Chapter 3 - Siap Memenuhi Takdir Tuhan

466 37 0
                                    

“Sial!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Sial!”

“Gue Dahayu Maheswari.”

Dahayu menggeplak meja rias dengan tangannya, dia menatap pada cermin yang memperlihatkan seorang gadis berambut panjang dengan ujungnya sedikit di curly. Tanpa tersenyum lebar ada cekungan kecil di kedua pipi gadis itu yang lebih menggelikan adalah usianya yang baru akan menginjak tujuh belas tahun beberapa bulan yang akan datang. Fakta ini ia ketahui dari Pandu Laksamana Baskara, kakak laki-laki pertama dari Dahayu Kala Baskara.

Pandu menceritakan semua hal tentang Dahayu setelah dokter mengatakan bahwa dirinya terkena amnesia yang mungkin diakibatkan dari kepalanya yang terbentur dasar kolam. Dahayu rasanya ingin tertawa, dia tidak amnesia buktinya dia mengingat semua kejadian dalam hidupnya. Dia ingat bagaimana Dahayu Maheswari ditembak dan jatuh dari tebing. Ingatan itu masih segar di kepalanya. Dahayu sekali lagi meyakinkan dirinya bahwa ini mimpi, tetapi ketika dia bangun tadi pagi dia masih Dahayu Kala Baskara bukan Dahayu Maheswari.

“Atau gue emang Dahayu Kala Baskara dan semua tentang Dahayu Maheswari itu cuma mimpi?”

Bodoh.

Dahayu menampar kepala dan menjambak rambutnya dia menatap cermin rias dengan frustrasi. Gerakan tangannya yang mengacak-acak rambut terhenti ketika dia teringat sesuatu. Buru-buru Dahayu mengobrak-abrik tas pesta berwarna hitam yang tergeletak di atas kasur. Dia mengambil handphone dengan case berwarna ungu.

“Orang bodoh mana yang gak pasang password di hpnya?”

Dahayu menggeleng dan segera mengetik deretan angka dan menekan tombol telepon menunggu jawaban.

“Hallo.”

Dahayu terdiam dan segera memutuskan panggilan tersebut. Dia terduduk di atas ranjang tempat tidur. Sekarang dia yakin kalau semua ini bukanlah mimpi, suara itu dia hapal sekali. Itu suara papahnya.

Sial. Hal gila apa yang terjadi sama gue saat ini?

***

Dahayu memijak anak tangga terakhir dan segera pergi ke arah meja makan dengan dituntun oleh seorang asisten rumah tangga yang ia perkirakan berusia pertengahan 40-an. Di meja makan sudah terisi keluarganya, Dahayu berusaha bersikap tenang dan segera duduk di kursi bersebelahan dengan Nayana.

“Dahayu, mau makan apa sayang?” tanya pria yang berstatus sebagai papahnya itu. Ketika dia bangun pria itu sudah ada di kamar rumah sakit kemarin. Wajahnya begitu khawatir, gadis itu ingat sekali.

“Nasi goreng saja, Pah.”

“Ambilkan, Mah.”

“Eh gak usah, Mah. Dahayu aja.”

Dahayu segera menyendokkan nasi goreng dan memindahkannya ke piring miliknya. Selepasnya semua orang makan dengan tenang. Tanpa disadari siapa pun, Dahayu melirik semua orang yang ada di meja.

Pertama dia melirik pada Sadewa Agung Baskara—papahnya—yang tahun ini akan berusia 60 tahun. Walaupun sudah berusia segitu, tetapi tubuh papahnya masih terlihat fit. Postur tubuhnya masih tegap, dia memiliki jambang tipis di sekitar dagunya. Dia punya tatapan yang tajam, tetapi juga lembut ketika menatap dirinya. Dari yang ia dengar bahwa papahnya memiliki banyak perusahaan.

Lalu kedua, Dahayu menatap pada Nayana Dwi—mamahnya—. Nyonya Baskara di rumah ini. Mamahnya berusia 50 tahun, tetapi dia seperti masih berusia 30 tahun. Wajahnya awet muda sekali. Mungkin karena sering melakukan perawatan. Mamah memiliki butik yang cukup terkenal di daerah Jakarta Selatan. Butik miliknya telah menjadi rumah bagi beberapa brand lokal. Wanita yang cukup membuat Dahayu berdecak kagum.

Ketiga, dia melirik pada kursi di seberang. Dia menatap pada Pandu Laksamana Bara—kakak laki-laki pertamanya—yang tahun ini berusia 30 tahun tetapi masih betah melajang. Dahayu yakin banyak perempuan yang ingin bersanding dengan pria itu. Lihat saja Pandu punya wajah yang tampan, hidung mancung, kulit putih agak pucat, dengan gaya rambut belah tengah bergelombang yang menyentuh kuping membuat kadar ketampannya naik. Dia bekerja di salah satu perusahaan sang papah menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO).

Keempat, Dahayu melirik pada pria yang sedang memakan ayam gorengnya dengan sedikit brutal. Dia Rajendra Abimana Baskara—kakak laki-laki keduanya—yang berusia 26 tahun dan belum menikah juga. Dia punya wajah yang mungil dan mirip aktor korea. Saat diam, pria itu terlihat berkarismatik. Dia punya tatapan mata yang lembut dan senyum yang manis. Pria itu menjalankan perusahaan start-up yang bergerak di bidang pendidikan.

Terakhir, Dahayu menatap pada pria yang sepertinya tidak akur pada dirinya. Setiap menatap dirinya pria itu terlihat sensi, namanya Keandra Ganeswara Baskara. Pria itu beda satu tahun saja dengan dirinya. Dia memiliki badan yang kecil tak sekekar kedua kakak laki-lakinya. Kean memiliki tahi lalat di ujung bibir. Dia juga memiliki tindik di telinga kanan. Semua informasi itu ia dapatkan dari kakak laki-laki pertamanya yang dengan baik hati menceritakannya.

Sekarang pun gue punya kakak laki-laki. Tiga lagi.

Dahayu menyelesaikan makannya terlebih dahulu, dia meletakan sendok di atas piring. Dia tetap di tempat menunggu yang lain selesai. Sembari menunggu Dahayu menatap kedua telapak tangannya, masih tidak percaya bahwa jiwanya masuk ke tubuh seorang gadis SMA sedangkan dirinya sebagai Dahayu Maheswari sudah berusia 24 tahun.

“Dahayu besok jangan berangkat ke sekolah dulu. Istirahat saja dulu di rumah, lusa baru masuk.”

“Baik, Pah.”

Dahayu hanya bisa menuruti saja, dia tidak mungkin berkoar-koar kembali tentang dirinya yang bukan Dahayu Kala Baskara yang ada semua orang akan menganggapnya gila. Lagi pula siapa yang akan percaya di tahun 2023 ini tentang jiwa yang berpindah ke tubuh seseorang?

***

Ini adalah hari keempat Dahayu bangun sebagai Dahayu Kala Baskara. Anak perempuan satu-satunya di rumah ini. Gadis itu melewatkan sarapannya pagi ini. Jadi, ketika dia turun ke bawah hanya ada asisten rumah tangga. Papah, Mamah, dan kedua kakaknya sudah pergi bekerja. Sedangkan Kean sudah berangkat sekolah. Dirinya akan ke sekolah besok. Dia satu sekolah dengan Kean di SMA Rajawali.

Dahayu sarapan sandwich saja, dia malas makan berat di pagi hari. Dia menatap sekeliling yang cukup sunyi. Rumah ini besar dan berlantai dua. Warna di rumah ini dominan putih tulang. Tampak elegan.

“Gue ngapain sekarang ya?”

Dahayu memegang rambutnya dan menyadari sesuatu. Segera gadis itu naik ke atas menuju kamarnya. Dia duduk di depan meja rias dengan gunting ditangannya.

“Dahayu, sorry rambut panjang lo gue potong. Sekarang gue pemilik tubuh ini, tapi tenang aja tubuh lo gak akan kenapa-napa.”

Dahayu menatap tajam pada cermin di depan dan menggunting rambutnya hingga pendek seperti pria. Gadis itu tersenyum senang.

“Samuel. Entah lo sekarang ada di mana, awas aja kalau ketemu gue bunuh lo.”

Dahayu mengepalkan tangannya mengingat kejadian di mana dirinya ditembak oleh Samuel dan terjatuh dari atas tebing yang tinggi itu. Dahayu sempat berpikir mungkin dia sudah mati, tetapi sepertinya Tuhan punya rencana lain tentang hidupnya.

Dahayu Kala Baskara yang baru siap memenuhi takdir Tuhan.

***









Jiwa yang TersesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang