Hari telah berganti, sekarang aku tengah berada di sebuah cafe bersama Bimo. Dia mengatakan ada yang ingin dikatakan kepadaku, beberapa menit kami tidak saling bicara. Aku pun tidak tahu harus memulainya dari mana, dia bertanya tentang aku dan Sean. Aku cukup terkejut saat Bimo berkata bahwa dia mendengar obrolanku dengan Sean di taman.
"Kenapa tidak memberitahu kalau kamu dan Sean pernah berpacaran? Kamu bisa memberitahuku," tanya Bimo dengan suara seriusnya. Sebelum menjawab pertanyaannya, aku menghela napas panjang.
"Menurutmu, jika kamu ada diposisi ku, apa kamu akan memberitahukannya? Itu mungkin akan membuat suasana menjadi canggung, aku tidak ada perasaan lagi padanya. Lalu, bagaimana denganmu dan Amanda?" Aku melepaskan semua dan tidak akan menahan kata-kata lagi. Bimo terdiam cukup lama hingga aku kembali membuka suara.
"Aku mengetahui semua itu dari orang lain. Kamu bilang, kamu mendengar obrolan ku dengan Sean. Seharusnya, kamu sudah tahu. Dan seharusnya aku yang bertanya tentang perasaanmu kepada Amanda. Di rumah sakit, apa kamu masih memiliki perasaan padanya?" tanya dengan penuh kekesalan.
"Kenapa diam? Kamu harus menjawabnya, agar aku tahu, apa aku harus berhenti atau lanjut. Awalnya pun aku ragu, perasaanku ini kepadamu. Apa hanya kasihan atau perasaan suka yang dulu kembali, dan aku tahu, perasaanku kepadamu tidak pernah hilang. Dan perasaanku pada Sean, sejak awal aku tidak memilikinya." Aku berhenti sejenak untuk menetralkan emosi agar tidak menggebu-gebu.
"Saat itu memang aku mencoba untuk membuka hati, aku berharap dapat melupakan tentangmu dan perasaan ini. Tapi apa, aku membuatnya menjadi bahan pelampiasan dan pelarian, seakan-akan aku sudah melupakanmu. Aku tahu, kalau aku ini jahat." Aku kembali berhenti berbicara, melihat Bimo yang tengah menatapku. Aku menunduk lagi dan mulai berbicara.
"Seharusnya, sejak awal kita tidak perlu membuat janji seperti itu dan seharusnya, kamu mengakhirinya. Jadi, kita tidak berakhir seperti ini." Ketika mengatakan itu, aku tidak dapat lagi menahan diri. Air mata ini keluar dengan sendiri, padahal aku sudah berusaha untuk tidak menangis.
"Kamu mungkin menyesal, tapi aku tidak menyesal sama sekali. Sejak awal hingga sekarang, aku hanya memberikan hati ini untukmu. Maaf, karena melibatkanmu ke dalam masalahku." Aku yang mendengar perkataannya, menghapus air mata ini.
Perkataan Bimo menjawab semuanya, bahwa dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Amanda. Kemungkinan itu hanya untuk membuat Amanda mengurungkan niatnya, tetapi aku tetap kesal dan marah. Dia melakukan itu seakan tidak ada cara lain menghadapi Amanda.
Setelah pembicaraan yang penuh emosi itu, kami berpisah melalui jalan berbeda. Ku putuskan untuk tidak pulang, tetapi pergi menghilangkan perasaan yang bercampur ini dengan mengunjungi game center dan tempat karaoke. Menghabiskan waktu seharian seorang diri hingga malam telah tiba. Aku pulang ketika jam telah menunjukkan pukul 24:00 WIB dengan membawa kantong plastik berisi es krim.
Sesampainya di apartemen, aku tidak bergegas untuk istirahat. Aku duduk di sofa, memakan semua es krim itu dengan menonton drama di laptop. Ketika semua es krim telah habis, aku mendengar teriakan Laras dan dia duduk di sampingku. Memarahiku seperti biasa, tetapi dia berhenti ketika aku sama sekali tidak menimpalinya.
"Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Laras.
Tanpa menunggu aba-aba, aku kembali menangis dengan keras dan setelah tenang, ku ceritakan semua tanpa ada yang tertinggal.
"Lalu, sekarang kamu mau bagaimana? Tidak ada kata putus, sepertinya, dia benar-benar serius. Berikan dia waktu untuk menyelesaikannya, itupun jika kamu masih kuat untuk menunggu. Hanya kamu yang dapat memutuskannya," ucap Laras.
"Aku juga tidak tahu," ucapku dengan suara pelan.
"Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Ini sudah malam." Setelah itu, aku pergi untuk istirahat.
Ketika pagi menyapa, aku masih saja merenungkan diri dengan ditemani secangkir kopi. Setelah itu, aku sibuk dengan menonton film, drama, anime, dan bermain game. Menunggu kemungkinan dia akan menghubungiku, tetapi Bimo sama sekali tidak terjadi dan sejak hari itu, kami tidak pernah bertemu. Dia tidak lagi tinggal di apartemen, komunikasi kami berakhir di hari itu. Meski demikian, hati ini masih memiliki keinginan untuk menunggu.
Aku mengirimi Sean dan Heri pesan hanya untuk menanyakannya kabar Bimo. Mereka mengatakan hal yang sama, 'Kamu tidak perlu khawatir, dia tengah menyelesaikan masalahnya. Jika sudah terselesaikan, aku yakin dia akan mendatangimu.' Dengan harapan yang selalu ada di hati, ku putuskan untuk menunggunya lagi hingga dia datang.
Epilog
Beberapa bulan berlalu, tepat di hari ulang tahunku. Laras mengajakku untuk mendatangi sebuah galeri lukisan yang memiliki banyak karya pacarnya. Ketika tengah melihat-lihat, adegan itu terulang kembali. Hari dimana pertama kali aku dan Bimo bertemu.
Aku sangat-sangat terkejut, senang, dan terharu, aku membalas senyuman lebar Bimo yang ditujukan untukku.
"Hai, apa kabar?" tanya Bimo dengan masih tersenyum lebar.
Setelah pertemuan kembali itu, kami membangun hubungan dari awal. Mengikat janji untuk tidak memutuskan talinya. Dua tahun kemudian, kami akhirnya menikah satu tahun yang lalu dan telah dikaruniai anak laki-laki. Dan disinilah kami, sebuah galeri yang menjadi pertemuan pertama kalinya. Melihatnya bersama dengan anak kami, aku sangat bahagia karena kisahku berakhir bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
If It's You (Tamat)
Storie d'amore"Aku janji, aku akan datang setiap satu tahun sekali. Saat liburan tahun baru." Itu merupakan kalimat yang selalu tersimpan di sisi lain ingatanku. Bimo Saputra adalah sosok yang mengatakan kalimat tersebut. Membuat diriku selalu terikat dengan diri...