Bagian - 11

2.4K 214 10
                                    

Lima hari berlalu, Laras mengira jika Damian sudah kembali ke Surabaya setelah dua hari pertama tidak berhenti membombardirnya dengan telepon dan pesan yang berhasil Laras abaikan. Namun, tanpa di duga, pagi-pagi sekali kendaraan hitam metalik milik lelaki itu sudah berhenti di depan pagar rumah Laras.

Menghembuskan napas lelah, Laras akhirnya keluar dari rumahnya dan menghampiri mini bus tamu tak diundang itu. Laras mendekati bagian sopir. Bimo yang terjaga langsung menyadari kehadirannya dan buru-buru keluar.

"Mohon maaf, Bu, Pak Damian ingin bertemu Bu Laras sebelum pulang ke Surabaya." Ujar si sopir tampak sungkan.

Laras melongok ke bangku belakang. "Dia lagi tidur?" Tanyanya.

"Iya, Bu. Beliau tertidur saat perjalanan kemari." Jawab Bimo.

Laras mendekati pintu kendaraan di sebelah Damian, dan membukanya. "Damian, bangun!" Panggilnya pelan. Saat kulit mereka bersentuhan , Laras lega karena lelaki ini sudah sembuh dan tidak demam lagi.

Damian berangsur membuka mata. "Hai ...."

"Kamu kenapa berhenti di sini? Kamu sudah ninggalin kerjaan berhari-hari. Sekarang kamu sudah sehat, gih pulang!"

"Kenapa kamu kemarin nggak ke rumah sakit?" Damian protes atas ketidakmunculan Laras. "Padahal kamu sudah janji mau ngerawat aku!" Rajuknya.

Laras berdeham. "Ya kan di sana sudah ada Sita dan ibunya toh. Kebanyakan yang urus kamu malah ribet nanti."

"Kamu pulang katanya mau bikinin aku bubur tapi nggak balik lagi, aku nungguin kamu. Aku bahkan nggak makan sampai besok harinya. Kamu sudah tahu kalau aku nggak doyan makanan rumah sakit, tapi kamu malah ngebiarin aku terus memakannya."

Laras melongo. Bubur yang diterima Sita pada waktu itu apakah tidak sampai ke tangan Damian? Padahal Laras sudah repot-repot membuatnya dan mengantarnya kembali ke rumah sakit sebelum melakukan kerja pasien sore hari.

"Kamu juga nggak angkat teleponku. Pesanku juga nggak ada yang kamu balas. Kamu tega banget." Lanjut lelaki itu merengut. "Sebelum pulang ke Surabaya aku mau sarapan di sini. Aku belum boleh makan sembarangan. Jadi, aku mau bubur buatanmu."

Tidak bisa menolak, Laras pun mengangguk. "Yaudah yuk, aku bikinin dulu."

Mereka bertiga akhirnya beriringan masuk ke rumah Laras. Yang membuat Laras masih tidak habis pikir, kenapa Sita harus menahan bubur buatannya? Apakah bocah itu sengaja melakukannya karena memiliki alasan? Lalu, jika benar, apa yang sedang Sita coba rencanakan dengan tidak menjalankan amanah Laras untuk memberi hasil masakannya pada Damian?

Laras mengira jika Sita tidak akan sepicik itu. Seharusnya bocah itu mengawali hubungannya dengan cara yang baik. Bukan malah membuat kebohongan kecil yang nantinya akan menjadi bumerang. Dasar, Bodoh!

"Kangen banget sama wangi sedapnya!" Damian tersenyum menerima semangkuk bubur di hadapannya. Berbeda dengan Bimo yang sudah lebih dulu sarapan dengan roti tawar dan selai. Saat Laras menawarinya nasi pecel abang-abang yang lewat depan rumah, si sopir beralasan tidak terbiasa makan berat di pagi hari. "Enak banget!" Lanjutnya, saat satu suap sudah selesai ditelan oleh Damian.

"Kamu mau minum apa?" Tanya Laras, tapi akhirnya diputuskan sendiri. "Berhubung kamu belum boleh banyak konsumsi sembarang minuman, aku buatin madu hangat saja. Bagus buat imunitas. Supaya kamu bisa cepat pulih."

"Iya, Sayang. Makasih." Ujar Damian tersenyum.

Laras bertolak pinggang. "Sekali lagi kamu panggil-panggil aku kayak gitu, itu bubur aku ambil lagi, kamu nggak usah makan di sini! Sudah aku bilang jangan memanggilku seperti itu! Nggak pantes, Dam! Kita ini sudah pisah! Kamu harus sadar itu!"

"Oke-oke, sori! Maaf!" Damian terlihat ketakutan dengan emosi lawan bicaranya.

Laras tersenyum miring. Sukurin! Damian tidak boleh seenaknya sendiri!

"Buruan habisin makananmu, dan pergi dari rumahku!" Ujar Laras ketus. Jujur saja, Laras tidak pernah tega melihat wajah memelas lelaki itu. 

"Aku besok ke Jakarta." Gumam Damian di sela-sela mulutnya yang terisi bubur. "Sampai dua minggu. Mungkin aku baru bisa ke sini seminggunya lagi. Maaf kalau nggak bisa sering-sering nengok kamu."

"Astaga!" Kepala Laras pening seketika. "Jangan pernah berpikir bakalan ke sini lagi, Dam!"

"Ya nggak bisa dong! Aku pasti akan terus ke sini." Lelaki itu sudah menandaskan semangkuk bubur, dan kini tengah meneguk madu hangatnya. "Aku pasti kangen banget sama kamu. Terutama sama sikapmu yang jutek itu." Damian beranjak dari kursinya dan mendekati Laras yang masih melongo kesal.

"Aku pulang dulu. Angkat teleponku. Balas pesanku."

Laras terlalu kaget, sehingga membuatnya tidak siap saat mantan suaminya mendaratkan kecupan singkat di keningnya. "Damian!"

Lelaki itu sudah amblas meninggalkan rumahnya. Laras masih belum bergerak dari tempat duduknya. Memikirkan kelanjutan hidupannya nanti. Terlebih ia harus berurusan dengan Tante Hesti yang menghendaki Laras menjauhi mantan suaminya. Menurut Laras, kondisi sekarang jauh lebih rumit dari sebelumnya.

Ternyata Damian memang tidak terbukti berselingkuh. Dan faktanya asumsi Laras sendiri yang sudah menghancurkan rumah tangganya. Laras tidak bisa mengelak rasa bersalah ini. Namun, ia juga tidak mungkin kembali dengan mantan suaminya, meski sikap Damian pada Laras selalu mengarah ke rujuk.

Seperti yang baru saja dikatakan lelaki itu sebelum pulang ke Surabaya. Damian bahkan sudah berencana akan kembali
mengunjunginya saat nanti sudah tidak repot. Laras jelas-jelas tidak bisa menganggap omongan Damian main-main. Di lain sisi, Laras juga tidak mungkin mengabaikan permintaan Tante Hesti yang notabene saudara dekat Yessi. Keluarga mereka sudah sangat baik pada Laras.

"Halo?" Laras segera menggeser tanda hijau di layar ponselnya begitu nama Yessi muncul.

"Damian sudah otw kan?! Aku chat kok nggak dibuka-buka." Tanya Yessi langsung. "Mas Asga dilaporin pencemaran nama baik sama mantan pengacaranya. Emang kampret banget!"

"Hah? Kok bisa?" Laras kaget. Mungkin itu yang membuat Damian buru-buru pulang ke Surabaya dan memberitahunya akan ke Jakarta selama beberapa hari.

"Yang Mas Asga speak up setelah ditangkap itu. Kan dia juga sedikit ngespill tentang mantan pengacaranya yang malah liburan ke Luar Negeri saat kliennya lagi butuh bantuan." Yessi menceritakan kronologisnya.

"Mas Asga ada nyebut nama nggak?" Tanya Laras lebih lanjut. Tidak menyangka jika biasanya kasus-kasus seperti ini hanya akan dilihatnya di media sosial dan televisi, sekarang orang terdekatnya sendiri yang mengalami.

"Ya nggak lah! Jadi Mas Asga itu cuma klarifikasi, tapi yang bantu keluarin dia dari tahanan itu keluarganya sendiri. Karena posisi pengacaranya lagi di Luar Negeri. Gitu doang. Nggak ada sebut nama, dan menggiring opini buruk ke mantan pengacaranya. Tapi kan sekarang netizen sudah pada pinter. Terus bodohnya, mantan pengacara dan istrinya itu sama-sama tukang flexing. Foto-foto mereka pas liburan dihujat sama netizen. Aduh, ngeri banget komen-komennya. Hahahaha. Yang dikatain liburan hasil nodong duit klien. Yang dibilang pengacara nggak becus. Banyak deh."

"Ya ampun, parah! Emang bener kalau dibilang netizen itu hakim paling adil."

"Sekarang hujatannya jadi makin parah. Karena dia sudah berani-beraninya ngelaporin Mas Asga. Damian bilang, ini masalah kecil. Nggak usah terlalu dipikirkan."

"Pantas tadi dia bilang mau ke Jakarta. Jadi mau ngurusin masalahnya Mas Asga?"

"Kliennya Damian nggak cuma Mas Asga, Ras! Dia sebenarnya sibuk banget. Makanya dia kemarin sampai tumbang karena dia baru aja landing, langsung ke rumah sakit, terus antar kamu pulang ke Tulungagung. Sama sekali nggak ada istirahatnya dia."

Sekarang terjawab sudah mengapa tipes Damian sampai kambuh. Ternyata lelaki itu memang gemar sekali memforsir diri. Dan Laras sudah tidak heran.

Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang