Keesokan harinya, seperti biasa. Di pagi hari aku selalu meluangkan waktu untuk bermain saham, salah satu kegiatan sampinganku. Pekerjaan utamaku adalah penulis blog yang berisi tentang cerita fiksi dan dunia literasi. Meski penghasilan tidak seberapa, tetapi karena suka, itu tidak jadi masalah. Saat tengah fokusnya melihat pergerakan saham, Laras duduk di samping kiriku dengan masih mengenakan jas handuk.
"He, ajari aku main saham. Biar aku tidak perlu kerja di bar," ucap Laras.
"Aku tidak bisa mengajar, aku pun belajar secara mandiri. Sulit untuk menjelaskan kepada orang lain," balasku dengan jujur.
"Main saham itu susah tidak?" tanya Laras lagi.
"Susah-susah gampang, ini juga beresiko. Setahuku ada dua jenis, ada yang jangka panjang dan jangka pendek. Tapi keduanya sama-sama memiliki resiko," jawabku dengan sedikit menjelaskan sesuai yang ku ketahui.
"Ah, menurutmu lebih baik yang mana untuk pemula?" tanya Laras lagi.
"Terserah, kalau aku awalnya main yang jangka pendek, baru main yang jangka panjang. Semua kembali ke masing-masing," jawabku. Kami mengobrol dengan sangat panjang hingga dering ponsel membuyarkan obrolan ini.
Setelah selesai dengan bermain saham, aku melanjutkan pekerjaan menulis yang belum mencapai target sehari. Kurang lebih satu jam aku memainkan jari-jari di atas keyboard dan telah mencapai 700 kata. Ku regangkan tubuh ini, setelah merasa lebih baik. Target menulisku dalam sehari hanya sebesar itu, mungkin bagi orang lain itu sangat-sangat sedikit.
Namun, itu sudah banyak. Jika lebih dari itu, aku tidak dapat menikmati kesukaanku ini. Anehnya, kesukaan dan fakultas yang aku ambil saat kuliah tidak nyambung sama sekali. Itu lucu, menurut pribadiku sendiri. Setelahnya, aku mulai sibuk mengerjakan urusan rumah, seperti mencuci pakaian, bersih-bersih, dan memasak.
Sekarang aku telah harum dan mengganti pakaian. Hanya celana olahraga berwarna hitam sedikit kebesaran dan kaos panjang biru. Saat aku akan mengambil nasi, dering ponsel terdengar. Aku mengangkatnya cepat saat sebuah nama yang sangat ku kenal tertera di layar ponsel.
"Hallo, Tuan. Heri terhormat." Aku menyapa dengan tujuan menjahilinya. Kami berbicara untuk beberapa detik.
Percakapan Aku dan Heri.
Aku : Hallo, Tuan. Heri terhormat. Ada gerangan menelpon?
Heri : Ah, ada yang saya ingin bicarakan dengan anda. Apa kita dapat pergi untuk makan sambil mengobrol?
Aku : Baiklah Tuan. Dengan senang hati saya menerima ajakan anda. (Aku terkekeh kecil)
Heri : Udah, jangan diterusin lagi. Aku menemukan warung bakso yang terkenal enak, mau makan bersama? Sekalian ngobrol soal menu baru yang ingin aku buat.
Aku : Ok, aku the tunggu.
Setelah selesai mengobrol, aku mengambil tas selempang kecil dan menunggu hingga Heri datang. Dia merupakan temanku sejak kecil, nama panjangnya Heri Julian, lahir 15 Mei 1997. Wajahnya Lonjong dengan kulit kuning langsat. Dia baik, tetapi sangat jahil. Tidak perlu menunggu lama, terdengar ketukan pintu dan aku tersenyum lebar saat melihat Heri.
Tanpa banyak bicara, kami bergegas pergi ke warung bakso. Sesampainya, Heri memesan dan sedangkan aku duduk dengan tenang. Heri kembali dengan membawa dua gelas berisi es dan air putih.
"Jadi, kamu mau bikin menu baru apa? Menu manis sudah ada, pedes udah ada. Menu yang agak berat, tapi mudah dibuat juga ada." Aku membuka pembicaraan langsung ke intinya.
"Kamu memang tidak bisa diajak basa-basi, aku belum tahu. Menurutmu, aku harus membuat menu apa lagi?" tanya Heri kepada.
"Hmm, apa ya. Aku juga tidak tahu," balasku dengan wajah bingung.
"Bagaimana dengan bakso? Atau Mie Instan? Menurutmu bagaimana?" tanya Heri lagi.
"Dua-duanya bagus," jawabku dan saat itu juga bakso pesanan kami tiba.
"Di Cafe belum ada menu berkuah, hanya ada cemilan kecil dan nasi goreng. Jadi, aku ingin memasukan menu dari Mie dan bakso, akhir-akhir ini banyak yang memilih makan siang dan nongkrong di cafe. Jika, menunya semakin banyak, bukankah itu bagus." Heri menjelaskan tujuannya membuat menu baru.
"Itu bagus, jadi, antara bakso dan mie. Kamu mau ambil yang mana? Tidak bisa dua," tanyaku lagi.
"Menurutmu yang mana?" Aku memasang wajah serius saat Heri bertanya lagi.
"Jika aku adalah kamu, pilih makanan yang sangat dekat dan disukai banyak kalangan. Mie memang banyak yang suka, tapi bakso juga banyak yang suka. Bagaimana jika buat yang bakso dulu, lalu enam bulan kemudian bikin menu yang mie?" tanyaku sambil mengunyah sisa bakso di mulut.
"Itu bagus," jawab Heri tanpa embel-embel lain.
Kami melanjutkan menyantap bakso dengan sesekali mengobrol. Ada keinginan untuk menceritakan mengenai pertemuanku dengan Bimo, tetapi aku urungkan niat tersebut. Akan tetapi, Heri yang memang cukup tahu diriku. Dia bertanya kepadaku, "Apa ada yang ingin kamu ceritakan kepadaku? Kamu terlihat sedang berpikir keras." Aku yang mendengarnya tidak terkejut.
"Hmm, sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan. Beberapa hari yang lalu, aku bertemu dengan Bimo setelah 14 tahun. Saat aku pertama melihatnya, aku terkejut, tentu." Aku berhenti sejenak dan melanjutkan kembali.
"Dia benar-benar sangat berbeda dan banyak berubah. Wajah ovalnya menjadi sedikit tegas, badannya juga kekar dan tinggi. Sedangkan aku, aku tetap pendek dan tidak ada yang berubah." Aku berhenti bercerita saat kedua mata ini mulai memanas.
"Kamu itu baby face, tinggimu juga rata-rata. Tidak terlalu pendek dan tinggi, apa yang dia katakan? Apa dia membuatmu tidak nyaman?" tanya Heri yang terdengar serius.
"Aku mengajaknya untuk memutus tali janji dan menjalani hidup masing-masing, tapi dia menolak. Jika ditanya aku nyaman atau tidak, entahlah, aku tidak tahu." Aku menjawab dan memberitahu keadaan hatiku saat ini.
"Lakukan seperti biasa, bukankah kamu selalu mengikuti arus. Itulah Lila yang aku kenal, meski selalu berkeluh kesah, tapi tidak pernah berhenti, jika harus mengambil keputusan, selalu dapat diandalkan. Meski salah memilih, tapi selalu tidak berhenti." Heri berucap dengan senyum tipisnya.
Dengan apa yang dikatakan Heri, aku sedikit lebih baik. Setelah selesai dengan bincang-bincang dan menyantap bakso, kami bergegas pulang. Dan disinilah aku, berakhir di depan Tablet. Memutuskan untuk mengetik beberapa paragraf lagi, hingga malam menjemput dan ku putuskan untuk tidur lebih awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
If It's You (Tamat)
Romance"Aku janji, aku akan datang setiap satu tahun sekali. Saat liburan tahun baru." Itu merupakan kalimat yang selalu tersimpan di sisi lain ingatanku. Bimo Saputra adalah sosok yang mengatakan kalimat tersebut. Membuat diriku selalu terikat dengan diri...