Malam pun tiba, tepatnya pukul 19:00 WIB Aku telah mengenakan pakaian seperti biasa, celana jeans panjang biru gelap dan hoodie biru muda. Setelah berpakaian rapi, aku menunggu dengan duduk di sofa dan bermain pansel. Suara ketukan pintu membuatku tersadar dan mematikan ponsel cepat.
Saat ku lihat di layar, senyum lebar terlukis di wajah. Tanpa berbasa basi, kami bergegas pergi ke sebuah cafe milik Heri. Rasa ingin menolak tetapi tidak dapat melakukannya. Kami diam untuk beberapa detik, hingga dia mulai membuka obrolan mengenai perempuan kemarin.
"Dia namanya Amanda Wulandari kami dijodohkan Aku sudah menolak beribu kali, tapi saudara ibuku terus memaksa dengan alasan itu adalah keinginan ayah." Dia berhenti sejenak sebelum meneruskan ceritanya.
"Aku sudah menceritakan alasan kenapa tidak menepati janji. Mereka, ayah dan ibu angkatku lah yang menyelamatkanku. Dulunya, mereka adalah seorang dokter. Mereka menyelamatkan aku saat tengah melakukan bantuan di negara itu, ibu meninggal dunia 5 tahun lalu dan ayah tengah sakit." Bimo bercerita dengan wajah sedih. Setelah mendengarkannya, aku jadi bingung untuk menimpalinya seperti apa.
"Semoga Ayahmu cepat sembuh," ucapku akhirnya. Mata ini bertatapan dengan Bimo, saat itu, aku mencoba untuk membaca apa yang tengah dipikirkannya, tetapi nihil. Aku tidak dapat membaca raut wajah dan pikirannya.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa ada yang salah?" tanyaku dengan penasaran.
"Tidak, aku kira kamu akan marah. Tentang perempuan itu," ucap Bimo kemudian.
"Kenapa harus marah? Apa karena kamu tidak memberitahuku? Kamu berhak untuk memberitahu ataupun tidak," ucapku yang baru sadar atas perkataan ini Harusnya aku tidak berkata seperti itu, tetapi saat dilihat, Bimo mensasang senyum lebar.
"Aku kira kamu akan marah," ucap Bimo.
"Aku tidak marah karena kita tidak memiliki hubungan khusus, kecuali kamu itu pacarku. Aku pasti akan marah," balasku dengan cepat. Dalam seketika, aku merasa suasana berubah dan lagi-lagi, sepertinya perkataanku akan menyakiti Bimo.
"Kamu benar, kita tidak memiliki hubungan apapun. Bahkan, dulu dan sekarang, aku tidak mengatakannya dengan serius. Jadi, tentu saja wajar bagimu untuk menganggap tidak ada hubungan apa pun. Lebih tepatnya, tidak mengatakannya dengan langsung, jelas, dan serius. Kamu itu bukan tipe yang suka basa-basi." Aku yang mendengar penuturan Bimo, hanya diam dan tidak menimpanya.
"Rencananya, hari ini aku ingin mengajakmu untuk bertemu Ayahku juga. Apa kamu mau?" tanya Bimo kemudian.
"Aku mau-mau saja sih, tapi, jam malamnya sampai pukul berapa?" Aku menerima ajakan Bimo dan setelah acara makan malam usai, kami bergegas ke rumah sakit tempat ayahnya dirawat yang ternyata tidak begitu jauh dari cale milik Heri.
Sekarang, kami telah berada di salah satu kamar rumah sakit berlabel VVIP. Kami duduk di samping Ayah Bimo yang terbaring tidak berdaya, alat bantu napas terpasang rapi, Bimo mulai memperkenalkan diriku dan menceritakan perjalanan panjang dirinya untuk mencoba menemui ku Aku tersipu malu dan menangis saat Bimo berkata, "Aku hanya ingin menikah dengan perempuan di sampingku. Bimo mengatakannya dengan senyum lebar, mata kami saling bertemu dan dia menatapku hangat. Aku membalas senyumannya dengan wajah yang panas ini.
Wajahmu merah sekali, tapi aku suka saat wajahmu seperti itu. Saat mendengar perkataan Bimo, aku menundukkan kepala karena rasa malu yang datang tanpa sepatah kata pun dan saat itu, aku melihat tangan Ayah Bimo bergerak.
"Tangan ayahmu," bergerak ucapku.
Setelahnya, dokter dan perawat datang. Mereka tengah berbicara dengan Bimo di ruang kerja dokter. sedangkan aku duduk menunggu di kamar ini. Saat aku membalas pesan singkat, pintu kamar terbuka, tetapi itu bukan Bimo melainkan Sean yang datang bersama anaknya. Aku segera berdiri dan sedikit menjauh dan tempat tidur pasien.
"Bimo sedang berbicara dengan dokter," ucapku, saat Sean duduk di kursi bersama anaknya yang dipangku.
"Duduklah, tidak perlu bersikap kaku seperti itu." Sean berkata dengan menepuk-nepuk kursi. Aku sedikit man jauhkan kursi dan duduk dalam diam, mendengarkan Sean bercengkrama dengan anaknya.
Tidak lama kemudian, Bimo kembali dan pergi keluar dengan Sean untuk membicarakan sesuatu. Sedangkan aku, diminta untuk tetap bersama dengan anaknya Sean yang tengah memainkan robot.
"Oh, ya. Siapa namamu? Aku Lila Kamala, panggil saja Lila atau kalau mau panggil Kak Lila." Aku mengajaknya untuk berkenalan, tetapi dia hanya diam dan tidak menjawab sama sekali. Beberapa pikiran muncul di otak, antara anak laki-laki ini memang enggan berbicara dengan orang asing atau karena takut. Dengan memutar otak, ku putuskan untuk membahas soal robot Transformers yang dimainkan oleh anak itu.
"Berapa banyak robot Transformers yang kamu punya Aku punya 5 buah, ada Optimus Prime Bumblebee, Jazz Megatron dan Ratchet," ucapku yang mencoba untuk membuat anak ini membuka suaranya.
"Aku punya lebih dari itu, ada yang besar juga. Seberapa besar punyamu?" Saat aku mendengar penuturan anak ini rasanya ingin ku cubit keras-keras
Aku menjawabnya dengan sangat jujur dan kemudian, kami saling memamerkan foto dan koleksi robot Transformers Entah kenapa, hati ini kesal saat melihat anak itu begitu, seakan semua yang telah ku beli tidak artinya bagi dia. Kekesalan ini tidak hilang sampai Bimo menghentikan kendaraan di tempat parkir.
"Sudahlah, dia hanya anak kecil." Tanpa berkata apa pun, aku keluar dengan amarah yang berada dipuncak. Meninggalkan Bimo, bahkan aku tak menimpali ucapannya. Saat sampai di kamar, aku tidur dengan penuh emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
If It's You (Tamat)
Storie d'amore"Aku janji, aku akan datang setiap satu tahun sekali. Saat liburan tahun baru." Itu merupakan kalimat yang selalu tersimpan di sisi lain ingatanku. Bimo Saputra adalah sosok yang mengatakan kalimat tersebut. Membuat diriku selalu terikat dengan diri...