Chapter 9

828 63 13
                                    

Hari berikutnya, anak anak Slytherin membersihkan ruang rekreasinya sebelum mereka pergi ke kelas masing masing. Setiap orang memegang kantung sampah masing masing karena hukuman dari profesor Snape yang melarang mereka untuk menggunakan sihir.

Sejak sarapan di Great Hall, hingga sekarang Theo tak melihat Kaia sama sekali hingga membuat dirinya bertanya tanya tentang gadis itu. Apa dia makan? Apa dia akan kembali memakai narkoba karena ini? Theo merasa sangat bersalah, harusnya dia menahan Kaia semalam.

Hingga menutup hari pun Theo tetap tidak melihat Kaia sama sekali. Dikelas kelas mereka, makan siang dan makan malam semua dilewatkan oleh gadis itu.

Tidak bisa, dia harus melakukan sesuatu, bukannya hanya duduk bersama teman temannya di ruang rekreasi menertawakan apa saja yang terjadi di pesta Halloween. Theo akhirnya memutuskan untuk berdiri dari tempatnya duduk, sontak menarik perhatian semua teman temannya. "Kau tidur cepat?" tanya Blaise.

"Ya," jawab Theo singkat, meninggalkan ruang rekreasi dan teman temannya yang lain disana. Theo harus bicara pada Kaia dan menyelesaikan kesalah pahaman yang terjadi. Sehari saja tanpa celotehan Kaia membuatnya merasa sepi padahal teman temannya yang lain pun berceloteh tapi tidak semenarik Kaia, tidak semenarik senyuman Kaia, tidak semenarik suara tawa Kaia.

Alih alih menuju asrama laki laki, Theo melangkah menuju asrama wanita, kearah kamar Kaia. Theo sudah tahu dimana letak kamar Kaia, ditambah lagi sekarang pintu mereka ditempeli foto bergerak Kaia dan empat teman sekamarnya. Mereka cukup banyak mendekorasi pintu kamar mereka sekarang.

Setelah meyakinkan dirinya berkali kali, Theo akhirnya mengetuk pintu itu. Sekali belum ada jawaban, diulanginya sekali lagi dan untungnya kali ini pintu itu terbuka namun yang keluar bukan Kaia tapi Pansy.

"Dimana Kaia?" tanya Theo dengan wajah datar tanpa ekspresinya.

"Bukan urusanmu, go fuck yourself, Nott," balas Pansy hendak menutup kembali pintu dihadapannya. Tapi Theo menahan agar pintu itu tidak tertutup dengan mantra yang hanya dia ucapkan dalam pikirannya.

"Parkinson, aku benar benar ingin bicara dengannya. Bicara, tidak lebih," ucap Theo memohon. Tak pernah sekalipun dalam hidupnya dia memohon atau Faustus Nott akan menghukumnya.

"Aku bersumpah akan mendendang buah zakarmu jika dia menangis lagi, kau pikir mudah membuatnya berhenti menangis?" dengus Pansy meninggalkan kamar Kaia yang kebetulan hanya terisi Kaia dan Pansy tadinya.

"Thank you," gumam Theo pelan saat Pansy sudah pergi. Dia memberanikan diri untuk masuk dan menemui Kaia. Gadis itu meringkuk diatas kasurnya, memeluk kedua kakinya dan meletakkan dagunya diatas lututnya.

"Kaia..." panggil Theo pelan membuat Kaia mendongak. Matanya merah dan bengkak, hidungnya merah, pipinya merah, rambutnya tergulung keatas dengan acak. Melihat gadis yang selalu tersenyum hanya padanya berada dititik terendahnya membuat Theo sadar jika membuat orang lain tertawa itu penting, karena Theo ingin mendengar tawa Kaia, melihat senyum Kaia, bukan Kaia yang seperti ini.

"Get. Out." Dua kata yang keluar dari bibir itu, namun rasanya sangat menusuk bagi Theo. Kaia adalah satu satunya teman yang benar benar mengerti dirinya, satu satunya teman yang dia izinkan untuk menyentuhnya.

"Amore..." Alih alih pergi seperti permintaan Kaia, Theo berlutut didepan ranjang Kaia dimana gadis itu duduk.

"Don't 'amore' me, Nott. Leave. I'm sick of you, i'm sick of your friends, fuck you," sentak Kaia didepan wajah Theo.

"Kaia, ku mohon, dengarkan penjelasanku." Theo menangkap kedua tangan Kaia, menggenggamnya erat untuk membuat Kaia lebih tenang.

Kaia mencoba untuk mengontrol emosinya, menarik napas dan menghembuskannya beberapa kali. Saat dia mulai tenang, gadis itu menangkap plaster dipelipis Theo tapi dia berusaha untuk tidak perduli.

Melancholy || Theodore NottTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang