25. Pendekar Pedang Hitam

85 9 0
                                    

"Lah?"

Kirigaya Kazuto membuka matanya tiba-tiba, mengejutkan Eugeo yang duduk di sampingnya.

"Aduduh..."

Eugeo memalingkan kepalanya dengan khawatir, "Kau kenapa, Kirito...?"

Kirito menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba membersihkan pikirannya dari entah apapun itu yang mengganggunya. Matanya berkedip-kedip, berusaha untuk fokus.

"Tidak, bukan apa-apa kok. Aku hanya merasa... aneh. Rasanya seperti terbangun dari tidur berbulan-bulan..."

"... tetapi kamu hanya tertidur lima menit, loh?" Eugeo mengangkat alis.

"Oh, begitu? Yah, aneh sekali!" tanggap Kirito, sembari tertawa gugup. "Omong-omong, apa sudah ada yang datang?"

"Tidak, belum ada siapa-siapa... oh, itu dia, Kirito!"

Seorang pria paruh baya memasuki ruangan dengan mendorong sebuah meja besar. Sebuah kotak berlubang dapat terlihat di atasnya. Terdengar suara 'glatak-glutuk' di dalamnya.

Kirito mengangkat kepalanya sedikit untuk bisa melihatnya lebih jelas, namun sayangnya dia tidak dapat mengetahui apa yang ada di dalamnya dengan melihat saja. Menilai suaranya, kemungkinan besar isinya adalah bola-bola berukuran kecil.

"Apaan tuh?" kata Eugeo.

"Kurasa itu bola-bola undian."

"Bola-bola undian?" tanya Eugeo, bingung.

Kirito mengangkat alis, "Kau serius tidak tahu bola-bola undian? Kita akan diminta untuk mengambil salah satu bola di kotak tersebut, dan tergantung seperti apa bola yang kita dapatkan, itulah hasilnya..."

"Ooh..."

Benar saja, hampir seketika pria paruh baya itu mulai menjelaskan apa yang akan mereka lakukan untuk menyortir peserta turnamen. Katanya, bola berwarna merah artinya blok barat, sedangkan bola berwarna biru artinya blok timur. Bola-bola tersebut memiliki nomor yang akan menentukan urutan tampil kontestannya.

"Ternyata sederhana juga, ya..."

"Eugeo, ini kabar buruk. Ini artinya kita nggak bisa curang. Kita benar-benar harus mengandalkan keberuntungan."

"Kamu nggak boleh curang, Kirito!"

Kirito hanya tertawa cengengesan. Kemudian, dia menarik napas panjang-panjang dan berdiri.

"Baiklah, kita sudah disuruh untuk berbaris, ayo cepat!"

"Oke, ayo."

Kirito, Eugeo, beserta peserta yang lain langsung beranjak pergi untuk berbaris, bersiap mengambil undian bola. Untungnya, kedua bocah desa itu berhasil mendapat antrian bagian depan, sehingga mereka tidak akan menunggu terlalu lama.

Sang pengamat kecil menatap dari atas kepala Kirito, mencoba mengintip ke dalam lubang berdiameter sepuluh sentimeter itu. Cukup menyulitkan baginya karena dia masih berada jauh dari kotak tersebut, dan Kirito bukan orang yang paling tinggi di ruangan ini.

Karena mereka belum mengantri terlalu lama, si laba-laba masih bisa melihat bola-bola merah dan biru di permukaan lubangnya. Beberapa peserta mengambil bola tanpa ragu, dan blok mereka telah ditentukan.

Akhirnya, tiba giliran Kirito untuk mengambil bola. Sayangnya, begitu dia sampai, sudah tidak ada lagi bola yang bisa dilihat dari atas. Sang pengamat merasa sedikit cemas, dan terheran-heran dengan Kirito yang terlihat kelewat santai.

Atau justru si laba-laba yang merasa terlalu khawatir dengan itu?

Kirito terdiam sejenak, sibuk memerhatikan kotak tersebut. Si pria paruh baya itu memanggilnya.

"Kenapa, Nak? Cepat ambil, yang lain sudah menunggu."

"Mmm, iya. Akan kuambil sekarang, Pak."

Dengan sigap, si laba-laba mengecilkan ukurannya, dan melompat masuk ke dalam kotak tersebut. Begitu masuk, dia menambah ukuran badannya kembali, namun sedikit lebih besar dari biasanya.

Aku akan membantumu kali ini.

Tangan Kirito mulai memasuki lubang, mencari-cari bola di dalamnya. Sang pengamat menggeser-geserkan bola di dalamnya, mendorong-dorong tangan Kirito.

Kirito merasa sedikit aneh, bertanya-tanya kenapa dia merasa ada sesuatu yang berbulu di dalamnya. Kemudian, dia mengambil bola yang telah didorong si laba-laba—merah, blok barat. Dia menunjukkannya kepada Eugeo, yang mengangguk, sebelum menyimpannya di dalam saku.

"Bisa tidak ya... oh, Dewi..." gumam Eugeo, yang pelan-pelan melangkah maju.

Eugeo memasukkan tangannya ke dalam lubang, hendak mengambil bola, sembari berdoa dalam hati agar mendapatkan bola biru.

Tanpa lama-lama, si pengamat kecil mulai mendorong-dorong bola kembali ke tangan anak laki-laki berambut kuning itu, sampai akhirnya menabraknya.

"Eh...?"

Penasaran, Eugeo memungut bola yang menabrak tangannya itu, dan melihat kalau dia mendapatkan bola berwarna biru.

"Oh! Aku dapat!" Eugeo memekik girang, dan dia pun pergi bergabung dengan sahabat berambut hitamnya. Mereka berdua terlihat gembira dengan hasil mereka. Tentu saja, karena ini berarti kalau mereka berdua akan memiliki kesempatan untuk menjadi Penjaga Kota Zakkaria tanpa harus bertarung dengan satu sama lain.

Seharusnya tugasnya sudah selesai di sini, dan dia bisa kembali mengawasi Kirito dan Eugeo, namun dia terpikirkan sesuatu. Laba-laba kecil itu memutuskan untuk tetap diam di dalam kotak undian tersebut, menunggu seseorang.

Kemudian, setelah beberapa tangan yang tak dikenal, akhirnya muncullah jari-jari yang dia tunggu-tunggu memasuki lubang—yang dimiliki oleh sang pemuda berambut pasir. Dia merogoh kardus tersebut, sampai si pengamat mendorong bola berwarna merah ke tangannya, yang diambilnya.

Sudah waktunya aku kembali untuk mengawasi Kirito.

Dia mengecilkan dirinya kembali menggunakan Sacred Arts, dan mulai merayap keluar lubang. Laba-laba itu memanjat tangan seorang peserta yang hendak mengambil bola tanpa disadari, dan segera naik ke atas.

Sang pengamat kecil menemukan bahwa kedua bocah desa itu sedang berjalan menuju ruangan selanjutnya. Dia buru-buru melompat dari satu kepala ke yang lain, dan mendarat dengan selamat di atas gumpalan rambut hitam milik Kirito.

Dia memikirkan kembali alasannya melakukan ini. Si laba-laba itu merasakan kalau Eugeo tidak akan cocok melawan pria berambut pasir itu. Entah kenapa, instingnya mengatakan demikian.

Jadi, sang pengamat kecil memutuskan kalau si pemuda mencurigakan itu lebih baik melawan Kirito saja. Memang, dia tidak memiliki hipotesis yang mumpuni soal ini, tapi dia tidak bisa mengabaikan perasaan mengganggu ini.

Kalau Master tahu, pasti dia akan marah besar.

Benar-benar hampir tidak terpikirkan olehnya bahwa Kirito, bocah desa Rulid yang memiliki Object Control Authority senilai 48, akan merasa waspada dengan seorang laki-laki muda dengan OCA yang rendah, ditambah lagi Life Point miliknya berada di bawah rata-rata?

Akhir-akhir ini aku aneh sekali.

Meskipun begitu, si laba-laba merasa kalau dia memang harus mengikuti kata hatinya untuk kali ini, dan dia pun merasa lega telah memasangkan Kirito dengan lelaki mencurigakan itu sebagai lawan duelnya di turnamen nanti.

Maka dari itu, meskipun dia tidak percaya debgan dewa-dewi manapun, dia menutup kedua kaki depannya dan berdoa demi keselamatan kedua remaja laki-laki tersebut.

Apapun itu, aku harus tetap berada di sisi mereka berdua.

(To be Continued)

YOOOOOWWW UPDATE COYY

next-nya gatau kapan, sori ya ehe, ini mah kebetulan dapet motivasi kecil-kecilan aja, kalau gak percaya, ini butuh sembilan bulan lebih biar kelar (aslinya mah 9 bulan kurang diem aja ditambah seminggu rajin nulis)

see you soon. maybe.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Trap Reincarnation : ASTOLFO (SAO FANFIC)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang