Bagian - 6

2.2K 207 9
                                    

"Mbak Yessi kan sahabatan sama Mbak Laras, masa Mbak Laras nggak pernah sekalipun curhat tentang Mas Damian?"

Suara lantang di ruangan Yessi membuat Laras harus mengurungkan niat untuk masuk ke dalam. Ia berhenti di depan pintu, mencoba untuk mencuri dengar lebih banyak seseorang yang sudah berani-beraninya membicarakan Laras dari belakang.

"Heh, Bocil! Dengar, ya! Laras curhat nggaknya sama aku, itu bukan urusanmu. Bukan salah Laras juga kalau Damian akhirnya mutusin kamu. Aku bisa pastiin bukan Laras yang menyuruhnya. Itu jelas-jelas ide Damian sendiri. Sudah, sana! Aku masih sibuk! Ganggu aja!" Suara kesal Yessi terdengar jelas di telinga Laras.

"Tapi Mas Damian putusin aku setelah ketemu Mbak Laras, Mbak! Mas Damian jadi berubah sejak kemunculan Mbak Laras. Mas Damian itu laki-laki paling hangat yang aku kenal. Tapi sejak ketemu Mbak Laras lagi, tiap ketemu aku, dia jadi sering ngelamun dan cuek. Orang paling bodoh sekalipun bisa nyimpulin kalau perubahan Mas Damian itu karena Mbak Laras!" Sayang sekali, perempuan cantik dan berpotensi seperti Sita, harus mengalami jatuh cinta terlalu buta. Seharusnya dia cukup fokus pada karir dan menjadi wanita berkelas dengan tidak mendewakan perasaan, maka dengan senang hati lelaki akan mengejarnya.

"Sekali lagi itu bukan salah Laras. Aku kenal Laras, dia nggak punya waktu buat urusin hal-hal remeh kayak gitu!" Yessi berbicara lantang dan yakin. "Ini saranku ya, Sit. Bisa kamu pakai atau nggak, itu terserah. Tapi kalau menurutku, jangan terlalu bucin. Kalian baru dua bulan pacaran kan? Belum yang bertahun-tahun, dan sudah mau nikah, lalu Damian tiba-tiba mutusin kamu? Siapa tahu dia mutusin kamu di usia hubungan kalian yang masih dua bulan itu karena dia ngerasa nggak cocok. Daripada dilanjut dan bikin kualitas hubungan kalian jadi toxic. Lebih baik kalian putus sekarang ketimbang nanti-nanti kamu sudah semakin cinta mati padanya. Sudah, putus cinta itu hal yang wajar. Semua hanya soal waktu. Kalau sekarang kamu ngerasain hatimu sakit dan dadamu sesak itu wajar, karena kejadiannya baru kemarin kan? Lihat saja sebulan lagi, pasti kamu akan menertawakan kebodohanmu hari ini."

"Mbak, sebelum sama Mas Damian aku juga sudah pernah pacaran. Tapi nggak sesakit ini." Bocah satu ini benar-benar ngeyel. Sudah dinasehati oleh Yessi sedemikian rupa tapi masih tidak sadar juga.

"Kenapa begitu? Karena kamu ngarepnya sudah kejauhan. Kalau masih pacaran itu jangan terlalu berekspektasi tinggi." Lagi-lagi Yessi mengatakan hal yang benar. Yessi sudah berada di posisi seorang ibu anak dua, sehingga cara berpikirnya berbeda dengan yang bau kencur seperti Sita. "Sudah, sana, keluar! Aku mau kerja!"

Laras mundur saat pintu ruangan Yessi dibuka dan muncullah wajah Sita yang basah oleh air mata. Gadis itu terkejut saat mendapati keberadaan Laras, tapi tidak mengucapkan sepatah katapun, dan langsung melangkah pergi.

"Ya ampun, aku pikir Sita masuk lagi!" Yessi menghembuskan napas gusar.

"Damian mutusin Sita? Bukan sebaliknya?" Tanya Laras langsung. Kedatangan Laras kemari sebenarnya ingin melabrak Yessi yang sudah lancang memberitahu hotel di mana ia menginap pada mantan suaminya. Tapi kejadian Sita barusan membuat Laras harus mengurungkan niatnya.

"Damian ternyata sudah mutusin Sita dari sebelum acara kemarin. Semalam Mas Asga baru cerita kalau dia risi diteleponin terus sama Tante Hesti. Soalnya Tante Hesti itu nggak tahu waktu banget kalau telepon. Masih di ruang operasi di telepon, masih periksa pasien di telepon."

"Tadi Sita bilang kalau gara-gara ketemu aku, Damian jadi berubah." Laras mengingatkan bagian kalimat Sita yang itu.

Yessi menggeleng. "Itu nggak benar. Damian itu sebenarnya sudah dari lama mau putusin Sita tapi belum nemu momen yang pas."

Laras mengerutkan kening. "Dari mana kamu bisa tahu semua ini sih?! Kamu nggak selalu berkomunikasi dengan Damian kan?!"

"Sudah aku bilang kalau aku dan Mas Asga, sekarang cukup dekat sama Damian. Bisa dikatakan kami bertiga bersahabat." Yessi pasti salah bicara. Mana mungkin Yessi bisa mengatakan bahwa bersahabat dengan Damian? Laras pasti sudah salah mendengarnya.

"Sejak kapan kamu jadi sahabatnya Damian?! Hah, nggak masuk akal sekali." Gerutu Laras.

"Ras, kenapa sih kamu nggak coba kasih kesempatan Damian lagi?" Yessi beranjak dari kursi meja kerjanya dan mendekati Laras yang duduk di sofa.

"Astaga, jadi Damian sudah cerita ke kamu tentang kedatangannya semalam di hotelku? Kalian?!" Laras rasanya ingin memgumpat. "Jadi kalian memang sudah merencanakannya?!"

"Kalau nggak gini kamu nggak bakalan datang ke Surabaya kan? Baiklah aku jujur. Damian nggak mau dibayar. Aku anggap saja dia sudah terlalu kaya jadi pekerjaannya sebagai pengacara itu lebih banyak suka relawan. Tapi aku sama Mas Asga nggak bisa tinggal diam dong. Bagaimanapun juga, Damian sudah bantu kasus ini sampai tuntas. Harusnya ada imbalan yang patut dia terima." Yessi menarik napas sejenak dan lanjut bicara. "Kalau sebelumnya aku bilang ke kamu, Damian sudah menjelaskan kronologis pertemuannya bersama Silviana pada Mas Asga. Namun sebenarnya, akulah yang sudah paksa Damian untuk bercerita. Aku penasaran kenapa Damian begitu baik pada kami, tapi tidak sama istrinya sendiri? Dan bahkan dia berselingkuh."

"Terus?!" Laras tidak sabar untuk mendengarkan kelanjutan omongan Yessi.

"Dia kaget banget pas aku tanya begitu!" Lanjut Yessi.

"Tapi semalam dia bilang kalau kamu nggak jadi mengajaknya bicara?!"

"Itu karena aku yang minta. Aku pengin dia pura-pura nggak paham apa-apa. Sori, ini aku lakukan demi kamu, Ras." Yessi menggeser pantatnya lebih mendekat pada Laras. "Kembali ke Surabaya, ya. Aku tahu kamu kesepian di sana. Please, sudah cukup kamu menyiksa diri karena ulahku. Aku minta maaf, Ras."

"Jangan terus-terusan minta maaf dan nyalahin diri begitu!" Bentaknya. "Kamu nggak salah. Aku yang nggak bisa jaga emosiku. Saat itu kamu hanya ingin melindungiku dari kelakuan Damian. Dan itu sikap yang wajar dilakukan seorang sahabat. Semua kembali lagi ke aku. Jadi, bukan salahmu."

"Tapi kamu nggak akan minta cerai kalau aku nggak kasih tunjuk Damian di hotel sama Silviana!"

"Aku sudah menganggap itu sebagain dari perjalanan hidup. Takdir. Memang sudah ditetapkan aku bakalan mengalami ujian rumah tangga yang pahit. Semua sudah atas izinNya!" Laras menunjuk ke atas di mana Tuhannya berada. "Aku bisa bertahan hingga detik ini juga nggak lepas dari pertolonganNya! Sekarang ini aku hanya mengikuti arus takdir saja, Yess. Apapun yang aku kerjakan, aku serahkan pada yang di atas!"

"Termasuk soal Damian? Dia cinta banget sama kamu, Ras."

"Apapun itu! Manusia nggak bisa mengatur Tuhan kan? Tuhan yang mengatur manusia. Posisiku sekarang sudah berada di tahap itu."

"Apa kamu nggak pengin nikah lagi dan punya anak lucu-lucu? Punya keluarga, biar kamu nggak terus sendiri?" Yessi kekeuh.

"Kita mati akan sendiri loh, Yess. Anggap saja sekarang aku lagi mempersiapkan diri untuk itu!"

Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang