Chapter 2 Hati Yang Kacau

10 3 0
                                    



Setelah mengatakan itu, dapat ku lihat wajah Bimo yang sedikit memerah. Aku tahu pasti, bahwa aku salah mengatakan hal tersebut. Akan tetapi, sudah sejak lama sekali aku memiliki keinginan untuk bertemu lagi dan mengakhirinya. Tentu di balik semua itu terdapat alasan yang sangat klise. Aku hanya ingin menjalani kehidupan tanpa memikirkan masa lalu. Akan tetapi, wajah sedikit memerah Bimo menghilang beberapa detik kemudian.

"Aku tidak mau," jawab Bimo yang terdengar jelas kedua telingaku. Aku hanya diam dan menatapnya. Yang kini tengah menatapku dengan masih memasang wajah seriusnya.

"Kenapa?" tanyaku dengan memasang wajah serius.

"Bisakah kamu memberiku kesempatan. Aku tahu, ini mungkin tidak adil. Jika dilihat dari sudut pandangmu, tapi, bisakah kamu mendengarkan sedikit kisah ku. Mungkin juga, kamu akan menganggap bahwa ini hanya sebuah alasan. Aku tidak peduli, tapi berikan aku kesempatan untuk menjelaskan. Sekali saja," ucap Bimo. Entah kenapa, hati ini. Lagi dan lagi, meminta untuk memberikan harapan. Dan aku hanya dapat mengiyakan hal tersebut, mendengarkan dalam diam semua kisah yang ingin diceritakannya.

Hal pertama yang terlintas di benak ku saat mendengar kisahnya, sedih, sakit, rasa bersalah, dan kasihan. Bahkan, sepasang mata ini telah siap untuk mengeluarkan cairan bening itu. Akan tetapi, aku terus mencoba untuk menahannya dengan sekuat tenaga.

"Sekali lagi, aku minta maaf karena tidak dapat menepati janji. Ini semua memang salahku," ucapnya yang terdengar telah memasrahkan diri. Tanpa sadar, aku menjawab. Yang mengartikan sebuah harapan untuk dirinya. Setelah obrolan yang cukup panjang tersebut. Bimo terus memaksa untuk mengantarku. Lagi dan lagi, aku menyerah. Membiarkannya untuk mengantar pulang diriku.

Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan memainkan ponsel pintar di tangan kanan. Melihat postingan-postingan di beranda media sosialku, sesekali ku lirik Bimo yang tengah fokus menyetir. Beberapa menit kemudian, mobil yang ku tunggangi berhenti tepat di depan sebuah minimarket dekat jalan gang. Setelah mengatakan rasa terimakasih, aku turun dan berjalan menuju kontrakan.

Sesampainya, aku menaiki anak tangga satu per satu hingga kini telah berada di lantai tiga. Saat aku akan membukanya, tetapi pintu tersebut sama sekali tidak terkunci. Anehnya, tidak ada sepatu dan sandal lain di rak penyimpanan alas kaki yang terletak tepat di depan kontrakan tersebut.

Aku masuk dengan cepat dan melihat wanita berambut hitam kecokelatan panjang. Yang tengah terduduk di sofa dengan sebuah bir di tangannya. Setelah menutup pintu dengan rapat, aku berjalan mendekat dan duduk tepat di samping kirinya. Ku lontarkan pertanyaan yang selalu didengar di saat memiliki atau terjadi masalah.

"Aku dapat zonk. Dia sudah memiliki istri dan lagi, aku jadi pelakor. Ini tidak adil, kenapa aku selalu berakhir seperti ini? Apa karena aku mudah ditipu? Ha, ini menyebalkan. Bagaimana denganmu?" jawab wanita tersebut dan memberikan pertanyaan yang sama kepadaku.

"Hmm, aku. Hari ini, tidak sengaja bertemu dengannya lagi." Aku menjawabnya dengan helaan napas kasar.

"Kenapa? Bukankah itu bagus, kenapa kamu menghela napas dengan kasar? Apa ada yang salah?" Wanita di sampingku ini dan merupakan sahabat karib. Kembali memberikan pertanyaan yang bertubi.

"Aku baru tahu, alasan dia tidak dapat menepati janjinya. Kamu tahu bukan, aku memiliki harapan, jika aku bertemu dengannya. Aku ingin mengakhiri semua ikatan itu, tapi, setelah mendengar cerita dibalik dia tidak menepati janji. Itu membuat hati ku berkecamuk," jawabku dengan begitu panjang.

"Apa itu berkecamuk? Janganlah pakai bahasa khayangan!" tanyanya dengan nada kesal.

"Hati ku kacau. Tanpa sadar, aku memberikan dia harapan. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?" ucapku dengan bertanya untuk diri sendiri.

"Bukankah kamu hanya perlu mengikuti kata hati. Kenapa harus ragu?" ucapnya lagi. Dengan meneguk habis isi botol bir, sahabatku ini berdiri dari duduknya dan menuju dapur. Sedangkan diriku, masih berkelahi dengan hati dan pikiran. Hanya dapat membuat diri sendiri dalam kesulitan dan kebingungan. Inilah yang aku benci soal percintaan, hanya terdapat dua pilihan. Berhenti atau tetap maju.

Akhirnya, aku memilih untuk berjalan satu langkah. Dengan membawa perasaan yang masih sangat abu-abu ini. Aku membukanya dan memberikan sebuah kesempatan. Tidak berapa lama, sahabatku itu kembali dengan membawa satu buah bir dan gelas berisi cairan berwarna merah. Kami menghabiskan beberapa waktu sebelum tidur dengan mengobrol, bercerita, dan saling memberikan saran.

If It's You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang