Laras sedang disibukkan mengurus surat pengunduran diri pada beberapa instansi tempatnya bekerja. Keputusan ini terjadi setelah hampir satu minggu Laras memikirkannya. Keluarga Yessi baru saja membuka klinik bersama dan Tante Yunis sendiri yang menarik Laras untuk mengisi bagian dokter gigi di klinik tersebut. Jika sudah seperti ini, Laras tidak bisa menolak.
"Ras, kamu tahu kalau Tante sayang banget sama kamu. Tante sudah sabar loh jauh dari kamu bertahun-tahun. Sekarang, cuma itu yang Tante pengin dari kamu. Tante mau kamu kembali ke Surabaya. Berkarir di sini."
Yang lalu-lalu Tante Yunis bahkan tidak protes ketika Laras memutuskan untuk merantau ke kota orang. Namun sekarang, rasanya sangat salah jika Laras tidak menurut. Tante Yunis sudah seperti ibu baginya. Maka sudah sepatutnya Laras berbakti pada ibunya.
"Tante baru tahu dari Yessi kalau rumah yang kamu tempati itu juga masih ngontrak. Dengan penghasilan kamu yang nggak sedikit, nggak mungkin kamu nggak punya uang untuk membeli rumah. Dari situ jelas, niatmu nggak akan tinggal selamanya di Tulungagung. Makanya, Tante punya alasan untuk memintamu kembali. Dan kebetulan keluarga besar Tante baru saja buka klinik bersama yang membutuhkan kamu di dalamnya. Mungkin Tante terkesan jahat karena sudah maksa kamu. Dan Tante terlihat seperti orang yang menolongmu dengan pamrih, tapi percayalah, Tante nggak seperti itu. Tante sayang banget sama kamu. Seperti yang Tante sering bilang, kalau kamu sudah Tante anggap seperti anak perempuan Tante. Sudah seperti saudaranya Yessi dan adeknya Asga. Jadi, tolong jangan berpikir kalau pernintaan Tante ini karena pamrih. Tante berharap kamu bisa mengabulkan permintaan Tante karena kamu sadar, bahwa rumahmu bukan di situ. Sekarang, sudah saatnya kamu kembali pulang."
Laras tidak pernah mendapati kalimat panjang lebar Tante Yunis seperti yang ia dengar kemarin. Yang artinya Tante Yunis benar-benar menginginkannya kembali.
"Mbak Arum, mau ikut aku aja ta ke Surabaya? Biar saat di sana nanti aku nggak repot-repot nyari pembantu lagi." Ujar Laras pada asisten rumah tangganya yang baru tiga minggu bekerja. Baru saja ia sampaikan keputusannya untuk pindah ke Surabaya.
Si ART terlihat bimbang.
"Gajinya nanti aku tambahin." Imbuh Laras. "Gaji di TA sama Surabaya jelas beda, Mbak. Jangan khawatir soal itu."
"Nanti pulangnya gimana, Bu?" Tanya si ART. "Saya masih boleh pulang sebulan sekali apa tidak?"
"Kalau kerja di luar kota mending pulangnya tiga bulan sekali aja, Mbak. Sayang ongkos kalau sering-sering." Laras memberi saran. "Nggak usah buru-buru diputusin. Aku kasih waktu buat mikir dua hari. Rembukan dulu sama anak-anakmu sana!"
"Baik, Bu. Kalau saya sih insya Allah aman. Saya kan nggak punya suami. Tapi kadang anak saya yang kecil itu loh, Bu, suka kangen dan nyuruh saya cepat-cepat pulang. Biasanya kalau sudah diajak jalan-jalan dan dibeliin mainan gitu juga sudah nggak rewel. Anak-anak saya mudah diatur kok, Bu."
Laras paham. Saat menerima Arum menjadi ARTnya, yang Laras jadikan pertimbangan adalah anaknya. Laras pernah memiliki ART yang belum genap satu minggu sudah berhenti karena anaknya rewel.
"Tapi gampang, Bu. Misal nanti saya jadi ikut Bu Laras ke Surabaya, akan saya atur supaya tidak sering-sering pulang. Anak saya yang mbarep itu sudah bisa disuruh urus adeknya kok. Nanti saya bisa transferin uang ke dia, biar adeknya diajak jalan-jalan sama dibeliin mainan."
"Beneran?" Laras memperjelas. Takutnya nanti menjadi masalah saat Arum sudah berada di Surabaya.
"Iya, Bu. Aman." Si ART meyakinkan. "Anak saya yang mbarep itu kan cewek. Sama adeknya juga gampang ngalah kok, Bu."
"Sudah kelas berapa sekarang?" Tanya Laras.
"Sudah kelas dua SMK." Jawab si ART.
"Biasanya anak cewek memang lebih cepat mbeneh sih, Mbak. Ya pokoknya aman. Kamu yang paham kondisi rumahmu. Jadi, atur sebaik mungkin. Tujuan kamu bekerja di rumahku karena kamu butuh pendapatan, sedangkan tujuanku cari ART karena aku butuh dibantu urus rumah. Itu artinya kita saling butuh."
"Betul, Bu."
"Makanya, berhubung kita saling butuh. Kita harus bisa menjaga hubungan kita agar tetap baik. Mbak Arum harus profesional bekerja, begitu pun sebaliknya, aku menggaji Mbak Arum harus tepat waktu. Insya Allah, kalau kita bisa saling menjaga satu sama lain, Mbak Arum dan aku bisa awet."
Si ART mengangguk setuju. "Betul, Bu. Bismillah. Saya juga sudah semakin mengenal Bu Laras. Meski belum lama bekerja. Tapi saya benar-benar nyaman dan bersyukur bisa kerja di sini."
"Aku juga begitu, Mbak. Makanya aku nawarin kamu ikut ke Surabaya. Karena aku suka sama kerja kamu. Tanpa perlu aku ajarin, kamu sudah paham sama pekerjaan rumah. Kamu juga tanggap sama lingkungan. Nyari orang seperti kamu juga susah."
Percakapan dengan si ART berhenti saat ponsel Laras berbunyi dan nama Damian Satriyo Wijaya tertera di layar. Laras masuk ke dalam kamar, meski tetap tidak berniat menerima panggilan tersebut. Ada saat di mana Laras tidak keberatan untuk mengobrol dengan mantan suaminya, dan ada kalanya Laras harus membatasi interaksi keduanya.
Ini bukan tentang Sita. Laras tidak bodoh untuk bisa diatur dan percaya begitu saja. Anak zaman sekarang memang suka nekat dan aneh-aneh. Bukannya iba, Laras justru tergelak kencang. Setelahnya, Laras merasa miris dengan cara bocah itu untuk mendapatkan sesuatu. Jelas-jelas yang Sita rasakan pada Damian lebih ke opsesi, bukan lagi cinta.
Angkat teleponku!
Laras hanya membacanya, tanpa berniat mengetik balasan.
Aku masih di Jakarta. Bimo aku suruh pulang lebih dulu buat ngebantuin kamu pindahan. Biar dia yang urus barang-barangmu.
Satu lagi pesan masuk muncul saat Laras tidak kunjung membalas.
Rumah kita itu rumahmu. Sebaiknya kamu kembali ke sana. Rumah itu nggak ada yang berubah. Selama ini ada orang yang datang untuk mengurusnya. Tolong, Laras. Turuti permintaanku kali ini.
Susah payah Laras menelan ludahnya, setelah membaca pesan Damian yang terakhir. Laras memang masih belum memiliki arah tujuan saat besok kembali ke Surabaya. Awalnya mungkin ia akan tinggal di hotel, sembari mencari rumah baru. Meski mungkin Tante Yunis tidak setuju dan terus memaksanya untuk tinggal bersama di kediamannya.
Lalu opsi lain muncul dari mantan suaminya yang memintanya kembali ke rumah yang dulu Laras tinggali saat masih menikah. Rumah itu merupakan kado pernikahan dari ayah Damian. Sehingga Laras benar-benar tidak berhak karena bukan termasuk harta gono gini. Rumah itu juga tidak cocok buat Laras, karena terlalu besar dan mewah untuk ditinggali seorang sendiri. Jadi, sudah dipastikan bahwa Laras tidak akan menuruti usul Damian.
Mungkin, ia akan menerima bantuan dari Bimo untuk mengurus barang-barangnya. Hanya sebatas itu, tidak lebih.
Jadi, begini bunyi pesan balasan Laras untuk mantan suaminya ; Makasih untuk perhatianmu. Tapi aku nggak bisa balik ke sana lagi, Dam. Kamu ini ada-ada saja! Aku butuh tenaga Bimo untuk pindahan aja. Oke? Sekali lagi, makasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)
RomanceSebuah kisah yang menceritakan tentang kandasnya pernikahan Laras Hanastasya Ismawan, akibat penyelewengan yang dilakukan suaminya Damian Satriyo Wijaya.