Aku benar-benar menepati janjiku untuk mengambilkan semua barang-barang milik Laras dan disinilah diriku. Mengepak semua barang, gerakan tangan ini berhenti saat mendengar suara bel berbunyi beberapa kali. Ku buka pintu itu dan terkejut saat seorang perempuan masuk dengan tidak sopan. Aku beranikan diri untuk bertanya, "Maaf, Ibu ini siapa? Kenapa masuk dengan tidak sopan?".
"Lalu, kamu sendiri siapa? Apa kamu juga selingkuhan suamiku? Di mana perempuan itu? Apa kamu bersengkokol dengan perempuan itu?" Perempuan itu memberikan pertanyaan yang bertubi-tubi sebagai jawaban untukku.
"Ah, aku penghuni baru apartemen ini. Aku baru membelinya kemarin," ucapku yang terpaksa berbohong.
"Kamu serius? Kamu tidak berbohong?" tanyanya lagi kepadaku dan aku hanya mengiyakannya begitu saja.
"Dia bahkan menjual apartemen ini, dasar jalang. Kalau aku bertemu dengannya, aku akan membunuhnya." Perempuan itu pergi setelah mengeluarkan celoteh kasar. Aku merasa lega setelah kepergiannya dan kembali membereskan barang.
Semua barang telah rapi di kotak masing-masing, beberapa detik kemudian para pekerja pengantar barang datang dan membawa semuanya menuju kontrakan tempatku. Sebelum menyusul pulang, aku membersihkan seluruh ruangan dan menutup rapat sofa, lemari, tempat tidur, dan semua barang-barang yang dapat dijual dengan kain putih.
Aku istirahatkan diri sebentar di sofa dan tertidur karena kantuk yang datang, hingga suara ponsel berdering membangunkan ku. Dalam keadaan setengah sadar, ku angkat telepon tersebut.
"Hallo .... Apa? .... Siapa yang datang? .... Bimo? Untuk apa dia datang? .... Ah, baiklah. Aku akan segera pulang setelah menyelesaikan semua pekerjaan."
Setelah menerima telepon, aku bergegas membereskan semuanya dan pulang. Dan benar, Bimo tengah duduk menunggu dengan mengobrol bersama Laras. Dia tersenyum senang saat aku datang dan duduk di dekat Laras.
"Ada apa kemari?" tanyaku.
"Baru sampai kenapa langsung tanya? Basa-basi dulu gitu," ucap Laras memberiku cubitan.
"Kamu tahu betul, kalau aku tidak bisa basa-basi." Aku membalasnya.
"Aku datang ke sini, ingin mengajakmu nonton. Aku datang ke cafe, tapi teman-temanmu bilang, kamu tidak masuk karena bukan jadwal kerjamu. Jadi, aku datang ke sini." Bimo menjelaskannya tanpa ada yang tertinggal.
"Ah, aku kerja hanya di saat mereka sedang membutuhkan tenaga lebih. Jadi, terkadang aku kerja dan terkadang tidak." Aku pun ikut menjelaskan mengenai pekerjaanku sebagai pelayan di cafe temanku itu.
"Tanpa kerja pun, uang dia sudah banyak. Dia main trading saham, dalam sehari bisa dapat satu juta. Dia hanya terlalu baik dengan membantu temannya ...." Aku memberikan tatapan tajam dan membuat Laras terdiam seketika.
"Aku akan ganti pakaian dulu, setelah itu kita pergi." Aku pergi ke kamar setelah mengatakannya, memilih pakaian yang akan kukenakan. Dari banyaknya pakaian, aku hanya memilih hoodie berwarna cream dengan dipadukan celana jeans panjang dan sepatu sneakers hitam.
Saat aku keluar, Laras memprotes cara berpakaianku. Dengan tidak mendengarkan ocehan Laras, aku menarik tangan Bimo untuk bergegas pergi. Di dalam mobil, aku hanya diam dan fokus dengan ponselku.
"Apa ponselmu semenarik itu?" tanya Bimo, memecahkan keheningan ini.
"Tidak, aku hanya sedang membalas chat Laras. Aku bukan tidak ada niatan untuk cuek ke kamu," ucapku menjawab pertanyaan Bimo.
"Tidak apa-apa, apa yang kalian bahas?" tanya Bimo lagi kepadaku.
"Ah, dia marah karena penampilanku. Aku lebih nyaman berpakaian seperti ini," jawabku dengan mematikan ponsel.
"Aku suka penampilanmu yang seperti ini, kamu terlihat manis dan lucu, jadi, itu tidak jadi masalah." Seketika wajahku sedikit memanas saat mendengar ucapan Bimo. Aku memalingkan wajah, mencoba untuk menyembunyikan perasaan yang entah kenapa datang ini, senang dan malu.
Tidak lama kami telah tiba di salah satu mall terbesar di Jakarta. Kami terduduk di kursi penonton bagian tengah-tengah, tidak terlalu dekat dan tidak jauh juga. Sejujurnya, aku tidak begitu suka film bergenre romance, terkadang jika ceritanya membosankan, aku akan mengantuk. Sama seperti sekarang, aku menahan diri untuk tidak menguap dan fokus pada layar besar di depan sana.
Satu jam lebih kami menonton dan kini tengah menyantap makanan di sebuah restoran masakan Nusantara. Setelah selesai, kami pulang dan aku selalu mendapat pertanyaan dari Laras. Dengan malas aku tetap menjawab semua pertanyaannya, tetapi aku terdiam saat Laras bertanya mengenai perasaanku saat ini.
Aku terdiam dan merenungkan semuanya. Pasalnya, aku adalah perempuan yang mati rasa. Aku akan terbuka dan baik kepada laki-laki manapun, bukan karena aku mempermainkan mereka. Aku juga berteman dengan perempuan. Akan tetapi, itu karena tidak ada rasa. Dikarenakan ini, orang-orang selalu berkata aku ini wanita jalang dan murahan. Terlalu sering mendengarkan ucapan mereka, aku jadi terbiasa dan menjadi acuh. Menutup kedua telinga dan masa bodoh terhadap orang-orang seperti itu. Meski terkadang, saat sedang stress, aku akan memikirkan apa yang keluar dari mulut mereka. Akan tetapi, itu hanya untuk sesaat dan tidak lama. Ku gelengkan kepala dan pergi ke kamar untuk istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
If It's You (Tamat)
Romans"Aku janji, aku akan datang setiap satu tahun sekali. Saat liburan tahun baru." Itu merupakan kalimat yang selalu tersimpan di sisi lain ingatanku. Bimo Saputra adalah sosok yang mengatakan kalimat tersebut. Membuat diriku selalu terikat dengan diri...