Seringai miring menghiasi wajah Gabriel yang berlumuran darah. Ia tak lagi merasakan sakit, namun bekas darah itu masih jelas di wajah cantiknya.
"Gimana, Bitch? Kaget, ya?" ledek Gabriel kemudian mendekati Cia yang berusaha menghindar. "Kok mundur? Kenapa? Takut?" sambungnya terkekeh kecil.
"A-awas! Pe-pergi lo!" usir Cia terbata-bata.
Gabriel tersenyum lebar. "Gak usah takut, gue bukan setan," ujarnya pelan.
"L-lo monster!" sentak Cia membenarkan ucapan Gabriel.
Gabriel tertawa. "Oh, gue monster, ya? Aduh, kalo 'dia' marah terus bunuh lo sekarang juga gimana dong?" tanyanya sendu.
Melihat ada kesempatan, Cia langsung mendorong Gabriel sekuat tenaga, tapi ia lupa kalau pintunya terkunci. Dan, kunci itu ada di saku roknya. Cia merogoh sakunya dan langsung melotot kaget karena tidak ada apapun di dalam sana.
"Lo cari ini?" tanya Gabriel seraya memainkan kunci di jari telunjuknya.
Cia membalikkan badannya, menatap Gabriel penuh emosi. "Balikin, anjing!!" teriaknya ketakutan.
Mata tajam Gabriel menatap nyalang Cia yang berusaha menggapai kunci di tangannya. "Jujur atau mati?" tekan Gabriel menatap tajam manik Cia yang terlihat gelisah.
Cia berdehem. "J-jujur apa?" ujarnya berbalik tanya. "GUE BUKAN PEMBOHONG KAYAK LO, SIALAN!" lanjutnya keras.
Tawa renyah Gabriel menanggapi ucapan bodoh Cia. "Gue gak bodoh, Cia. Lo pake cara haram biar keluarga gue sayang sama lo, kan?" tanyanya tak memerlukan jawaban.
'Please, siapapun tolong gue!' pekik Cia di dalam hati.
"Gak ada yang bisa bantu lo kecuali diri lo sendiri. Jangan terlalu berharap sama orang lain, terkadang orang yang paling dekat adalah orang yang memiliki peluang paling besar buat nusuk kita dari belakang. Hiduplah diatas garis takdir yang udah ditentukan, jangan menggunakan cara kotor buat hal yang nantinya bakal ngerugiin diri lo sendiri,"
"Lepasin, Cia. Lo bakal rugi kalo ini semua diterusin, gue yakin itu," lanjut Gabriel menatap melas Cia yang terdiam.
Cia menangis. "Lo gak ngerti gimana jadi gue, lo gak akan paham kalo lo belum ngalamin, gue terpaksa Gab, gue terpaksa...," raungnya dengan isakan yang begitu memilukan.
Gabriel mengangguk, mendekati Cia lalu mengusap lembut punggung saudaranya itu. "Gue tau ada jiwa yang jadi korban di setiap langkah lo. Udah, Cia, udah. Dia Mama lo, Mama gue, lo gak kasihan?" sahut Gabriel terdengar lirih.
Cia menatap manik tajam Kakaknya itu, lalu mendorong keras tubuh Gabriel yang dekat dengannya. "CUKUP! Gue gak bakal berhenti setelah perjalanan jauh yang udah gue tempuh. Lo bukan siapa-siapa gue, gak usah sok ngatur gue," ujarnya penuh penekanan.
Gabriel tersenyum miring menatap punggung Cia yang sudah hilang ditelan jarak. "Bodoh!" gumamnya.
~~~
Suara kicauan burung hantu beradu dengan berisiknya teriakan jangkrik dan katak. Suasana desa yang tenang nan damai membuat penduduk disana betah tinggal. Disebuah rumah yang terbilang cukup bagus dengan bahan utama yang masih terbuat dari kayu jati, terdapat seorang pria paruh baya yang sedang duduk di teras seraya menikmati secangkir kopi.
Pria paruh baya bernama Abdi itu membaca koran dengan sesekali melirik ponselnya. Menunggu adalah hal yang paling ia benci, tapi ia harus bersabar karena orang kepercayaannya itu pasti sedang sibuk atau dilanda macet.
"Sayang, udah ada kabar?" celetuk seorang wanita paruh baya dengan pakaian kebaya lawas yang khas.
Abdi menoleh, menatap istrinya yang kini sudah duduk di bangku sebelah. "Belum, paling lagi disibukkan sama persiapan besok," sahutnya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRANSMIGRASI GLADYS
Novela Juvenil"Aaa, bisakah aku bertransmigrasi, Tuhan?" Kisah seorang gadis remaja yang ingin berpindah raga ke seorang putri kerajaan, namun takdir membawanya kedalam raga seorang gadis broken home, dibenci oleh semua orang, dan keberadaannya yang tak pernah di...