu sama lain. Kalyla selalu menganggap cinta adalah beban dan tak sedikit pun ia berminat untuk jatuh cinta. Beberapa ka...