Bagian - 7

2.1K 208 5
                                    

Apa-apaan ini, Laras malah ditodong untuk menggantikan Yessi yang ada acara dadakan di luar kota. Sementara pasien ortodonti Yessi sudah mengantri begitu banyak di ruang tunggu. Laras yang berniat pamit pulang ke Tulungagung, justru harus tertahan lagi gara-gara sahabatnya yang tidak sopan ini.

"Ayolah, Ras. Mas Asga masih ada jadwal operasi. Mama lagi kurang enak badan. Makanya Papa minta aku yang temenin. Masa kamu nggak mau bantuin aku kali ini saja sih? Kamu nggak kasian sama pasien-pasien yang sudah antre dari tadi pagi?" Bukan Yessi jika tidak seenaknya sendiri dalam bersikap.

"Aku juga punya pasien, Yess. Mereka juga butuh aku. Aku harus pulang sekarang. Nanti sore aku sudah harus kerja pasien." Laras tidak habis pikir dengan yang ada di kepala Yessi saat memutuskan untuk nurut pada ayahnya sementara harus mengorbankan orang lain.

"Kamu bisa bilang ke perawatmu kalau kamu nggak jadi bisa pulang sekarang. Jadi pasienmu nggak bakalan kecele. Sudah, ah. Aku berangkat dulu. Papa sudah nungguin." Dan Yessi melesat begitu saja tanpa menghiraukan wajah sebal sahabatnya.

"Dokter Risa, sori, aku nggak jadi bisa pulang hari ini. Bisa pegang pasienku sore ini kah? Kalau oke, langsung aku teruskan ke Tantri." Laras segera menghubungi rekan kerjanya di klinik tempatnya bekerja. Dan bersyukur dokter gigi yang menjadi badal menyanggupinya.

Sepuluh menit kemudian, Laras mulai menjalankan tugasnya melayani pasien satu persatu. Hingga dua jam lamanya. "Sudah habis?" Tanyanya pada perawat yang membantunya.

"Satu lagi, Dok. Bapak Damian, scaling." Ujar si perawat sembari memanggil pasien terakhir.

Menghembuskan napas gusar, rupanya Yessi sudah merencanakan semua ini. Jika tidak, mana mungkin tiba-tiba ada Damian muncul menjadi pasiennya.

Sosok itu akhirnya masuk. Beda dengan pertemuan sebelumnya, ekspresi wajah Damian kali ini terlihat lebih manusiawi. Senyumnya mengembang saat menatap Laras.

"Silakan, Pak!" Tanpa perlu repot-repot membalas senyum menyebalkan mantan suaminya, Laras segera menyuruh lelaki itu duduk di dental care. "Kamu ngerjain aku, ya?!" Pekik Laras yang membuat perawat di sebelahnya kaget.

Laras meminta si perawat untuk meninggalkan ruangan lebih dulu dan menginformasikan jika pasien terakhir akan menjadi urusannya. Selain itu, Laras juga tidak ingin ada orang lain yang berpotensi membuat gosip antara dirinya dengan Damian.

"Aku pasien, Ras. Harusnya dilayani dengan baik juga dong." Protes Damian dengan wajah pura-pura polos. Lelaki itu beranjak dari kursi pasien dan mendekati Laras yang sedang membersihkan diri. "Apa karena aku pasien terakhir jadi kamu bisa semena-mena gini? Wah, ini bisa dikomplain. Dokter Laras sengaja nyuekin pasiennya."

"Komplain sana deh!" Tantang Laras sambil mencuci tangannya di wastafel. "Aku kan buka dokter di rumah sakit ini. Komplainmu nggak akan berpengaruh apa-apa buatku."

"Aku ini pasien. Aku sudah antre hampir dua jam buat perawatan gigi."

Laras berbalik dan menatap lelaki yang berdiri di hadapannya. "Kamu pikir aku nggak tahu, sebelum kamu masuk ruangan kamu sengaja makan camilan yang bikin gigi kamu kotor. Dan sekarang kamu minta aku buat bersihin?"

Damian sedikit salah tingkah. "Ya kan itu memang tugas dokter."

"Sembarangan! Aku dokter, bukan baby sittermu."

"Lucu juga kalau kamu jadi baby sitterku." Lelaki itu malah semakin menggodanya. "Sexy Nanny!"

"Damian!" Rasanya Laras ingin melempar wajah nakal lelaki itu dengan bantalan sofa yang berada tak jauh darinya. Laras buru-buru menyambar tas jinjingnya dan melangkah keluar.

Damian menyamai langkahnya "Sore nanti kamu ada kerja pasien kan? Aku antar, ya. Sekarang ambil barang-barangmu dulu di hotel?"

"Nggak perlu!" Tolak Laras langsung. Saat ketuk palu digaungkan, tidak terbersit di pikiran Laras akan berurusan lagi dengan mantan suaminya.

"Ayolah! Daripada naik travel." Damian tidak menyerah dan terus berusaha menggiring Laras ke tempat parkir.

"Dam, minggir, kamu ngapain sih?" Laras berhenti melangkah. Badan lelaki itu terlalu besar untuk bisa Laras singkirkan dengan mudah. "Minggir, Damian!"

"Nggak, sebelum kamu mau aku anterin!" Tegas lelaki itu tak mau dibantah.

"Kamu tetap nggak berubah, ya. Pemaksa!" Laras berbalik dan kembali melangkah. Mencoba mencari jalan lain untuk menghindari mantan suaminya. "Kalian seneng banget pasti, bisa ngerjain aku terus menerus?! Dam, minggir?!"

"Pulang sama aku, Ras!" Ujar lelaki itu lebih tegas lagi. Dan kembali menyabotase jalannya. "Mau aku gendong atau jalan sendiri ke tempat parkir?"

"Hih, dasar gila!" Dengus Laras sambil meliarkan tatapannya ke sekitar. Banyak orang yang ternyata sedang memperhatikan tingkah mereka. Mungkin Laras terlihat seperti seorang istri yang merajuk pada suaminya. Dan dengan sabar suaminya terus merayu sang istri. Sial!

"Biar kita semakin jadi pusat perhatian orang-orang." Lanjut lelaki itu.

Laras menghembuskan napas gusar dan melangkah lebih dulu. Bisa ia pikirkan solusinya nanti. Yang terpenting, sekarang ia harus bisa menyelamatkan harga dirinya terlebih dahulu dari tontonan orang-orang di sekitarnya.

Damian terlihat senang karena sudah berhasil membawa Laras ke dalam mobilnya. Sepasang mantan itu duduk di belakang sopir. Kendaraan ini sepertinya memang sudah disiapkan untuk mengantar Laras pulang ke Tulungagung. Dan itu pasti atas dasar campur tangan Yessi.

Perjalanan menuju hotel hanya dihabiskan dalam keheningan. Laras fokus menatap lalu lintas kota Surabaya yang padat merayap. Ingatan Laras seperti dipaksa untuk kembali ke masa lalu. Saat pulang kerja dan kebetulan jadwal Laras kerja pasien hanya sampai sore, maka Damian akan menjemputnya dan mereka lanjut jalan-jalan ke mal untuk belanja atau menonton bioskop. Atau mereka akan langsung pulang ke rumah dan menghabiskan waktu lebih banyak untuk bersama.

Lamunan Laras buyar saat Damian mengulurkan botol air mineral. Kali ini Laras tidak menolak karena rasa dahaga di tenggorokannya. Pasti terlalu banyak yang Laras pikirkan hari ini dan kurang berhati-hati saat meneguk minumannya sehingga membuatnya tersedak.

"Minumnya pelan-pelan dong, Sayang!" Dengan cekatan Damian mengurut tengkuknya sambil menyodorkan tisu. Lagi-lagi manusia adam satu ini membuatnya kesal karena sudah lancang memanggil Laras dengan sebutan yang tidak semestinya. Dan kenapa juga Laras bisa seceroboh ini?! Disaksikan oleh mantan suaminya pula!

Tak lama kendaraan Alphard hitam metalik itu akhirnya berhenti di basement hotel. Laras buru-buru turun dengan harapan bisa masuk ke dalam kamar hotelnya lebih cepat daripada langkah kaki mantan suaminya. Tapi nyatanya ia tetap kalah. Damian sudah memperkirakan semuanya. Lelaki itu sengaja berjalan lebih dulu agar bisa mendominasi gerak Laras.

"Kenapa kamu jadi menyebalkan banget sih, Dam?!" Seru Laras kesal. "Pergi sana! Aku nggak butuh kamu! Aku bisa urus diriku sendiri!" Laras sudah bersiap mengambil alih koper di tangan lelaki itu tapi tidak berhasil.

"Sudah nggak ada yang ketinggalan kan? Apa perlu dicek ulang?" Tanya Damian mengabaikan gerutuan wanita di depannya. "Cek ulang, Bim!" Titahnya pada sang sopir.

Laras mendengus. Tidak lagi bisa menghindar ataupun menolak. Berkunjung di kota ini adalah petaka. Ingatkan Laras untuk tidak mengulanginya lagi.

Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang