Bagian - 14

2.7K 207 15
                                    

Yessi dan Damian benar-benar sudah bersekongkol untuk semua ini. Laras menolak kembali ke rumah yang ditawarkan Damian, tapi ia dipaksa untuk tinggal bersama orang tua Yessi. Seolah hidupnya di Surabaya hanya ada dua tujuan tersebut. Laras tidak bisa menghindar saat Bimo menurunkan dirinya di pelataran rumah orang tua Yessi dan keluarga besarnya terutama Tante Yunis, bahkan sudah menunggu kehadirannya di teras rumah. Astaga, tidak ada yang lebih lucu daripada ini.

"Selamat kembali ke rumah anak Tante yang cantik ini!" Tante Yunis langsung menarik Laras ke dalam pelukan. Menepuk-nepuk pelan punggung Laras seperti yang biasa dilakukannya untuk menunjukkan kasih sayangnya. "Tante kangen banget sama kamu."

"Lebay! Baru juga dua bulan lalu ketemu!" Potong Yessi menyela. Mengambil alih tangan Laras dan keduanya lantas melakukan cipika-cipiki. "Ma, lihat deh! Laras makin seksi! Bikin kesel aja!"

"Salah sendiri kamu makannya rakus! Apa aja dimasukin ke mulut!" Sahut Tante Yunis. "Yuk, yuk, masuk ke dalam!"

Sementara itu Bimo dan beberapa orang yang bekerja di rumah orang tua Yessi sibuk memasukkan barang-barang bawaannya ke dalam. Tante Yunis sudah menyiapkan kamar khusus untuk Laras, dan harus diakuinya berhasil membuat Laras terharu.

"Kalau bukan sama kamu, mana mungkin Mama seeffort ini ngerenovasi ruangan buat kamarmu." Celetuk Yessi.

"Tante, terimakas kasih." Laras menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan haru. "Tante sudah repot-repot."

Tante Yunis kembali merangkul pinggang Laras dan berucap, "Ini juga rumah kamu. Pulang ke sini jadi pilihan terbaik, Nak."

"Tahu nggak, Mama sudah nyiapin ini dari kamu pulang dua bulan lalu. Makanya aku ikutan kesel pas kamu milih nginap di hotel." Lanjut Yessi bersungut.

"Ya sudah, kamu istirahat dulu. Kalau mau ke toilet atau ngapain gitu. Tante tinggal siap-siap di dapur ya. Kita makan siang sama-sama." Tante Yunis lalu meninggalkannya sendiri bersama Yessi di dalam kamar yang sekarang sudah resmi menjadi kamar Laras.

"Kenapa itu ada fotoku segala sih?! Berasa benar-benar kamarku deh!" Laras melihat foto yang terpajang di tembok. Foto saat Laras melakukan sumpah dokter. Entah, Yessi mendapatkan foto ini dari mana. Oh, Laras baru ingat, fotografer yang disewa Yessi saat acara tersebut juga ikut mengabadikan gambar Laras.

"Harus dong! Lihat itu juga!" Yessi menunjuk pigura kecil-kecil yang diletakkan di atas nakas. Foto-foto acak Laras dan Yessi saat nongkrong dan banyak momen lain. "Sebangga itu aku jadi sahabatmu!" Gumamnya sinis.

"Makasih!" Tidak ada yang bisa Laras katakan selain ini. Sejauh ini, hanya Yessi dan keluarganya yang selalu siap merangkul Laras di kondisi terburuk sekalipun.

"Begini saja sudah bikin kamu terharu kan?!" Yessi tertawa. "Disuruh balik ke istana nggak mau. Emang agak gesrek otakmu, Ras."

Laras menatap tajam Yessi. "Kalian sekarang suka main belakang, ya!"

Yessi melotot. "Main belakang gundulmu!"

"Apa coba kalau bukan main belakang?! Kalian rencanain semua ini di belakangku." Laras merebahkan diri di sofa yang sudah tersedia di kamarnya. Kamar ini benar-benar luas. Bisa dikatakan dua kali lipat dari kamar Laras di Tulungagung.

"Itu karena kami perduli sama kamu!" Yessi juga melakukan hal yang sama. "Damian sama Mama sih yang lebih banyak mikirin kamu. Aku sih bodo amat! Sudah tua juga pasti bisa urus dirinya sendiri."

Laras menghela napas. "Andai Damian dan Tante Yunis bisa berpikir sepertimu."

"Kalau Damian bersikap seperti itu kan karena masalah perasaan. Sedangkan Mama, melakukannya karena emang sayang sama kamu! Yang kata dia sudah anggap kamu anak dewe! EW, males banget dengarnya."

Tiba-tiba Laras teringat sesuatu. "Yess, minggu lalu Sita datang ke Tulungagung. Ke rumahku."

Paras Yessi langsung serius. "Sita datangin kamu? Minggu lalu? Kok kamu baru bilang sekarang?"

"Aku emang sengaja nunggu kabar dari keluarga besarmu. Kalau apa yang dikatakan Sita benar, keluarga besarmu pasti sudah geger."

"Dia ngomong apa sih?! Buruan, jangan bikin aku penasaran dong!" Yessi tak sabar.

"Dia bilang sudah ditidurin Damian. Dan sekarang dia lagi hamil." Ungkap Laras jujur. "Aku nggak paham dia bisa bikin karangan seperti itu terinspirasi dari mana. Mungkin karena dia sering scroll tiktok." Laras tertawa. "Mungkin Damian memang sudah tidur sama dia. Tapi Damian nggak sebodoh itu sampai menghamili anak orang. Seperti yang kamu bilang, dia itu manipulatif dan sangat menjunjung tinggi harkat martabatnya."

"Astaga, Sitaaaa! Astaga, astaga!" Yessi langsung menyembunyikan wajahnya di kesepuluh jemarinya. "Jancok! Isin tenan aku nduwe dulur koyo dekne!" (Malu aku punya saudara seperti dia!)

Laras hanya mengendikkan bahu.

Lalu Yessi menatap Laras sambil mengiba. "Please, Ras, soal ini jangan sampai Damian dengar. Malu, Ras! Mau ditaruh di mana muka keluargaku. Apalagi kalau sampai masuk di telinga keluarga besarnya Damian. Mati aku, Ras! Bisa dituntut kami semua atas pencemaran nama baik." Yessi tampak ketakutan dan bersungguh-sungguh saat mengatakannya. "Kamu, belum ngomong sama Damian kan?" Tanyanya lirih.

"Nggak akan! Nggak penting juga!" Laras beranjak dari tempat duduknya menuju kamar mandi. "Aku mau bersih-bersih dulu. Keburu ditunggu Mamamu buat makan siang!"

"Aku harus nyamperin Sita. Anak itu harus diplester mulutnya supaya nggak bikin ulah lagi!" Yessi melanjutkan topik saat Laras baru saja keluar dari kamar mandi.

"Santai kenapa sih?!" Celetuk Laras. "Yang sengaja dia usilin itu kan aku. Kalau dia nggak berhasil ngusik aku, ya sudah toh, nggak usah diperpanjang. Dia saudaramu loh. Jangan sampai ada gosip di luar keluarga besarmu nggak akur."

"Kisruh sama Sita nggak masalah ketimbang harus perang sama keluarga besar Damian." Sambar Yessi. "Sejak kasusnya Mas Asga, aku jadi berasa punya penyakit jantung tahu nggak sih?! Kalau Sita berulah lagi. Dan nyampe di telinga salah satu keluarga Damian, tamat riwayat kami semua!"

"Nggak usah berlebihan gitu!" Tegur Laras.

"Apanya yang berlebihan sih?! Kamu lupa kalau mantan mertuamu pemilik pabrik rokok terbesar di Indonesia?!" Bentak Yessi dengan nada rendah.

Laras mendekati Yessi yang panik. "Damian nggak akan terpancing sama masalah remeh begini, Sist."

"Tapi aku harus tetap ngomong sama Sita." Putus Yessi final. "Aku nggak pernah larang dia dekatin Damian. Meskipun aku tahu Damian nggak tertarik sama Sita. Tapi harusnya Sita bisa melakukannya dengan cara bener. Nggak murahan seperti itu!"

Terserah. Tidak ada yang bisa mencegah Yessi. Lebih baik Laras melangkah keluar kamar, menuju dapur rumah ini. Di sana ia mendapati Tante Yunis bersama dua asisten rumah tangga sedang berkutat membuat sesuatu. Laras mendekati meja makan yang sudah terhidangi banyak menu masakan dan camilan.

"Sebenarnya belum siap, tapi pasti kamu sudah lapar banget." Ujar Tante Yunis menggiring Laras untuk duduk di kursi. "Kamu duduk saja. Semua sudah diurus sama Mbak-Mbak."

Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang