Style Preman

97 9 8
                                    

Terkadang kita harus bersikap tegas ketika harga diri kita yang dipertaruhkan.

• Gabriella Margareth Angelina S •


Panas matahari yang menyengat tak membuat Gabriel kepanasan. Sekarang, ia sedang mencoba motor barunya dan berkeliling disekitar kota itu. Ia juga sempat ke mall untuk berganti pakaian sekaligus numpang mandi. Berhubung jam masih menunjukkan pukul 3 sore, ia berniat untuk makan siang di warung pinggir jalan.

"Chapter pertama udah gue ubah total. Harusnya sih si Gabriel tolol ini yang di rumah sakit, bukan Vero. Haha, untung gue jago bela diri." gumamnya pelan.

Angin yang menyegarkan membuat Gabriel tersenyum lebar. Sedari tadi, tak henti-hentinya ia tersenyum. "Ada dua pilihan yang harus gue ambil. Gue jadi diri gue sendiri, atau bersikap polos. Tapi, gak mungkin deh gue bersikap polos. Najis banget," monolognya, lagi.

Ia membelokkan motor barunya kearah warung pecel lele yang ada di dekat sebuah SMA. Ia membuka helm, lalu melangkah dengan tegas dan datar tanpa ekspresi. Tanpa ia ketahui, warung itu adalah warung langganan Geng Black Lion. Walaupun ia tahu pun, sepertinya ia tak peduli.

Gabriel duduk di meja paling pojok sisi kanan yang langsung berhadapan dengan gerbang sekolah SMA GENTALA. Bangunan dengan empat tingkat itu terlihat sangat tinggi, indah, dan megah. Ia benar-benar tak percaya jika dirinya akan merasakan sekolah di kota dan di SMA yang benar-benar megah, gratis pula.

"Mau pesan apa, Kak?" tanya pelayan warung disana.

Gabriel menatap menu makanan yang diberikan. "Pecel lele sama es teh manis," ujarnya menjawab.

Pelayan yang bernama Mentari itu mengangguk dengan senyuman manis yang menghiasi. "Pecel lelenya mau yang pedas, sed-,"

"Pedas," potong Gabriel cepat. Terkesan tak sopan, tapi itulah sifat asli dirinya. Tak suka diganggu ketika pikiran ingin menjelajah dan menelaah masalah yang akan terjadi.

"Baik, Kak. Silahkan ditunggu, permisi," pamit Mentari dengan senyum yang masih menghiasi.

Gabriel hanya membalas ucapan Mentari dengan deheman, lalu kembali sibuk dengan pikirannya.

'Gayanya keren banget! Cantik, sangar, cool lagi. Perfect banget pokoknya mah,' batin Mentari yang sibuk menyiapkan pesanan Gabriel dengan mata yang sesekali melirik gadis cantik itu.

Disisi lain...

"Vero gak ikut, Dan?" tanya Jamet yang sedang melepas helm kesayangannya.

Zidan yang sedang membantu Cia melepaskan helmnya pun melirik temannya itu. "Gak. Lagi ada urusan," sahutnya acuh. Tak mungkin jika ia mengatakan kalau Vero sedang dirawat di rumah sakit karena ulah Gabriel, itu hal yang sangat mustahil.

Ketujuh laki-laki tampan itu mengapit Cia di tengah seperti seorang ratu. Angkasa yang menjadi ketua Geng Black Lion itu menggandeng tangan mungil Cia yang membuat sang empu tersenyum malu dengan tingkah crush nya itu. Mereka duduk di tempat biasa, tanpa menyadari kehadiran Gabriel yang sedang duduk melamun tepat di sebelah meja mereka.

"Ini pesanannya, Kak!" seru Mentari seraya meletakkan pesanan Gabriel dimeja.

Gabriel berdehem, kemudian menatap gerak-gerik Mentari. "Lo..," ucapnya menggantung.

Mentari tersenyum. "Iya, Kak. Ada apa, ya?" tanyanya ramah.

"Gapapa. Lo boleh pergi." sahut Gabriel dingin.

Mentari mengusap belakang lehernya yang gatal. "Hehe, i-iya Kak." ujarnya sedikit gagap.

"Gue bukan psikopat, gak usah takut. Kita sama-sama manusia yang terbuat dari tanah dan akan kembali ke tanah. Kita sama, kecuali kalo gue titisan iblis lo boleh takut," jelasnya membuat Mentari salah tingkah sendiri.

TRANSMIGRASI GLADYS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang