Chapter 18: Akhirnya Memilih Untuk Tidak Bersandar

1 0 0
                                    



Sesampainya di rumah sakit, aku selalu mengekor Heri hingga telah sampai di ruang kamar inap Ayah Bimo. Disana juga ada Sean, paman, dan bibinya. Dikarenakan perasaanku yang tidak nyaman, aku keluar untuk mencari udara segar. Duduk di bangku lobi rumah sakit, tetapi aku tidak sengaja melihat Bimo yang membawa buket bunga.

Melihatnya membuatku terpikir untuk bertanya ke Sean di kamar berapa Amanda dirawat. Setelah mendapatkan informasi itu, aku bergegas menuju lantai tujuh. Ketika sampai di depan ruang inapnya, aku melihat melalui celah kaca di pintu. Bimo berada di dalam sana dan bercengkrama ria dengan Amanda. Aku urungkan niat untuk membuka pintu dan tetap berdiri, bersandarkan dinding.

Dengan jelas aku dapat mendengar percakapan di antara mereka. Ketika ku dengar Bimo akan keluar sebentar untuk merokok, aku pergi menuju taman di lantai tersebut. Saat itu, aku melihat orang-orang yang tengah berkerumun.

Beberapa orang meminta perempuan berpakaian pasien untuk turun, dia berdiri di pinggir bangunan dan sepertinya berniat bunuh diri. Akan tetapi, dari mereka semua dan para perawat ataupun dokter, tidak ada yang dapat membuatnya turun. Sang perempuan hanya semakin menangis histeris dan mengutarakan isi hatinya, beserta alasan kenapa ingin mengakhiri hidup.

Dengan menghiraukan perkataan orang-orang yang menyuruhku untuk tidak mendekati perempuan itu. Aku tetap melakukannya, berjalan semakin dekat dan sekarang hanya berjarak tiga meter.

"Turunlah! Kamu akan menyesal setelah melakukannya," ucapku memintanya untuk turun, tetapi dia tidak mau untuk turun.

"Kamu siapa? Kamu tahu apa tentang perasaanku? Karena aku penyakitan seperti ini, dia pergi meninggalkanku dan memiliki pacar baru. Lebih baik aku mati saja, percuma hidup." Dia berkata dengan keras di sela-sela menangisnya.

"Aku tahu perasaanmu, aku juga seringkali memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup. Tapi, aku selalu mengurungkan niat itu. Aku lelah dengan hidup ini, seakan, aku hidup untuk tidak bahagia. Tapi, aku tetap hidup untuk menunggu kematian ku." Aku berhenti sejenak, menghela napas pelan.

"Bunuh diri hanya karena kamu dicampakkannya, itu tindakan bodoh. Bahkan, alasan apa pun, tidak membenarkan bunuh diri. Bukankah kamu harus menunjukkan kepadanya. Tanpanya, kamu bisa hidup bahagia, mendapatkan seseorang yang layak. Lebih layak dari dia," ucapku begitu panjang dan tanpa sadar air mataku turun. Ku lihat perempuan itu mengeraskan suara tangisannya. Tanpa berpikir lagi, aku menarik tangannya dan saat itu ku peluk dia dengan erat.

Setelah dia merasa tenang, semua orang berhamburan pergi dan hanya tersisa kami yang tengah duduk di bangku kayu. Dia menghapus sisa-sisa air mata dan mencoba untuk membuang semua beban, sehingga dia cukup lebih tenang dari sebelumnya.

"Terimakasih banyak karena sudah menyadarkan ku, jika tidak ada Mbak. Mungkin aku sudah terjun," ucapnya dengan senyum kecil.

"Sama-sama," balasku.

Setelahnya, aku pulang tanpa pamit atau mengirimi Heri pesan. Akan tetapi, ketika di tengah perjalanan. Aku memutuskan menelpon Heri dan memberitahunya untuk bertemu di sebuah Bar yang merupakan tempat langganan Laras. Mengurungkan niatku yang tadinya akan pulang.

Beberapa menit berlalu, aku sudah menghabiskan dua gelas jus anggur. Bahkan aku sama sekali tidak mengantuk meski sekarang jam telah menunjukkan pukul 23:55 WIB. Tidak lama Heri datang dan duduk di samping kiriku.

"Apa kamu minum alkohol?" tanya Heri.

"Tidak, ini jus anggur. Nanti aku kena marah Laras," balasku sambil minum jus anggur.

"Ada apa? Bahkan kamu tidak mengirim pesan ataupun berpamitan," tanya Heri yang meminum air putihnya.

"Aku menguping pembicaraan Bimo dan Amanda, di ruang inapnya. Dulu mereka saling menjalin hubungan, bahkan, sampai sekarang pun Bimo masih memiliki perasaan kepadanya. Lalu, aku ini apa? Sepertinya benar, bahwa aku penghalang untuk mereka." Aku diam sejenak, menatap wajahku di pantulan jus anggur itu yang tidak terlihat sama sekali.

"Beberapa hari yang lalu, kamu pasti ingat. Aku tidak akan bersandar kepada siapapun sebelum mengakhirinya dengan Bimo. Dan sampai aku melupakannya," ucapku meneguk habis jus anggur, lalu ku pesan anggur merah yang benar-benar memiliki kadar alkohol.

Namun, Heri mencegahnya dan membayar semua minuman yang ku pesan. Dia menarikku pergi dari Bar, mengantar pulang tanpa sepatah katapun. Aku menghela nafas pelan, mencoba menenangkan diri dan memejamkan mata dengan erat.

If It's You (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang