Bagian - 1

3.2K 288 9
                                    

"Selamat ulang tahun, ya, bestieku yang makin tua malah kelihatan muda. Kalau dari kaca mata Mas Asga makin seksi dan hot." Yessi langsung memeluk Laras setelah berhasil membuat terkejut dengan tiba-tiba muncul di tempat kerjanya sambil membawa kue tart dan paper bag merek asal Perancis. "Aku perhatiin badanmu makin kenceng. Emang beneran hobi pilatesmu itu bikin tubuhmu tambah bagus? Apa karena kamu belum ngelahirin anak, sehingga badanmu nggak melar-melar? Lihat deh aku, sudah macam kulkas dua pintu saja!"

"Hish, mulutmu itu!" Dengus Laras. "Kamunya aja yang nggak bisa jaga badan. Makan nggak kekontrol. Asal enak dimasukin semua ke perut. Ya begitu deh jadinya!"

"Sebagai wanita berstatus ibu anak dua, aku pikir wajar-wajar saja punya berat badan enam puluh lima kilo. Kamu sih nggak paham gimana susahnya nahan nafsu makan habis nyusuin. Anakku semua cowok, nyusunya kuat. Kalau habis nyusuin, pasti cara makanku balas dendam." Jika bukan Yessi yang mengucapkan kalimat frontal tersebut, pasti Laras sudah sakit hati. Wanita manapun akan sensitif bila kekurangannya dijadikan bahan ejekan. Terlebih jika itu menyangkut anak. Tidak ada wanita di dunia ini yang tidak ingin mengandung dan menyusui. "Ternyata benar, perempuan yang punya pekerjaan mapan itu bisa bikin jodoh malah menjauh. Karena pada ketakutan yang mau ngedeketin."

Laras tidak berminat untuk menanggapi lontaran kalimat Yessi, tas kertas berwarna orange di depannya lebih menarik perhatian. "Sudah nggak kaget sih kalau anak pemilik rumah sakit gedhe ngasih kado ke temannya barang-barang mewah."

"Nggak usah ngeledek gitu!" Sembur Yessi sengit. "Nggak harus anak pemilik rumah sakit yang bisa ngasih sandal Hermes ke temannya. Kamu juga kalau tiap aku ulang tahun selalu ngasih yang nggak kalah mahal."

Itu karena Laras banyak berhutang budi pada keluarga Yessi. Laras bisa di titik sekarang ini berkat orang tua Yessi yang berbaik hati menunjang pendidikannya hingga menjadi dokter spesialis. Belum cukup sampai di situ, setelah perceraiannya dengan Damian, orang tua Yessi kembali direpotkan dengan tingkah Laras yang mendadak berhenti dari rumah sakit milik keluarga Yessi yang sudah membesarkan namanya dan kini lebih memilih tinggal di daerah kecil yang jauh dari kota. "Om dan Tante sehat kan? Mas Asga?"

"Tentu saja Mama kangen banget sama kamu! Mama bilang seharusnya kamu itu datang ke Surabaya paling lama sebulan sekali. Tapi Mama tahu itu nggak mungkin. Kamu nggak akan minggat ke tempat yang bahkan mal aja nggak ada, kamu rela ngelepas karirmu yang sedang naik dan menjalani hidup sendiri tanpa orang-orang terdekatmu. Kamu nggak akan bertindak sejauh itu kalau sakit hati yang kamu rasain nggak parah." Yessi menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Seolah mengatakan fakta barusan membuat paru-paru di dalam tubuhnya kehilangan fungsi. "Kamu pasti juga sudah menikah lagi, karena nggak sedikit laki-laki yang coba ngedeketin kamu tapi selalu kamu tolak. Sekarang kamu terlihat seperti manusia mati rasa. Tujuh tahun harusnya cukup buat kamu nyembuhin hati, Ras. Jangan terus-terusan kayak gini."

Usai hakim mengetuk palu, Laras seperti kehilangan kendali diri. Laras yang menganggap hidupnya akan lebih baik setelah berpisah dari lelaki peselingkuh, namun nyatanya tidak. Laras mengira bahwa cintanya pada Damian belum sebesar itu, sehingga tidak akan terlalu memberi pengaruh. Laras baru menyadari kedalaman hatinya saat benar-benar sudah berpisah. Hari-hari yang ia lalui berubah hampa. Laras kehilangan semangat hidup. Kunjungan rutin ke Psikolog menjadi penolong agar ia bisa kembali bangkit mengarungi arus masa depan. Laras tidak menyangka jika perceraiannya dengan Damian menjadi titik nadir dalam hidupnya. Laras merasa saat itu dirinya telah hancur lebur.

"Kamu mau minum apa? Belum makan kan? Aku pesanin di grab aja, ya." Tawarnya pada sang tamu jauh.

"Tadi sudah makan di mobil. Tapi boleh deh pesanin jajan aja. Memangnya di sini ada orang jual makanan enak?" Ejek Yessi sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar. "Praktik di ruangan sempit kayak gini kamu kok ya betah sih, Ras?!"

"Mending kamu duduk anteng deh! Ada pasien datang!"

Laras mempersilakam pasiennya yang baru saja datang untuk langsung merebahkan diri di dental care. Satu perawat membantu mengambilkan alat untuk melepas karet behel pasien. Hampir setengah jam Laras merawat pasiennya sebelum kembali duduk di sebelah Yessi.

"Kalau di rumah sakit mana mungkin kamu sempat duduk buat mainan HP begini." Celetuk Yessi, yang lagi-lagi membahas tentang keputusan Laras pindah tempat kerja.

"Ini klinik baru, Yes. Wajar kalau sepi. Soalnya belum banyak yang tahu." Dan untuk yang kesekian kalinya Laras menjelaskan. Laras bekerja di tiga klinik, sengaja menghindari rumah sakit yang memiliki jam kerja cukup panjang. Praktik di klinik yang hanya empat jam kerja membuat Laras lebih lowong sehingga bisa digunakan untuk berkegiatan lain. "Pesanan kita sudah sampai. Bentar, aku ke depan dulu."

"Memangnya kalau di klinikmu yang lama pasien bisa banyak?" Tanya Yessi saat Laras sudah kembali ke ruangannya, dan meletakkan beberapa kantong plastik.

Laras mengeluarkan piring dan sendok dari laci meja sofa. "Nggak banyak kalau kamu ngebandinginnya sama rumah sakitmu." Jawabnya. "Besok lagi mending kamu nggak usah datang ke klinik."

"Kamu pikir aku pengangguran yang bisa mengunjungimu setiap saat? Kamu dong yang gantian ke Surabaya! Jangan lewat kurir muluk kalau mau ngasih kado." Yessi menyuap jajanan cilok asli daging sapi ke mulutnya. Sahabatnya ini boleh anak orang kaya, tapi lidahnya sangat merakyat. "Eh, enak banget sih! Beli di mana ini, Ras?"

Sudah ia duga, Yessi pasti menyukainya. "Itu cilok bisa enak karena dimasak dikasih bumbu."

"Oh gitu? Jadi bumbunya bukan cuma saos sama kecap? Atau bumbu kacang?"

Laras menggeleng. "Itu deh yang bikin enak! Aku dulu kalau beli cilok pasti nggak mau pakai tahu. Sekarang tahu harus."

"Iya! Karena dimasak dulu makanya bumbunya meresap. Tahunya jadi enak." Jika sudah membahas tentang menu kuliner, Yessi juaranya. "Mas Asga nitip ayam lodho bakar sama jenang grendol."

"Jenang grendol jam segini sudah tutup." Laras melirik arlogi sudah menunjukkan jam empat sore. Sedangkan warung jenang langganannya hanya berjualan dari pagi hingga siang. "Kalau warung lodho dua puluh empat jam."

"Bentar, aku tanyakan lagi, masih minat apa nggak." Yessi mengambil ponselnya dari dalam clutch. "Kamu dapat salam dari Mas Asga. Katanya, kenapa nggak balas chatnya? Hahahaha."

"Sumpeh deh, kalau Mas Asga tingkahnya tetap kayak gitu, aku pasti beneran dikira selingkuhannya."

Yessi tertawa. "Nggak ada cowok di dunia ini yang nggak demen sama kamu. Termasuk Mas Asga, yang kalau ngelihat cewek pasti fisiknya dulu. Waktu itu, kalau kamu nggak keburu nerima lamaran Damian, terus patah hati nggak sembuh-sembuh, pasti Mas Asga sudah maju."

"Ngawur!" Laras beranjak dari tempat duduknya. Menghindari percakapan yang membuatnya tak nyaman.

Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang