Dirangkul oleh luka, dikuatkan oleh cita, dan tertawa untuk berpura-pura.
•••
Suara burung berkicauan membuat seorang laki-laki menggeliat dari tidurnya. Bukan hanya itu, matanya pun merasa silau ketika mentari pagi menyapa melewati celah jendela yang terbuka. Laki-laki itu mengubah posisinya, duduk mengumpulkan nyawa yang belum kunjung pulang.
"DUIT! DUIT! DUIT TERUS! NAFKAH BULANAN YANG SAYA KASIH KAMU KEMANAKAN, HAH?! BULANAN SAMPAI SEPULUH JUTA, HABIS DALAM WAKTU DUA MINGGU? GILA KAMU!"
"DIKIRA KERJA ITU ENAK? KAMU TAHU KAN SAYA LAGI SAKIT? KENAPA YANG SETIAP HARI KAMU TANYAKAN CUMA JATAH BULANAN, DIMANA OTAKMU, RENI?!"
"ORANG TUA KAYA MU MANA? YANG SELALU PAMER KALO KESINI, GONTA-GANTI MOBIL, PALING CEPAT KALO SOAL JATAH, MANA MEREKA? SEMINGGU INI SAYA SAKIT, MEREKA BELUM JUGA MENUNJUKKAN BATANG HIDUNGNYA. APA SAYA BELUM DIANGGAP ANAK KARNA BELUM MEMBELIKAN MEREKA RUMAH?"
Laki-laki tampan itu terdiam didalam kamarnya, ia sangat hafal dengan suara yang menggelegar itu. "Sepagi ini?" gumamnya tersenyum miris.
Ia langsung melangkah menuju kamar mandi dan melakukan rutinitas paginya. Setelah selesai, ia langsung bersiap untuk ke sekolah.
"MAKSUD KAMU BILANG ORANG TUA AKU MATRE, MAS? TEGA KAMU, MAS!" teriak sang istri dengan air mata yang merembes membasahi kedua pipinya. "AKU MEMANG ANAK ANGKAT DARI KEDUA ORANG TUAKU, TAPI AKU GAK KAYAK MEREKA, MAS! AKU MINTA UANG SAMA KAMU BUAT BELI BAHAN DAPUR KARENA UANG SUDAH MAU HABIS!" teriak sang istri, lagi.
"SAYA TANYA, SEPULUH JUTA MENURUT KAMU BANYAK ATAU SEDIKIT?" bentak sang suami emosi.
Sang istri menatap wajah suaminya dengan tatapan layu. "Ibu aku minta uang sama aku, Mas. Katanya buat beli kebutuhan Tania." sahutnya pelan.
"TANIA, LAGI?! AP-,"
"Kalian gak cape ribut terus?" celetuk laki-laki tampan yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. "Ari aja cape dengerinnya." lanjut laki-laki yang bernama Ari itu. Perut yang tadinya bergetar lapar, seketika menghilang karena mendengar teriakan dan bentakan orang tuanya. Mungkin, ini sudah hal biasa di rumah dua tingkat itu, tapi perih yang Ari rasakan tak bisa diajak kompromi kalau teriakan dan bentakan itu hanyalah sebuah lelucon di pagi hari.
"Putra, Mama. Sini, sayang.." panggil Anjani dengan senyum lembut.
Ari menggeleng. "Kalian selesaikan dulu masalahnya sampai benar-benar tuntas. Ari gak mau dengar keributan kalian lagi, kalau gak, Ari pindah ke apartemen aja." tutur Ari penuh harap. Ia menatap kearah Anjani dan Henry secara bergantian.
"Papa sita apartemen kamu!" balas Henry dingin.
Ari tersenyum kecil. "Silahkan! CERAI AJA KALIAN, CERAI!! PERLU KALIAN TAHU, AKU CAPE TIAP HARI SARAPAN KERIBUTAN DIRUMAH INI! CAPE, PA, MA!" tekan Ari kemudian pergi tanpa pamit. Sepertinya, ia memilih bolos dan pergi ketempat yang menenangkan. Hatinya benar-benar dilanda perih.
Walaupun di mulut Ari meminta agar kedua orang tuanya cerai, tapi lain di hati. Ia tak rela jika kedua orang tersayang berpisah. Ia takkan sanggup dan akan membenci takdir itu.
"Maaf ya, Pa. Ari gak sengaja bentak Papa. Ari cuma gak tahu harus gimana karena kalian ribut terus setiap hari. Pa, cepat sembuh, ya?" gumam Ari seraya menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Udara pagi hari begitu segar membuat Ari merasa lebih baik. "Ini semua salah tante Tania, bukan Mama, Pa! Ari bakal beri pelajaran buat tante bermuka dua itu!" desis Ari geram.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRANSMIGRASI GLADYS
Teen Fiction"Aaa, bisakah aku bertransmigrasi, Tuhan?" Kisah seorang gadis remaja yang ingin berpindah raga ke seorang putri kerajaan, namun takdir membawanya kedalam raga seorang gadis broken home, dibenci oleh semua orang, dan keberadaannya yang tak pernah di...