Chapter 16: Siapa Yang Penghalang?

1 0 0
                                    


Beberapa minggu setelahnya, belum ada perubahan yang sangat penting. Keadaan Ayah Bimo masih sama seperti sebelumnya, hubunganku dengan Bimo semakin baik dan erat. Dia bahkan memberikan kalung yang merupakan pemberian dari ibunya.

Namun, perempuan bernama Amanda merasa terusik karena ku. Bahkan dia sempat memberikan beberapa kata patah yang memintaku untuk menjauh dari Bimo. Tidak hanya sampai di sana, dia juga membawa bibi Bimo dan sekarang tengah duduk di depanku dengan memberikan sebuah amplop cokelat yang cukup besar.

"Pergilah yang jauh, jangan mengganggu hubungan antara Bimo dan Amanda." Aku hanya diam saat mendengar ucapan bibi Bimo.

"Aku tidak butuh itu, aku dapat menghasilkan uang sendiri. Dan setahuku, hanya Amanda yang menganggap hubungan ini. Bukankah Bimo menolak dengan keras perjodohan itu," ucapku dengan mencoba tuk tetap tenang.

"Kamu itu orang baru yang masuk ke dalam lingkaran ini, tentu kamu belum mengetahui banyak hal. Amanda adalah sosok yang sangat penting untuk Bimo. Di saat masa-masa sulit, dia berada di sampingnya, merawat dengan segenap hati. Bahkan Bimo hampir melupakanmu, tapi entah darimana dia bisa mengingatmu lagi." Aku terdiam untuk beberapa waktu dan masih mendengarkan apa yang dikatakan bibi Bimo.

"Mereka bahkan sudah mengikat hubungan, tapi kamu merusaknya. Dikarenakan kamu yang selalu mendatanginya melalui mimpi, dia memutuskan untuk mencarimu. Cinta pertamanya." Ku lihat wajah wanita itu yang tengah kesal, berbeda dengan Amanda. Dia hanya diam dan tidak berkata apa-apa.

"Aku tidak tahu, kepentingan apa yang ada di antara hubungan antara dia dan Bimo. Tapi, kalian tidak perlu khawatir. Cinta pertama tidak akan berjalan lancar, itu yang sangat banyak terjadi kepada banyak orang." Aku mengatakannya dengan menyembunyikan semua emosi ini.

"Apa kamu benar-benar akan menjauhi Bimo?" tanya Amanda.

"Aku tidak bilang akan menjauh. Waktulah yang akan menjawabnya, maaf, aku masih banyak hal yang harus dikerjakan." Setelah mengatakan hal itu, aku pergi dan bergegas pergi ke terminal bus untuk menuju Bogor.

Setelah perjalanan yang panjang, aku telah berada di sebuah cafe di sekitaran puncak Bogor. Awan semu yang berterbangan mulai memudar dan berubah menjadi sedikit cerah. Pepohonan yang terkena derasnya hujan terlihat sangat senang. Udara sekitar café terasa begitu segar tanpa polusi.

Aku duduk dengan ditemai secangkir teh panas yang telah kosong beberapa kali. Menunggu adalah sebuah kegiatan yang sangat membosankan, tetapi aku tetap melakukannya.

Duduk seorang diri sejak pukul sebelas siang, hingga jarum jam telah menunjuk angka tiga. Sudah lama aku terduduk tanpa melakukan apa pun, bahkan lapar pun tetap tertahan. Sejenak aku berpikir beberapa hal, hingga satu keputusan telah diambil. Aku segera pergi setelah membayar tagihan minuman teh hangat.

Sepanjang perjalanan menaiki bus dari Bogor ke Jakarta, aku hanya duduk diam di kursi ketiga dari depan. Membutuhkan waktu kurang lebih dua jam, kini bus telah terparkir rapi di Terminal Kampung Rambutan. Saat baru melangkah keluar dari bus, terdengar dering ponsel dari tas selempang hitam yang kukenakan.

Saat mata ini melihat nama laki-laki yang membuatku menunggu lama. Aku angkat telepon dengan wajah malas. Terdengar jelas, laki-laki di seberang sana meminta maaf karena tidak dapat hadir.

"Setidaknya, kamu mengirim pesan. Jadi, aku tidak perlu menunggu. Bahkan kamu tidak membalas pesanku." Setelah mengatakan beberapa kata, aku mematikan ponsel dan pergi meninggalkan terminal tersebut.

Marah dan kesal, itulah yang kini tengah aku rasakan. Mungkin karena harapan yang terlalu tinggi, seharusnya aku tetap mengubur semua itu dan jangan pernah dikeluarkan. Akan tetapi, hati ini selalu berharap.

Sekarang aku berada di apartemen dan sudah mendapati anak Sean yang tengah bermain dengan begitu riangnya. Aku duduk di sofa dengan memandangi kedua perempuan yang asyik bermain penuh tawa.

"Ada apa dengan ekspresi wajahmu itu?" tanya Laras.

"Aku hanya lelah, kenapa Sean menitipkan dia di sini?" tanyaku.

"Ah, itu. Ayahnya tengah kritis dan juga, ada kejadian lain. Amanda mencoba untuk bunuh diri karena Bimo terus menolak perjodohan," jawab Laras. Setelah mendengar dua berita buruk itu, aku pergi ke kamar tanpa sepatah katapun.

Aku duduk di depan laptop yang telah dinyalakan dengan jari-jari di atas keyboard, mengetik setiap kata menjadi susunan kalimat. Dan ku akhiri cerita ini. Setelahnya, aku tertidur dengan paksaan.

If It's You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang