Bagian - 10

2.2K 203 11
                                    

"Lidahku rasanya pahit!" Keluh Damian saat Laras hendak menyuapinya lagi. Baru dua sendok lelaki dewasa yang sudah mirip bayi ini merengek minta berhenti.

"Lagi dong, masa baru dua suap nggak mau. Gimana kamu bisa cepat sembuh kalau susah makan?!" Laras sedikit geregetan. "Ayo, buka mulutmu!"

Dengan wajah terpaksa Damian menurut. "Hambar." Gumamnya.

"Tapi kamu sudah lebih membaik. Sudah nggak muntah lagi. Biar makin cepat pulihnya, makan yang banyak." Laras mengulurkan suapannya.

"Kamu kan tahu sendiri kalau aku nggak suka makanan rumah sakit. Aku lebih suka bubur buatanmu. Seperti waktu dulu itu." Damian merengek lagi.

"Ya kan dari tadi kamu nggak ngebolehin aku ke mana-mana toh. Gimana aku bisa pulang, terus bikinin kamu bubur, kalau dari tadi kamu nyuruh aku tetap di sini?" Laras tahu betul makanan seperti apa yang cocok di lidah mantan suaminya saat sedang kurang enak badan begini.

"Yaudah, kamu boleh pulang, tapi jangan lama-lama." Damian memperingatkan. "Paling lama satu jam."

"Ck! Sudah yang dibatesin banget pula. Gimana loh nanti kalau buburnya nggak enak karena bikinnya keburu-buru? Bisa jadi loh." Laras melengos, tidak bisa menahan tawa saat menyaksikan paras sedih Damian.

"Kamu jangan praktek, ya. Tolong, rawat aku. Nanti aku bayar deh, sesuai pendapatan kamu pas praktek." Ujar Damian bernego.

Laras tidak ingin melewatkan kesempatan. "Dua kali lipat, gimana? Aku ini dokter loh. Bukan perawat. Malah sekarang ini kamu jadiin aku baby sitter! Ck, nggak perlu kuliah tinggi-tinggi untuk jadi seorang pengasuh."

"Oke, berapapun yang kamu mau." Damian tersenyum. "Kamu nggak berubah. Aku suka kamu yang begini, Yang!"

Meski sebenarnya kendala tidak melakukan kerja pasien itu bukan karena enggan merawat Damian, tapi lebih ke sudah terlalu lama mengambil cuti. Tapi mau bagaimana lagi, Laras tidak memiliki pilihan. Laras tidak tenang bila harus meninggalkan lelaki ini seorang diri dalam kondisi yang tidak sehat.

"Pak Bimo, aku tinggal pulang dulu, ya." Ujar Laras pada sopir Damian yang sejak tadi duduk anteng di sofa yang tersedia di ruangan vvip ini. "Bosmu minta dibikinin bubur, Pak. Dia nggak doyan makan-makanan rumah sakit!"

Bimo terkekeh sambil menyahut. "Siap, Bu! Apa perlu saya antar, Bu?"

"Nggak usah. Kamu temani saja dia!" Laras melesat keluar. Tidak menyangka saat sedang berjalan menyusuri lorong rumah sakit, ia melihat dua sosok yang tidak ia duga kehadirannya di tempat ini. Setelahnya Laras baru sadar, jika yang dihadapinya sekarang ini masih bagian dari keluarga Yessi yang memiliki rumah sakit besar di Surabaya. Mungkin saja Tante Hesti mendapat kabar dari rekannya yang bekerja di rumah sakit ini tentang kondisi Damian, atau bahkan direkturnya sendiri yang sudah memberitahunya. Entahlah, Laras tidak tahu pasti. Yang jelas, sekarang ia sedang menghadapi kedua wanita beda generasi berdiri di depannya.

"Mbak Laras! Gimana kondisinya Mas Dam, Mbak?!" Sita langsung menyongsongnya.

Laras masih terlalu terkejut mendapati keberadaan mereka di tempat ini.

"Sudah, kamu duluan sana!" Perintah ibunya Sita. Lalu wanita paruh baya itu beralih pada Laras. "Tante mau ngomong sebentar sama Laras, boleh ya?"

Tidak ada yang bisa Laras lakukan selain anggukan. Sekarang, keduanya sama-sama duduk di kursi panjang yang terletak di sepanjang lorong.

"Maaf kalau Tante lancang." Mulai Tante Hesti. "Tante mau bertanya tentang hubungan Laras dengan Damian. Begini Laras, anak Tante, Sita, sekarang ini sedang menjalin hubungan dengan Damian. Masih jalan dua bulan. Tapi, bagaimana ya cara ngomongnya, sebenarnya Tante nggak mau ngomongin ini, tapi ...." Tante Hesti berhenti sejenak, menarik napas dan membuangnya pelan. "Jujur, Tante malu mau ngebahas ini ke kamu. Posisi kamu juga sudah jadi mantan istrinya, dan itu sudah lama juga. Bahkan Laras juga nggak tinggal di Surabaya."

"Nggak apa-apa, Tante, silakan dilanjut." Laras menyentuh punggung tangan wanita di sampingnya sambil tersenyum manis. "Santai, Tante. Yuk, silakan dilanjut."

"Sita, anak Tante, cinta banget sama Damian loh, Ras. Sedangkan Damian sepertinya masih mengharapkanmu. Yang Tante tahu dari Asga, kalian bukankah tidak pernah berkomunikasi selama ini? Bahkan Damian juga nggak tahu di mana keberadaanmu. Tapi kenapa Damian masih saja belum bisa lupa, Ras?"

Jika tentang itu, jujur, Laras juga tidak paham. Seharusnya wanita ini menanyakan langsung pada yang bersangkutan. Tapi Laras memilih untuk menjawab seperti ini, "Nggak mungkin, Tante. Kami sudah pisah tujuh tahun. Dan saat acara kemarin itu untuk yang pertama kalinya kami bertemu lagi. Untuk yang sekarang ini juga kebetulan banget Damian sakit pas lagi di Tulungagung. Saya sudah kontek orang tuanya, tapi posisi mereka lagi di luar negeri. Mau menghubungi kerabat yang lain, tapi dilarang sama yang lagi sakit."

"Iya, Laras. Tante percaya kok sama kamu. Kalau kamu masih ada perasaan sama Damian, kamu tidak akan menghilang sampai bertahun-tahun."

Justru karena Laras tidak sanggup melawan perasaannya pada Damian, sehingga membuatnya harus terus bersembunyi.

"Laras, nanti biarkan Sita dan Tante saja yang merawat Damian, ya. Laras nggak perlu lagi datang ke sini. Maaf, kalau Tante terkesan mengatur, tapi ini demi anak tante satu-satunya, Ras. Maafkan Tante."

Laras mengangguk. "Tapi saya ada janji bikinin dia bubur, Tan. Katanya makanan rumah sakit rasanya hambar. Mungkin nanti saya antar sampai di depan kamar aja ya. Tante yang terusin."

Senyum ibunya Sita mengembang lebar. "Terima kasih banyak ya, Laras. Dari dulu Tante selalu kagum sama kamu. Kamu itu cantik, ramah, baik, pintar. Tante doakan semoga kamu segera mendapatkan jodoh yang terbaik."

Saat Laras sudah berada di dalam mobil grab, ponselnya berbunyi, nama Damian Satriyo Wijaya muncul di layar. Laras mencoba abai. Setelah panggilan ke empat tidak Laras gubris, satu pesan masuk muncul. Laras tidak ingin usahanya abai sia-sia. Sesuai rencana awal, ia akan pulang ke rumah dan membuatkan Damian bubur, lalu kembali ke rumah sakit dan lanjut ke klinik untuk praktek siang.

Sebenarnya jadwal Laras setelah cuti lumayan padat. Laras adalah dokter spesialis ortodonti. Untuk menunjang penampilan, sekarang ini banyak orang yang berkeinginan memiliki gigi rapi dan bagus. Sehingga mereka rela merogoh kocek tidak sedikit untuk pasang behel. Dan itulah yang menjadi keahlian Laras selama ini. Membuat gigi-gigi para pasiennya semenarik mungkin.

Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang