Chapter 17: Sebuah Kesalahan Yang Tidak Dapat Disalahkan

2 0 0
                                    



Esok harinya, aku duduk dengan memakan buah-buahan yang segar. Menatap lekat layar laptop dan dengan yakin ku jual semua aset saham tanpa menyisakan satu pun. Laras yang baru saja duduk di samping ku hanya melihat dan terkejut saat mengetahui bahwa aku menjual semua saham.

"Kenapa kamu menjualnya?" tanya Laras.

"Aku mau jualan dan berhenti jadi kreator," jawabku dengan tetap fokus menatap layar laptop.

"Kamu yakin? Beberapa kali aku dengar kata-kata itu, tapi akhirnya tidak jadi berhenti." Dia kembali bertanya untuk meyakinkanku akan keputusan yang kuambil.

"Kali ini aku serius. Aku mau jadi pedagang aja, aku juga sudah menyelesaikan semua cerita yang ku buat. Aku butuh kesibukan lain," jawabku dengan memakan apel.

"Kenapa kamu membutuhkan kesibukan lain? Lalu, bagaimana dengan biaya apartemen? Kalau jadi pedagang, penghasilannya tidak menentu bukan? Belum tentu dapat untung," ucap Laras dengan begitu banyak pertanyaan.

"Aku butuh kesibukan yang tidak membuatku memikirkan hal lain," ucapku dengan menghela nafas kasar.

"Kalau begitu, tidak perlu menjual semua aset saham mu bukan. Kamu hanya perlu melakukan kesibukan lain," timpal Laras yang terlihat kesal itu.

"Kamu benar." Aku menaruh kepala ke meja, menyembunyikannya dengan dalam.

"Ceritalah kalau ada masalah." Aku yang mendengar ucapan Laras hanya diam dan tidak menjawab, hingga kemudian Sean datang menjemput anaknya. Ketika Sean telah pergi, ku minta Laras untuk duduk dan mendengarkan semua cerita tentang hari kemarin. Dia bereaksi seperti biasa, terkejut dan penuh kekesalan.

"Kamu itu bukan penghalang, jadi, jangan terlalu dipikirkan." Aku membalas perkataan Laras cepat.

"Yang aku pikirkan bukan tentang itunya, tapi, seberapa banyak mereka akan berbohong dan menyembunyikannya. Aku sudah bersiap diri untuk mendengar dan menghadapinya," ucapku menutup laptop dan mengangkat telepon dari Heri yang memintaku untuk datang, membantunya dalam beberapa pekerjaan.

Setelahnya, aku bergegas pergi ke cafe dan bekerja seharian. Akan tetapi, aku tidak langsung pulang. Melainkan duduk di lantai atap dengan secangkir kopi hitam kemasan tanpa gula. Aku tidak menikmatinya sendiri, Heri menemaniku dan seakan siap kapanpun.

"Sebenarnya, ada yang ingin aku tanyakan. Sepertinya akan sangat banyak pertanyaan untukmu," ucapku yang membuka percakapan ini.

"Tanyakanlah," balas Heri.

"Waktu itu, kamu pernah bilang, 'Aku tidak bisa membuatmu berhenti, dan jika kamu terluka lagi, datanglah padaku. Aku selalu ada untukmu.' kamu mengatakannya seakan tahu banyak tentang Bimo dan apa yang akan terjadi kepadaku. Seberapa banyak dan lama kalian akan berbohong dan bersembunyi?" tanyaku.

"Kamu benar, aku tahu banyak. Aku juga tahu seperti apa Bimo dan Amanda. Jujur, aku bertemu mereka bertahun-tahun yang lalu." Aku tidak bisa berkata ketika mendengar jawaban Heri.

"Ah, apa kamu tidak ingin memberitahukan karena takut aku terluka? Atau karena dia melarangmu untuk melakukannya?" tanyaku yang berusaha setenang mungkin dan menyembunyikan semua emosi ini.

"Dia tidak melarang ku, itu keputusan yang kuambil. Kamu benar, aku takut kamu akan terluka. Tapi, setelah semua ini. Aku sadar, semua ini salahku. Jikalau aku memberitahumu semua fakta ini, mungkin kamu akan menolak keras dia. Aku minta maaf," ucap Heri yang menyesalinya.

"Tidak perlu meminta maaf, semua sudah terjadi. Ada satu hal lagi, Bibi Bimo dan Amanda mendatangiku. Ada satu lagi yang ingin aku tahu antara Bimo dan Amanda. Mereka, apa pernah menjalin hubungan? Dan apa yang terjadi di antara mereka?" tanyaku dengan rasa ingin tahu ini.

"Bukannya aku tidak mau memberitahu, tapi alangkah baiknya. Kamu menanyakannya langsung ke Bimo, jika aku yang menjawab, takutnya nanti akan ada bumbu-bumbu di dalamnya." Aku mengangguk paham mendengar jawaban Heri.

Setelah pertanyaan terakhir itu, kami diam dan menikmati malam tanpa bintang. Ketika itu pula, terdengar dering ponsel. Ku ambil ponsel, tetapi sama sekali tidak menyala. Heri yang menyadarinya membuka ponsel dan mengangkat telepon dari seseorang. Setelahnya Heri kembali, mengajakku untuk menjenguk Ayah Bimo dan Amanda. Sekaligus dia juga akan menjemput ibunya yang telah sejak sore di sana.

If It's You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang