Bagian - 9

1.8K 196 2
                                    

Tidak disangka bahwa Damian akan memanfaatkan kelengahan Laras untuk tinggal lebih lama di Tulungagung. Keesokan harinya, Laras harus mendapati Damian demam tinggi entah apa sebabnya. Di luar hujan deras, tapi Damian bahkan sama sekali tidak terkena cipratannya sedikitpun. Atau mungkin karena salah makan, tapi sejauh yang Laras kenal, Damian tidak memiliki alergi dengan makanan tertentu. Atau mungkin Damian memang sudah waktunya sakit, dan kebetulan posisi lelaki itu sedang berada di rumahnya.

Untung saja Laras tinggal di kompleks perumahan yang hampir semua disibukkan beraktivitas di luar. Yang membuat hunian mereka lebih sering kosong. Selain itu para penghuni di sini juga tidak terlalu akrab satu sama lain. Bahkan cenderung cuek dan individualis. Sehingga mereka tidak sempat untuk bergosib, atau lebih ngerinya menyebar rumor yang tidak benar.

"Dam, bangun! Minum obat dulu!" Laras mematikan penyejuk ruangan yang membuat lelaki yang tengah meringkuk di atas kasur itu menggigil. "Kenapa AC-nya dinyalain kalau kedinginan?!"

Damian masih bergeming. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar.

"Astaga, kamu panas banget!" Laras mencoba membantu lelaki itu untuk duduk tapi tidak berhasil. Tubuh Damian terlalu besar dan berat. "Haish, berat banget!"

Akhirnya Laras memanggil Bimo untuk membantunya. "Tolong bantuin aku angkat badannya ya, Pak!" Sementara itu Laras menumpuk bantal untuk dijadikan sandaran.

Saat posisi Damian sudah nyaman, barulah Laras meminumkan obat penurun panas yang sudah ia siapkan di atas nakas.

"Aku ada praktek pagi. Satu jam lagi. Nggak apa-apa kan kalau aku tinggal?" Tanya Laras pada mantan suaminya yang dijawab dengan anggukan lemas. "Kamu mau sarapan pakai apa? Sayur sop? Atau bubur sumsum?"

Lelaki itu menggelang.

"Kamu harus makan, Dam! Gimana bisa sembuh kalau nggak mau makan." Laras menyiapkan sebotol mineral dan minyak angin di atas nakas. Jika sewaktu-waktu lelaki ini butuh minum dan aroma terapi untuk meredakan tidak nyaman di tubuhnya.

"Aku mau tidur aja!" Katanya.

Laras membantu lelaki itu untuk merebahkan diri. "Aku tinggal siap-siap dulu, ya. Paling aku jam sebelas sudah sampai rumah lagi. Kalau kamu nanti lapar, sarapannya sudah aku siapin di meja makan. Kalau nggak ada komplikasi penyakit yang serius, pasti bentar lagi panasmu turun dan sembuh. Kan sudah minum obat." Sebenarnya Laras tidak sampai hati meninggalkan Damian sendiri dalam kondisi kurang sehat. Tapi mau bagaimana lagi, masa cutinya sudah habis. Dan ia sudah terlalu sering cuti. Selain merasa tidak enak dengan atasannya, Laras juga menjaga perasaan rekan dan perawat. Jika diteruskan, mereka pasti menganggapnya tidak profesional dalam bekerja.

Saat Laras masih disibukkan dengan banyaknya pasien yang mengantre, nama Damian Satriyo Wijaya muncul di layar ponselnya. Perawat yang membantunya berhenti sejenak, agar Laras bisa menerima panggilan telepon.

"Kenapa, Dam?" Tanya Laras langsung.

"Mohon maaf, Bu. Ini Bimo." Tapi yang terdengar malah suara si sopir.

"Iya, Pak Bimo. Ada apa? Bos kamu baik-baik saja kan?" Laras mendadak was-was.

"Pak Damian sekarang lagi muntah-muntah, Bu. Beliau baru saja sarapan, tapi tidak berselang lama dimuntahin semua. Katanya perutnya tidak kuat. Mual. Bagaimana ini, Bu?"

Informasi dari Bimo tentu saja membuat Laras sedikit panik. Tapi ia tidak bisa langsung pulang. Kewajibannya di sini masih harus diselesaikan terlebih dahulu.

"Tolong, Pak Bimo bikinin madu hangat. Madunya ada di kulkas ya, Pak. Takarannya dua sendok madu untuk gelas yang semalam dipakai buat minum kopi. Air panas separuh, air biasa separuh. Itu nanti suruh minum dulu ya, Pak. Dan pokoknya jangan biarkan dia kurang cairan. Kalau nanti ada muntah lagi, langsung kasih air putih yang hangat segelas. Saya belum bisa pulang sekarang. Tapi akan saya usahakan secepatnya."

Kondisi Damian membuat konsentrasi Laras terbelah. Kalau Laras boleh menduga, sekarang ini pasti tipes Damian kambuh. Di lihat dari gejala-gejala yang ada. Saat dulu keduanya masih menjadi suami istri, Laras pernah sekali merawat Damian di rumah sakit karena penyakit tersebut. Yang mungkin sekarang mantan suaminya sedang alami.

Dua jam kemudian Laras selesai, dan langsung tancap gas pulang. Sampai di rumah Laras mendapati mantan suaminya terus mengeluarkan isi perutnya.

"Pak Damian kelihatan lemas sekali, Bu." Lapor si sopir. Parasnya tampak takut terjadi apa-apa pada majikannya.

"Sudah selalu dikasih minum kan? Biar nggak dehidrasi." Laras membantu Damian untuk rebah di kasur.

"Sudah kok, Bu."

"Dam, kita ke rumah sakit sekarang, ya." Ujar Laras pada mantan suaminya. "Pak Bimo, tolong koper dan kebutuhannya Pak Damian dimasukkan ke mobil. Kita ke rumah sakit sekarang."

"Opname, Bu?" Tanya si sopir kaget.

Laras mengangguk. "Iya. Dia harus diinfus, Pak."

Damian yang sakit, sangat berbeda saat dalam keadaan sehat. Semalam lelaki ini bahkan masih mengerjainya, tapi pagi hari sekedar mengangkat badan saja tak kuat. Sekarangpun juga begitu. Masuk ke dalam mobil, Damian terus memejamkan matanya hingga sampai di rumah sakit. Lelaki itu tidak melepaskan tangan Laras dari genggamannya.

Tadi saat baru saja sampai rumah, Damian langsung protes, "Kamu ini gimana sih? Aku kan lagi sakit. Harusnya kamu nggak usah masuk kerja! Rawat aku, Ras!"

Jika sudah seperti ini, Laras merasa tujuh tahun perpisahannya menjadi tak berarti. Meski pada awal pertemuan sempat cekcok karena Damian tak terima dituduh dan diceraikan tanpa alasan yang jelas. Tapi nyatanya Damian berhenti dan tidak ingin memperpanjang masalah. Lelaki ini justru mendekati Laras dan memintanya untuk kembali.

Tapi, hanya saja, itu tak mungkin. Mereka sudah berpisah sekian lama. Tujuh tahun itu tidak sebentar. Banyak yang sudah dilalui selama mereka tidak bersama. Jika seorang wanita bisa mencintai pria hingga seumur hidupnya, apakah pria juga bisa melakukan hal yang sama? Rasanya itu tak mungkin. Dan itulah yang membuat Laras tidak kuasa menerima Damian kembali di hidupnya.

"Lepas dulu, Dam. Aku mau ke toilet." Ujar Laras. Saat sudah berada di dalam ruang rawat inap, Damian masih saja terus menggenggam tangannya.

"Jangan lama-lama!" Tegur lelaki itu.

"Toiletmya ada di kamar ini. Tuh!" Laras menunjuk di mana kamar mandi berada. Saat sedang sakit, Damian benar-benar seperti bocah!

Lelaki itu mengangguk lemah sambil melepaskan tangan mantan istrinya. Seolah tidak asing dengan kondisi seperti sekarang. Dalam perjalanan ke rumah sakit, Laras sempat menghubungi ayah dan ibu tiri Damian menggunakan ponsel milik Damian, tapi tidak diangkat. Awalnya Damian sudah melarang. Tapi Laras kekeuh. Laras berpikir akan lebih baik keluarga inti yang mengurus Damian di rumah sakit, bukan malah dirinya yang kini sudah berstatus mantan istri. Ternyata, larangan tersebut bukan karena Damian yang tidak suka dengan ibu tirinya, melainkan memang orang tuanya saat ini sedang tidak berada di Indonesia.

Sebenarnya Laras masih memiliki opsi untuk menghubungi kerabat Damian yang lain. Damian memiliki bibi dan paman, semuanya orang baik. Tapi, Damian sudah terlanjur mengantongi ponselnya. Lelaki itu juga berkata bahwa tidak perlu berlebihan, penyakit yang dideritanya bukan penyakit akut. Sehari-dua hari dirawat pasti juga akan sembuh. Mereka orang-orang sibuk, kalau masih bisa diatasi sendiri, tidak perlu berkoar-koar ke semua orang.

Baiklah, Laras akhirnya menurut. Yang dikatakan Damian benar.

Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang