Chapter 6

703 64 32
                                    

9 Oktober 1980 lahirlah seorang bayi perempuan yang menggemaskan dengan mata biru dan tangis yang nyaring ditelinga. Kini bayi perempuan itu bertumbuh menjadi seorang gadis cantik berusia 16 tahun.

Pagi dihari ulang tahunnya, Kaia membuka pintu asramanya untuk bergegas sarapan tapi dia mendapati satu box besar berwarna putih dengan pita hijau. Kaia mengangkat box itu dan ternyata terselip kartu ucapan disana.

Happy birthday!

I really hope you'll like this.

Teddy.

Kaia mencoba mengingat siapa seseorang bernama Teddy ini yang memberikannya hadiah di pagi hari ulang tahunnya. Kaia memutar mundur ingatannya, apakah dia pernah bertemu seseorang bernama Teddy? Ingatannya menuju pada surat, menara burung hantu, Theo! Teddy adalah nama panggilan Theo.

Melompat girang, Kaia membawa box itu kedalam asramanya untuk dibuka. Dia membuka box itu dengan penuh kehati-hatian takut akan rusak.

Saat terbuka, isinya adalah sepatu balet dari brand terbaik yang selalu dia impikan sejak kecil namun yang ini versi terbaru.

Sewaktu dia kecil, Donatella hanya bisa membelikan sepatu balet biasa untuk Kaia yang sering membuat kaki Kaia kecil tergores atau bahkan terluka. Dengan hadiah ini, Kaia merasa emosional. Artinya Theo ingin Kaia untuk terus berkarya, berjuang pada keahliannya.

Tak pernah setiap tahunnya dia menerima hadiah dari seorang teman. Tapi tahun ini, Kaia akan selalu mengingatnya. Hadiah pertama dari temannya.

"Temannya"? Tapi Kaia tak merasa hanya berteman pada Theo, tidak seperti Pansy. Bersama Theo, Kaia merasa aman dan tenang, dia merasa tak perlu takut akan dihakimi oleh Theo. Bersama Theo, Kaia merasa menjadi dirinya sendiri yang lama hilang. Apa Theo juga merasakan hal sebaliknya? Tanyanya dalam hati.

***

Faustus Nott adalah seorang pembunuh, bekas pelahap maut pada masanya. Begitu pula Theo. Faustus Nott pernah memerintahnya untuk membunuh seorang squib hanya untuk membuktikan jika dirinya tidak lemah.

Jika ayahnya melihat dirinya sedang tersenyum membayangkan wajah Kaia saat membuka hadiah darinya, Theo yakin ayahnya akan memaksanya untuk menyiksa peri rumah mereka lagi.

Faustus Nott benci anak laki laki tunggalnya terlihat lemah. Dia ingin mematikan perasaan yang dirasakan oleh hati manusia Theo.

Itu sebabnya Theo selalu diam diantara teman temannya yang lain, dia tak pandai mengekspresikan perasaannya. Namun saat bersama Kaia, Theo merasa tak perlu menjelaskan isi hatinya, Kaia selalu mengerti apa yang dia inginkan.

"Theo Nott!" Berlarian dikoridor, Kaia menghampiri Theo dengan senyum lebar diwajahnya. Jika melihatnya seperti ini, Theo merasa ingin egois. Egois dengan keinginan untuk membuatnya selalu tersenyum, egois untuk mengurungnya didalam ruangan karena tak ingin orang lain melihat senyum cantik Kaia.

Seketika gadis itu mengecup pipi Theo saat dia sampai disampingnya. "Terima kasih hadiahnya," ucapnya, masih dengan senyum yang mengembang diwajahnya.

Theo merasa lega jika Kaia menyukai hadiahnya. Beberapa hari terakhir dia sangat pusing memikirkan dan menyiapkan hadiah untuk Kaia. "Itu belum semuanya, ikut denganku nanti malam."

"Kemana?" tanya Kaia dengan polosnya. Matanya berbinar menatap Theo. Theo merasa bangga pada gadis ini. Seratus delapan puluh derajat berubah dari malam pertama saat mereka bertemu di menara astronomi. Matanya tidak cekung dan gelap lagi, pipinya mulai berisi, begitu pula bibirnya yang kembali berwarna alami.

"Kau akan tahu. Ayo ke kelas sekarang," sanggah Theo, mengambil alih tas Kaia dan mulai berjalan menuju kelas mereka.

***

Melancholy || Theodore NottTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang