Chapter 26 - Obat Perangsang

313 19 0
                                    

Dahayu merasakan panas diseluruh tubuhnya. Pikirannya melayang ke mana-mana. Ia segera memasuki toilet cewek dan masuk ke bilim terakhir dan mengunci pintu.
 
Dia segera duduk di atas toilet duduk yang tertutup. Badannya gerah, ia inging melepas pakaiannya. Tetapi ia dapat menahan semua hasratnya. Ia berusaha tetap membuat dirinya sadar dan terkendali.
 
Ia bertumpu pada dinding toilet ketika rasa pusing juga menderanya.
“Kurang ajar. Ada yang sengaja masukkin obat perangsang di minuman gue.”
 
Dahayu mengepalkan tangannya, dia kurang waspada akan sekitarnya. Ia lengah. Bukankah saat dia menjadi agen mata-mata dia selaly waspada akan sekitarnya. Namun, apa boleh buat semua sudah terjadi. Sekarang dia harus tetap berada di dalam sini atau ia akan masuk jebakan yang telah direncanakan orang di balik ini semua.
 
Ia melepas tasnya dan menggantungnya di tempat gantungan yang berada di pintu. Badannya sempoyongan, belum lagi rasa panas dingin ditubuhnya.
 
“Ssh. Siaal!”
 
Dahayu hampir kehilangan kendali akan tubuhnya. Ia ingin memasukan tangannya ke area sensitifnya. Ia mengambil selang air seperti shower kecil dan menekannya membuat air yang deras keluar. Dahayu menyiram itu ke wajahnya, kepalanya, serta seluruh tubuhnya. Dia kini sudah basah kuyup. Namun, rasa panas itu masih ada. Dia tidak bisa begini.
 
Saat ia berusaha mengatasi dirinya, suara ketukan di toilet membuat Dahayu terjengit dan waspada. Dahayu memilih tidak mengeluarkan suaranya dan siapa pun yang berada di luar bilik toilet ini juga memilih diam.
 
Namun, ketukan itu datang lagi dan kali ini lebih cepat. Bahkan sepertinya orang di balik pintu itu akan mendobrang pintunya.
“Brengsek. Siapa pun lo pergi dari sini!”
Dahayu bangun dari duduknya, ia bersandar pada pintu berusaha menahan dobrakan pada pintu toilet. Ia melepas jaket denimnya memperlihatkan tank top hitam yang dirinya kenakan. Ia melempar sembarangan jaket miliknya.
 
“Pergi dari sini. Lo mau mati?”
 
Dahayu bersusah payah mengambil sesuatu di balik kaos kakinya. Sesuatu yang mengkilap yang selalu ia bawa ke mana pun. Dia meyakinkan dirinya dan membulatkan tekadnya, dengan berusaha mengendalikan tubuhnya dan pikiran kotor yang ke mana-mana ia membuka pintu toilet dengan cepat dan menendang orang tersebut di perutnya.
 
Dahayu menatap pada seseorang yang terjatuh menghantam dinding. Sepertinya pria dari penampilannya. Ketika orang itu mendongak, Dahayu mendapati wajah yang tidak ia kenali. Pria itu menyeringai dan berdiri.
 
“Kuat juga tendangan lo. Gue suka cewek agresif begini. Hahahaha.”
 
“Diam lo.”
 
Dahayu menatap pria itu tajam, ia menodongkan tangan kanannya yang memegang pisau. Dia berusaha berkonsentrasi menatap pria di depannya itu.
 
“Woah woah. Calm down, girl. Dari pada kita bertarung dan kamu akan terluka lebih baik kita bersenang-senang.”
 
Pria itu tersenyum menjijikkan dan membuat Dahayu meludah ke samping.
“Mati lo, brengsek.”
 
Dahayu menerjang pria itu, di bawah pengaruh obat yang meresap, menyusun keberanian di dalam dirinya. Dengan mata berkunang-kunang, ia merasa perlu bertahan dari pria asing yang mendekatinya dengan niat yang tidak jelas di dalam lorong toilet yang sempit.
 
Dengan gerakan cepat, pria itu menangkis serangan yang ia berikan. Dahayu, berusaha melawan efek obat yang membingungkannya, bergerak dengan refleks tajam. Mereka bergulat di dalam ruangan yang sempit, suara langkah dan hiruk-pikuk pertarungan menciptakan dentuman di toilet yang sunyi.
 
Dahayu, memanfaatkan keberanian dan ketajaman indera yang tersisa, mampu mengelak dari serangan pria tersebut. Pisau di tangannya menjadi garis pertahanan terakhirnya. Ia akan benar-benar menusukkan pisau ini ke tubuh pria di depannya ini jika diperlukan.
 
Bug.
 
Dahayu berhasil mendaratkan tendangannya ke wajah pria itu. Ia menodong wajah pria yang terduduk itu dengan mata pisau yang mengarah ke matanya.
“Asal lo tahu gue bisa aja bunuh lo. Gue gak asal menggertak. Gue bisa lakuin itu.”
 
Dahayu mengubah posisi pisau menjadi berada ke leher pria itu. Dia menekan pisaunya di sana dan sesuatu yang basah berwarna merah keluar dari kulit leher pria itu membuatnya terjengit.
 
“Pergi dari sini, sebelum gue benar-benar membunuh lo.”
 
Dahayu mundur dan menatap pada pria yang juga sedang menatap matanya. Dia dapat melihat tatapan terkejut pria itu, mungkin ia tak percaya bahwa seorang gadis SMA bisa memiliki pertahanan tubuh yang baik walaupun sedang dalam pengaruh obat terangsang.
 
Pria itu meraba lehernya dan menatap pada tangannya yang terdapat darah. Ia berdiri, menatap sekali lagi pada Dahayu dan pergi dari sana.
 
Dahayu terduduk, air matanya keluar. Dengan sisa-sisa energinya ia terseok-seok mendekati bilik toilet dan masuk kembali ke sana.
 
Ia mengunci pintu dan mengambil tasnya. Ia mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Kean di sana. Pemilik surai pendek itu melakukan panggilan dan tidak ada jawaban dari kakaknya.
 
Dahayu yang terduduk melepas celana panjangnya menyisakan celana legging pendek berwarna hitam. Dia sudah tak tahan dan mulai sulit mengendalikan dirinya.
 
Dia menatap pada pisau di tangannya. Ia tak ada pilihan, dari pada ia kehilangan kesadaran atas dirinya dan melakukan yang tidak-tidak, maka ia mendekatkan pisau tajam itu ke dekat pahanya yang mulus.
 
Ia menekan pisau itu di sana dengan kuat dan menahan ringisannya saat darah segar keluar dari sana. Rasa sakit yang ditimbulkan membuyarkan sedikit dari efek obat perangsang. Luka yang diciptakan oleh tekanannya pada pisau cukup dalam, tetapi gadis itu sepertinya tidak peduli.
 
Dahayu mengambil ponselnya, itu sudah panggilan yang ke sekian tetapi Kean tidak mengangkat. Ia beralih ke kontak Nata bahkan Raja tetapi tidak ada satu pun yang mengangkat. Sepertinya mereka semua tidak mendengar suara ponsel yang berdering, karena suara musik yang keras. Bahkan Dahayu dapat mendengar suara musik dengan jelas dari sini.
 
Ia menatap pada jam yang tertera di ponselnya yang baru saja menunjukkan angka 23.00. Baru jam sebelas malam, masih ada satu jam sebelum pesta berakhir. Dengan darah yang terus keluar dan keadaan tubuhnya yang lemas membuat Dahayu tidak yakin ia dapat bertahan selama itu. Juga dia merasa heran kenapa Kean dan yang lain tidak ikut mengejarnya ketika ia berlari dengan tergesa-gesa bahkan tidak menyusulnya ketika ia lama tidak kembali ke menemui mereka.
 
Dahayu mengenyahkan pikirannya dan segera mencari kontak Pandu dan menelepon kakak tertuanya itu. Dia berharap pria itu masih terjaga dan harapan gadis itu terkabul ketika sebuah suara serak orang bangun tidur terdengar.
 
“Kak, tolong Dahayu.”
 
Dahayu dengan sisa-sisa tenaganya berteriak dan ia yakin itu berhasil membuat kakaknya pasti terkejut bukan main. Matanya berkabut dan sekitarnya berkunang-kunang. Ia mendengar suara kakaknya memanggil-manggil dari seberang sana, tetapi Dahayu tak menyahutinya. Kepalanya pusing sekali.
 
***
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Jiwa yang TersesatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang