Chapter 28 - Dahayu

153 18 8
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








“Dahayu, Dahayu.”
 
Seruan seseorang di lorong pagi itu memecah keheningan rumah sakit. Di belakang orang itu terdapat sepasang suami istri yang mengikuti dengan mimik khawatir. Sang suami menggenggam tangan istrinya untuk saling menguatkan.
 
Pria yang berlari paling depan segera mendorong pintu kamar VIP dengan sedikit kuat membuat dua orang yang berada di dalam terkejut.
 
“Dahayuuu.”
 
“Rajendra. Jangan berisik.”
 
Di tatap tajam oleh Pandu yang sedang duduk di samping ranjang membuat Rajendra terdiam. Rajendra pun berjalan mendekat menghampiri Dahayu yang terbaring lemah di atas ranjang. Pandu berdiri membiarkan Rajendra untuk duduk. Ia menghampiri kedua orang tuanya yang terlihat cukup memprihatinkan. Penampilan mereka mungkin rapi, tetapi raut wajah mereka menjelaskan bahwa cukup terguncang mendengar kabar yang ia berikan tadi pagi.
 
“Mamah sama papah duduk dulu. Kean lo cari sarapan dulu sana.”
 
Kean yang mendengar perintah dari Pandu segera beranjak dari sana tanpa melayangkan protes. Ia sekilas menatap pada Dahayu yang masih senantiasa menutup matanya.
 
“Apa yang sebenarnya terjadi, Ndu?” tanya sang Mamah yang menatap Pandu dengan sendu.
 
Pandu menghela napas tidak sanggup untuk menceritakan semuanya.

 
***

 
“Apa?”
 
Rajendra berdiri dari duduknya dan menatap pada Pandu yang baru saja selesai menceritakan hal gila yang terjadi pada Dahayu. Sadewa selaku sang Papah mengusap wajahnya kasar, sedangkan sang Mamah menangis sesegukkan sembari memanggil lirih nama putrinya.
 
“Kenapa akhir‐akhir ini hal buruk selalu menimpa putri kita?” tanya Nayana yang sesegukkan. Dia tak tega menatap putrinya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit yang belum menunjukkan tanda-tanda akan tersadar.
 
“Kita harus selidiki ini, Pah. Ini sudah sangat keterlaluan. Orang-orang itu ingin mencelakai Dahayu!”
 
Sadewa menatap pada Pandu yang menatap dirinya tajam penuh tekad untuk mencari pelaku yang sudah melukai adiknya. Ia mengepalkan tangannya kuat.

 
***

Sudah 14 jam sejak dokter memberi penanganan terhadap Dahayu, tetapi tidak ada tanda-tanda gadis itu akan siuman. Nayana menatap khawatir pada anak perempuan satu-satunya itu. Dia mengelus-elus punggung Dahayu berharap gadis itu dapat merasakan elusannya dan segera tersadar.
 
Sadewa menghela napas dan beranjak dari duduknya menghampiri sang istri. Dia meremat bahu wanita yang menjadi ibu dari anak-anaknya.
 
“Sayang, aku sama Rajendra pulang dulu untuk mengambil beberapa barang.”
 
“Hm.”
 
Sadewa memberikan kecupan singkat di kepala istrinya sebelum meninggalkan ruangan bersama anak keduanya. Alhasil kamar rawat itu terlihat lengang sebelum dipecah oleh suara dering telepon milik Kean. Pria itu segera keluar untuk mengangkat telepon dari sahabatnya, tidak ingin mengganggu Mamahnya dan juga Pandu yang sedang terlelap di sofa.
 
Sepeninggalan Kean, Nayana menyingkap selimut yang menutupi kedua kaki Dahayu. Ia menaikkan celana panjang sebelah kanan sampai batas paha yang mana di sana terdapat lilitan perban. Tangannya dengan gemetar menyentuh itu. Ia menatap pada putri kecilnya yang masih senantiasa menutup mata.
 
“Pasti sakit ya, Sayang?” tanya Nayana yang hanya dibalas oleh keheningan. Ia mengusap matanya dan merapikan kembali apa yang telah ia perbuat.

 
***

 
“Kalian jangan ke sini dulu. Orang tua gue lagi gak mau nerima kunjungan.”
 
“……”
 
“Dia belum siuman. Gue juga gak tahu kenapa, mereka gak ngasih tau gue.”
 
“……”
 
“Iya nanti gue kabarin lagi.”
 
“……”
 
“Iya. Nanti kita bahas.”
 
Tut.
 
Kean memutuskan sambungan telepon dari Raja dan menatap pada pintu kamar rawat adikknya. Dia masih bingung pada apa yang menimpa Dahayu, keluarganya tidak ada yang memberitahu dirinya. Ingin sekali dia bertanya, tetapi melihat keadaan yang tak memungkinkan ia mengurutkan niatnya itu. Dirinya yakin ia pasti akan tahu apa yang terjadi pada Dahayu.

 
***

 
Sepasang mata berkedip-kedip menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Pandangannya buram, kepalanya pusing, dan tubuhnya tidak bisa digerakkan. Tenggorokkannya terasa tercekat, ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi bibirnya tak bisa mengucapkan satu patah katapun.
 
Dalam penglihatannya yang remang-remang dia melihat seseorang seperti berbicara padanya dan berteriak. Walaupun indera pendengarnya seperti tidak berfungsi, ia dapat memastikan orang itu berteriak memanggil seseorang ketika dia melihat ada seseorang yang ikut bergabung menatapnya.
 
Orang itu berusaha mengajaknya bicara, walaupun wajahnya tidak terlihat dengan jelas. Dia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi penglihatannya kembali menggelap.

 
***

 
“Mah, makan dulu yuk,” bujuk Pandu yang berdiri di samping kursi Nayana. Mamahnya itu masih setia duduk di sana menatap Dahayu yang belum membuka matanya.
 
“Mamah masih kenyang. Kalian saja duluan.”
 
“Masih kenyang dari mana, Mah. Mamah cuman makan sarapan aja itupun sedikit.”
 
“Iya nanti Mamah makan.”
 
Pandu menghela napas dan menghampiri Kean yang sedang menata bungkus nasi goreng di atas meja. Sebenarnya pun dia tidak bernafsu untuk makan, tetapi dia perlu energi agar dapat menyelidiki sesuatu yang sedang menimpa adik perempuannya.
 
“Kita makan duluan saja.”
 
“Tapi, mamah?” tanya Kean.
 
“Biarkan saja dulu.”
 
Kean menurut dan segera melahap nasi gorengnya dalam diam. Entah mengapa nasi goreng itu terasa hambar di lidahnya. Di ruangan ini hanya ada mereka saja, papah dan kakak keduanya sedang mengurus beberapa hal di kantor mereka masing-masing.
 
Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian mereka, membuat Kean dan Pandu saling lirik. Kemudian Pandu mengode pada sang adik untuk membuka pintu itu.
 
Kean beranjak dan segera membuka pintu hanya untuk mendapati seseorang yang sudah lama tidak bertemu.  Ia tersenyum menyambut seseorang itu dan mengajaknya masuk.

 
***

 
“Dahayu?”
 
“Dahayu kamu sudah sadar?”
 
Nayana berdiri memastikan tatkala ia melihat sepasang mata yang terpejam itu mulai terbuka, segera saja dia menekan tombol di atas kepala ranjang rumah sakit tersebut.
 
Tentu saja mendengar seruan Nayana membuat ketiga pria di dalam ruangan yang sedang duduk di sofa tergesa-gesa bangun menghampiri.
 
Mata Dahayu kini sepenuhnya terbuka dan menatap pada langit-langit yang berwarna putih. Termenung entah apa yang ia pikirkan. Ia menoleh tatkala ada yang mengusap rambutnya dan mendapati Nayana yang menatapnya dengan air mata yang siap kapan saja tumpah.
 
Tak berselang lama dokter berserta dua orang suster masuk ke dalam ruangan dan segera memeriksa kondisi Dahayu.
 
“Gimana keadaan Dahayu, Dokter?”
 
Suara itu.
 
Dahayu bereaksi dengan cepat, ia menoleh dan mendapati seseorang yang tidak ia duga sedang berbicara dengan dokter di samping ranjangnya. Gadis itu yang awalnya merasa tubuhnya lemas, entah mendapat kekuatan dari mana ia bergerak cepat dan segera melayangkan pukulan pada pria itu. Infusnya bahkan sampai terlepas membuat sedikit darahnya keluar.
 
Kejadiannya begitu cepat membuat orang-orang terkejut dan bereaksi sedikit lambat. Ketika tersadar melihat Dahayu yang berteriak dan mengamuk segera saja dokter, perawat, bahkan Pandu berusaha memisahkan gadis itu.
 
***
 
 
 
 
Hai semuaaa, apa kabar?
Maaf baru update sekarang ya, padahal bilangnya rabu kemarin. Sudah 4 bulan ya gak update? Aku benar-benar minta maaf. Selamat menikmati bab ini, semoga gak ngaret lagi ya updatenya💞

Terima kasih yang sudah mau menunggu dan selalu nanyain kapan update💞

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jiwa yang TersesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang