Bagian - 4

2.3K 238 12
                                    

"Jujurly, dengan badan segedhe ini, yang bikin aku nggak percaya diri itu kalau pas ada acara seperti sekarang." Yessi berbisik di telinga Laras. "Mau pakai dress semahal apapun, kalau badannya nggak mendukung. Nggak akan terlihat oke."

"Makanya diet. Aku sudah sering ingetin." Ujar Laras sambil menyimak pidato dari pemilik rumah sakit, yakni ayah Yessi.

"Huhuhuhu, susah, Ras!" Rengek Yessi. "Edwin tiap malam selalu ngajakin kulineran. Nggak mungkin dong aku cuma nemenin doang tanpa ikut makan. Melas kali lah!"

"Demi badan bagus, kenapa nggak?!" Laras masih fokus pada pembicara di atas panggung.

"Sebenarnya Edwin nggak masalah sih kalau istrinya gendut. Dia sama sekali nggak pernah protes. Justru dia ngebebasin aku buat beli makanan apapun yang lagi aku pengin. Itu yang bikin aku jadi keterusan deh." Meski konsentrasinya terbelah, tapi Laras masih mendengar suara Yessi.

"Aku kasih tahu, ya!" Laras menatap Yessi sekilas, sebelum kembali fokus pada objek di depan sana. "Nggak ada laki-laki yang benar-benar nerima badan istrinya yang gendut. Kalau saja Edwin bisa ngomong, dia pasti pengin ngelihat badanmu kembali ke awal kalian pacaran. Edwin terkesan nggak masalah karena nggak pengin bikin kamu sakit hati. Kamu sudah berjuang mengandung dan melahirkan dua anaknya. Ngerti maksudku kan?"

"Tapi aku nggak akan sukses kalau nggak didukung sama suamiku, Ras. Beneran deh, Edwin tuh tiap malam ngajakin aku makan di luar." Yessi terus mengeluh.

"Ya berarti kamu harus omongin sama Edwin. Kalau kamu lagi ada niat nurunin berat badan. Aku yakin Edwin bakal ngedukung seratus persen." Laras kembali menoleh. "Kalian ML berapa kali dalam seminggu? Katanya, cewek yang kegemukan itu akan sering kehilangan nafsu seks."

"Enak aja! Nggak berlaku untuk hubunganku sama Edwin. Kami hampir setiap hari ML kok. Kan aku sudah sering bilang kalau Edwin itu lebih strong daripada Damian."

Laras melotot. "Kenapa jadi Damian sih?!"

"Ya, maksud aku, kalau ada laki-laki yang bisa ngalahin Damian, itu pasti suamiku!" Yessi meringis. "Sori, nggak usah sewot gitu dong. Btw, habis ini kamu harus siap-siap ketemu dia. Sama Mas Asga dia diundang. Mungkin bentar lagi muncul."

Informasi tersebut tentu saja membuat Laras cukup terusik. Meski sebelumnya ia sudah memperkirakan pertemuan itu.

"Damian baru saja jadian sama Sita." Lanjut Yessi. "Kamu ingat Sita kan? Anaknya Tante Hesti. Mungkin mereka nanti akan datang bareng."

"Maksudmu, Sita anak kecil itu?" Laras teringat sepupu Yessi yang dulu saat ia baru saja bercerai, bocah itu masih kuliah semester satu.

"Sekarang Sita sudah bukan akan kecil lagi, Ras. Umurnya sudah dua puluh lima tahun. Dia lagi ambil spesialis bedah mulut. Terkadang aku bertanya-tanya, kenapa Damian sengaja banget nyari yang dokter gigi lagi? Menurutmu aneh nggak sih?"

"Bukan itu yang bikin aku susah percaya. Tapi, usia mereka. Memangnya Sita nggak ada pilihan lain, sampai mau sama duda?"

Yessi mengendikkan bahu. "Entahlah! Tapi faktanya malah Sita yang duluan naksir. Tante Hesti sendiri yang bilang ke Mas Asga buat jodohin anaknya sama Damian. Tante Hesti itu kan mata duitan. Maksudku, di keluargaku dia terkenal matre. Sudah pasti dia akan nyari menantu tajir sih buat anaknya."

Laras menggeleng tak setuju. "Bukan salah Tante Hesti sih. Wajar seorang ibu begitu. Lagian, Yess, hari gini masih ada perjodohan. Menurutku nggak gitu sih. Sita cantik, dan sekarang pasti jauh lebih cantik karena sudah dewasa. Hubungan mereka nggak akan sampai pada tahap pacaran kalau Damian nggak tertarik sama Sita."

"Iya sih." Yessi menatapnya serius. "Kamu ... nggak apa-apa kan ... kalau Sita ... sama Damian? Masalahnya, hubunganku sama Sita ini kan masih saudara dekat. Nantinya di setiap event kamu pasti akan selalu bertemu mereka."

"Antara aku sama Damian sudah tutup buku. Dia bebas mau berhubungan sama wanita manapun. Aku nggak perduli, sekalipun itu sama Sita." Laras berharap kata-katanya barusan bukan sekedar menghibur diri. Akan lebih baik itu benar-benar yang ia rasakan.

"Baguslah!" Yessi tersenyum lega. "Kamu cantik. Seksi. Laki-laki banyak yang akan mengantre seandainya kamu mau membuka diri."

"Fokus aku lagi nggak ke sana! Jadi, jangan coba-coba pengaruhi aku."

"Ras, arah jarum jam!" Yessi kembali berbisik di telinga Laras. "Semoga kamu nggak terpengaruh."

Tidak menunggu detik berganti, Laras langsung mengarahkan tatapannya sesuai instruksi Yessi, dan benar saja, di sana berdiri sosok lelaki yang lama tak di lihatnya berada tepat di samping panggung. Perempuan yang mendampingi mengapit mesra lengan kekasihnya.

"Lihat tuh! Ya ampun, Sitaaaa! Emang centil banget itu anak!" Gerutu Yessi. "Damian nggak bakalan kabur. Pegangan muluk heran! Gitu deh kalau masih pacaran! Coba kalau sudah nikah, apalagi sudah ada anak. Nggak bakalan sempat mesra-mesraan. Percaya deh!"

Laras menghembuskan napas lelah. Kembali fokus ke pengisi acara di atas panggung. "Kenapa jadi kamu yang sewot sih?!  Suka-suka mereka lah!"

"Ras, Damian lihat kamu! Astaga, dia nyamperin kita! Gimana ini?!" Yessi bergerak-gerak kebingungan. "Kamu mau tetap duduk di sini atau kabur? Kita bisa sembunyi di ruanganku. Hem, percuma sih melakukan itu. Sita tahu di mana ruanganku."

"Kita tunggu mereka di sini!" Laras memegang lengan Yessi agar berhenti bergerak seperti orang kesurupan.

"Mbak Laras?!" Panggil perempuan yang datang bersama mantan suaminya. "Ya ampun, Mbak Laras bikin aku pangkling loh. Makin cantik!"

"Hai, Sita?" Laras tersenyum sembari menyambut uluran tangan lawan bicaranya.

"Tadi aku pikir artis yang mau ngisi acara. Tapi kok Mbak Yessi nggak ngasih bocoran kalau mau ada artis yang datang. Eh, ternyata Mbak Laras. Ya ampuuuun."

Saat harus beralih pada lelaki di sebelah Sita, Laras tidak menampik adanya desiran yang membawanya harus kembali ke masa lalu. Laras merasakan genggaman tangan Damian yang hangat, kuat, melindungi. Dua detik yang penuh arti. Meski tidak benar-benar memperhatikan, tapi Laras merasa mantan suaminya itu banyak berubah.

"Sekarang Damian rambutnya gondong." Bisik Yessi saat kedua insan yang menghampirinya berlalu. "Waktu pertama lihat dia di ruangannya Mas Asga, aku sempat kaget. Kok penampilan Damian jadi berubah gini. Jadi kayak cowok urakan. Rambutnya gondrong. Cambang di mana-mana. Coba tebak dia ketemu kliennya pakai baju apa? Kaos oblong dan celana jins bolong-bolong. Sumpah, aku syok. Kayak nggak menghargai Mas Asga banget nggak sih?! Awalnya aku sama Mas Asga sempat ragu mau pakai dia. Sempat takut bakalan ketemu pengacara zonk lagi. Tapi akhirnya bismillah nekat. Ternyata, emang penampilan Damian kayak gitu, tapi kerjanya sangat profesional. Lagi-lagi aku harus belajar untuk nggak lihat orang dari casingnya."

Seingat Laras, mantan suaminya itu tidak pernah telat mengunjungi barbershop setiap tiga hari sekali. Tidak pernah membiarkan cambangnya tumbuh lebat. Dan untuk urusan pakaian, selalunya harus yang resmi saat bertemu klien. Laras tidak akan pernah melupakan setitikpun dari seorang Damian.

"Perasaan dulu dia selalu klimis, rapih. Selalu yang pertama soal penampilan. Pokoknya Damian yang dulu beda dengan sekarang." Yessi benar. Bahkan Damian jauh lebih paham soal penampilan ketimbang Laras yang saat itu masih awam. "Itu tadi pasti didandanin sama Sita. Biasanya rambutnya nggak pernah dikunci. Tadi dikuncir dan tumben pakai jas bagus. Menurutmu, kenapa Damian banyak berubah?"

Laras mengendikkan bahu. "Mana aku tahu?!"

"Aku sempat mikir, apa jangan-jangan dia depresi sama perceraiannya. Tapi, ya kali cowok depresi. Biasanya kan, mati satu tumbuh seribu."

-INFO-
Di Karyakarsa sudah lebih banyak😁

Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang