"Dokter Laras, ini ada pasien. Tapi maaf, orangnya agak ribet. Kemarin dia sudah sempat jadi pasiennya Dokter Gandi, tapi katanya kurang puas sama solusi yang diberikan. Dan sekarang dia mau diperiksa sama beda dokter. Mungkin dia mau second opinion gitu." Perawat yang membantu Laras memberitahu kondisi pasien selanjutnya yang akan diperiksa. Laras sudah sangat berpengalaman dalam hal semacam ini. Harus berurusan dengan pasien sedikit sulit, tapi banyak mau. "Nanti kalau orangnya ngeyel, nggak usah diargumen lagi, Dok. Langsung kasih jawaban mati saja."
"Suruh masuk!" Titah Laras.
Sesosok gadis muda muncul. Dari ekspresinya memang terlihat tidak ramah.
"Halo, Mbak. Selamat sore. Silakan duduk!" Laras mempersilakan. "Ada yang dikeluhkan?" Tanya Laras sembari tersenyum manis.
Si pasien menatapnya datar. "Begini, Dokter, saya mau pasang behel agar gigi saya rapi. Tapi saya nggak mau kalau gigi saya harus dicabut. Kemarin saya sudah coba konsultasi dengan Dokter Gandi, tapi katanya gigi saya harus dicabut dulu, baru setelah itu pasang behel. Gigi saya masih bagus. Saya pikir sayang banget kalau harus dicabut. Sementara pasang gigi palsu mahal sekali."
"Coba aaa, Mbak! Saya lihat giginya." Laras mendekati pasiennya. Tidak lama, ia lantas mundur dan berkata. "Saya pikir gigi Mbak nggak terlalu butuh behel."
"Kenapa begitu, Dok?" Tanya si pasien penasaran.
"Alasan pertama karena Mbak masih bisa mingkem. Dan yang kedua, sayang banget kalau gigi Mbak harus dicabut." Jawab Laras, yang membuat si pasien tergugu. "Saran saya sih selama nggak mengganggu aktivitas dan masih bisa mengatupkan bibir, nggak perlu pakai behel. Yang penting, gigi selalu terawat. Sikat gigi teratur. Rutin scaling. Cukup."
"Tapi, Dok, saya pengin gigi saya bisa rapi, nggak maju mundur begini. Kadang saya malu kalau ketemu orang baru, dan harus tersenyum sambil nunjukin gigi. Bikin saya minder, Dok." Sebenarnya gadis di depannya ini lumayan cantik, seharusnya dia tidak perlu berkecil hati hanya karena giginya yang tidak rata.
"Jangan salah loh, gigi yang tumbuh nggak rata gitu biasanya kuat banget." Laras mencoba menghibur, sebelum memberi solusi terakhir untuk si pasien yang kata perawatnya cukup sulit diatur.
"Berarti harus dicabut dulu ya, Dok, sebelum dipasang behel?" Ternyata tidak sesusah itu. Belum juga Laras menjelaskan mengapa gigi-gigi si pasien wajib dicabut, gadis ini sudah lebih dulu memutuskan.
"Begini, ya." Laras meminta si pasien menyimak. "Ada beberapa persiapan sebelum melakukan perawatan behel atau kawat gigi. Persiapan ini bertujuan untuk mengatur ruang, agar behel nantinya dapat membuat gigi bergerak ke dalam susunan yang baik. Jika kebutuhan ruangnya kecil, Mbak tidak perlu cabut gigi. Saya hanya akan melakukan tindakan slicing, yaitu dengan mengasah sedikit bagian samping gigi. Sementara itu, jika kebutuhan ruang yang diperlukan besar, maka perlu dilakukan pencabutan gigi. Dan kondisi Mbak sekarang ada di solusi kedua. Bagaimana? Semua kembali pada Mbak."
"Saya coba konsultasikan dulu dengan orang tua saya ya, Dok. Tapi nanti kalau jadi pasang behel, saya mau dengan dokter Laras saja." Si pasien lalu pamit undur diri.
"Emang Dokter Laras jagonya!" Ujar sang perawat. "Semua pasien langsung takluk kalau sama Dokter Laras. Hahahaha."
"Bilang ke Dokter Gandi! Gitu aja pusing!" Sahut Laras. "Yuk, Mbak, pasien selanjutnya!" Titahnya.
Dua jam ke depan, Laras disibukkan dengan banyaknya pasien dan keluhannya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga sore. Laras siap-siap untuk pulang. Rencananya ia akan mampir ke toko kain. Tidak lama lagi akan ada acara gatering PDGI dan kebetulan Laras menjadi salah satu nara sumbernya. Tapi rencana ke toko kain harus tertunda karena asisten rumah tangganya memberitahu jika ada seseorang yang menunggunya di rumah.
Informasi dari si ART membuatnya harus berpikir, siapakah gerangan yang datang mencarinya? Sementara itu Laras tidak terlalu memiliki banyak kenalan selain rekan kerja sesama dokter gigi. Ada beberapa dari peserta pilates, itupun tidak dekat.
Saat sampai di rumah, Laras cukup terkejut mendapati sosok yang sedang duduk di kursi teras. Laras menghentikan kendaraannya di carport. Si tamu yang menyadari kedatangan tuan rumah lekas berdiri.
"Mbak Laras!" Panggil si tamu.
Laras mendekat. "Masuk ke dalam, Sit! Sudah lama nunggu, ya?" Tanyanya, sambil menggiring si tamu masuk ke dalam rumah.
"Belum kok, Mbak. Baru lima belas menit." Jawab Sita.
"Kenapa nunggu di luar?" Tanyanya lagi. Sekarang sambil mengulurkan teh kotak dan membuka toples biskuit di hadapan sang tamu. "Diminum, Sit!"
"Terima kasih, Mbak." Sejenak, Sita disibukkan dengan teh kotaknya. "Maaf, aku sudah ganggu Mbak Laras."
Laras tersenyum dan mengibas. "Nggak ganggu sama sekali. Malahan aku kaget, kamu dateng jauh-jauh dari Surabaya. Kamu sendirian? Atau ada yang antar?"
"Tadi aku diantar sopir, Mbak. Orangnya aku suruh keluar cari makan. Dan biar nggak boring nungguin aku."
"Kamu sendiri sudah makan?" Tanya Laras.
"Aku belum lapar kok, Mbak." Jawab Sita.
Hening.
"Hem, Mbak Laras!" Panggil Sita.
Laras menatap gadis itu.
"Begini, Mbak. Kedatanganku kemari, sebenarnya, mau ngomongin tentang Mas Damian." Dua minggu lalu Tante Hesti, hari ini Sita sendiri yang datang menghadap dirinya.
"Ada apa dengan dia, Sita?" Laras pura-pura tak paham.
"Bisa nggak sih, Mbak Laras bantu aku buat bujuk Mas Damian, supaya mau balikan sama aku? Aku nggak mau putus, Mbak."
Astaga, gadis ini! Laras mengurut kening.
"Sejujurnya aku iri banget sama Mbak Laras, yang bisa membuat Mas Damian susah berpaling. Padahal sudah bertahun-tahun, masih saja Mas Damian nggak bisa lupa sama Mbak Laras." Raut wajah Sita berubah sendu. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca. "Mbak Laras bisa kan bantu aku?"
"Terus terang saja nggak, Sit." Sahut Laras jujur. "Kamu salah minta bantuan aku. Harusnya kamu minta ke Tuhan. Cuma Tuhan yang bisa membolak-balikkan hati manusia."
"Mas Damian harus nikahin aku, Mbak!" Sita mengabaikan nasihat Laras. Persis seperti bulan lalu, saat Yessi mencoba menasihatinya, Sita malah mengajaknya berdebat. "Mas Damian harus bertanggung jawab sama perbuatannya!"
Laras membuang napas lelah. "Maksudmu itu apa? Perbuatan apa yang sudah dilakukan Damian sama kamu?"
"Aku terpaksa harus ngomong ke Mbak Laras, sekalipun ini privasi." Tegas Sita. "Setidaknya, setelah tahu apa yang sudah kami lakukan, Mbak Laras nggak akan lagi mau didekati oleh Mas Damian. Aku tahu Mas Damian masih terus mengharapkan Mbak Laras. Dan mungkin, Mas Damian menginginkan rujuk."
"Aku nggak akan rujuk sama Damian." Sejauh ini, Laras memang tidak pernah membayangkan ke arah sana. "Kamu nggak perlu khawatir, Sita. Jadi, apa yang sudah Damian lakukan padamu?"
Sita tampak terguncang saat akan mengatakannya. "Kami, kami ... sudah ... tidur bersama, Mbak. Dan sekarang, aku ... aku ... lagi hamil anaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)
RomanceSebuah kisah yang menceritakan tentang kandasnya pernikahan Laras Hanastasya Ismawan, akibat penyelewengan yang dilakukan suaminya Damian Satriyo Wijaya.