Bagian - 2

2.5K 266 18
                                    

"Ras!" Panggil Yessi.

Laras masih fokus dengan tayangan yoga di layar iPad. Posisi mereka sudah berpindah dari klinik ke rumah. Laras yang seharusnya masih ada jadwal kerja pasien di malam hari, harus menghubungi rekannya agar menjadi badal.

"Ras, sebenarnya, niat aku datang ke Tulungagung hari ini bukan semata-mata karena ulang tahunmu. Ada hal lain yang lebih penting, dan kamu wajib tahu."

Barulah Laras mengangkat kepalanya, menatap Yessi. "Kamu kalau mau ngomong biasanya nggak butuh intro." Sindirnya.

Yessi meringis. "Soalnya ini agak sensitif. Dan mungkin bisa bikin kamu kepikiran lagi."

Laras menutup iPadnya, diletakkan di atas meja, lalu beralih ke sosok tamu yang baru saja mengatakan niatnya untuk mengobrol serius.

"Kamu tahu kan, keluargaku terkena musibah hampir dua tahun nggak kelar-kelar. Pengacara yang dikasih kepercayaan buat urus kasusnya Mas Asga malah sengaja manfaatin kami. Minta dibayar di awal, sudah diturutin tanpa nego. Dan itu nggak murah loh. Tapi kerjanya cuma leha-leha. Waktu itu Mas Asga pernah ditahan di rutan selama tiga hari, kami sekeluarga panik, pengacaranya malah liburan ke luar negeri. Tiket pesawatnya aja bisnis class, Mas Asga yang pesanin. Mas Asga nggak nyangka kalau sehari setelah pengacaranya berangkat, dia ditangkap. Sama Papa pengacaranya dihubungi susah banget. Intinya, bukan pengacaranya yang berhasil ngeluarin Mas Asga, tapi kami sekeluarga yang pontang-panting sendiri."

Dua tahun yang lalu, Asga, kakak Yessi yang berprofesi sebagai dokter obgyn terkena kasus malpraktik. Keluarga pasien yang seorang pejabat daerah tidak terima dan membawa kasus tersebut ke jalur hukum. Menurut Laras, yang sama-sama berprofesi sebagai tenaga medis, tercabutnya nyawa saat proses operasi berlangsung itu bisa saja terjadi. Laras yang berada di ruang lingkup keluarga Yessi cukup mengenal bagaimana kredibilitas Asga. Jadi, seratus persen Laras meyakini bahwa semua ini murni takdir. Bukan seperti yang dituduhkan. Hanya saja, mungkin, yang mengkasuskan permasalahan ini hadir dari keluarga orang berpengaruh, sehingga cukup alot untuk diselesaikan. Keduanya sama-sama kuat.

"Kamu tahu sendiri gimana pinternya Mas Asga. Dia lulusan terbaik. Nggak seperti yang dituduhkan sama mereka, yang kalau bukan karena orang tuanya punya rumah sakit, nggak mungkin anaknya bisa jadi dokter spesialis. Ketikan mereka di kolom komentar instagram rumah sakit jahat banget. Aku sampai kena mental loh, Ras!" Yessi membuang napas gusar. "Ditambah lagi masalah dengan pengacaranya. Kami sudah terdzolimi dengan kasus tersebut, masih saja dimanfaatin. Nggak habis pikir, di mana hati nuraninya?!"

Laras paham apa yang dirasakan sahabatnya ini. Kasus yang menimpa keluarganya tidak sepele, ditambah dengan permasalahannya dengan pengacara yang sengaja memanfaatkan situasi tersebut untuk mencari keuntungan. Namun bersyukur, sekarang, kasus Asga sudah SP3. Dua bulan yang lalu Yessi mengirim foto sosok pengacara yang sukses memenangkan kasus kakaknya.

"Semua sudah kelar. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan lagi." Ujar Laras sambil menyodorkan tisu pada wanita di sebelahnya. "Tuhan itu adil. Yang benar pasti menang."

"Ras, hem, sebenarnya, bukan itu inti yang pengin aku bahas."

Laras mengerutkan kening. Tidak biasanya Yessi yang terkesan percaya diri terlihat gugup dan bingung dengan apa yang akan diungkapkan padanya. "Mau ngomong apa sih?!" Laras mendesah, Yessi belum juga membuka suara. Segala asumsi segera memenuhi kepalanya. "Yess, aku sudah sering bilang kalau aku nggak bisa sama Mas Asga. Please, jangan paksa. Aku sudah anggap Mas Asga seperti kakak sendiri. Aku harap Mas Asga juga bakalan begitu."

"Bukan itu, Ras!" Yessi buru-buru meluruskan. "Aku ... mau ... ngomongin tentang Damian."

Sejenak, Laras menahan napas. "Kenapa sama dia?"

"Sejak Damian jadi pengacaranya Mas Asga, kami jadi sering mengadakan pertemuan untuk membahas masalah ini. Intensitas pertemuan yang semakin sering, membuat kami sekeluarga mengenal kepribadian Damian. Terlebih Mas Asga, hampir setiap hari di luar jam kerja, sekarang ini nongkrongnya pasti sama Damian. Satunya single, satunya duda, sama-sama nggak punya istri, itu yang bikin keduanya cocok karena punya banyak waktu buat nonkrong."

"To the point saja, Yess!" Sela Laras tak sabar.

Yessi salah tingkah. "Ras, ya ampun, aku ngerasa bersalah banget sama kamu. Beberapa bulan ini aku kepikiran banget, jangan-jangan, tindakanku ngasih tunjuk kamu tentang Damian sama mantan pacarnya di hotel waktu itu salah. Aku sudah bikin rumah tanggamu sama Damian hancur. Gimana ini, Ras? Gimana caraku nebus kesalahanku?"

Laras melotot bingung. "Kamu ini ngomong apa sih, Yess?! Kok jadi ngelantur gitu?!"

"Kalau saat itu, aku nggak gegabah ngasih tunjuk Damian lagi jalan berdua sama mantan pacarnya, pasti sekarang kalian masih bareng. Kalian hidup bahagia bersama dengan anak-anak kalian. Tapi aku terlalu ceroboh. Aku sudah terlanjur antipati di awal sama Damian. Citra seorang Damian sudah terlanjur rusak di mataku. Padahal aku nggak benar-benar mengenalnya. Kebiasaan burukku yang selalu menilai orang dari luar." Napas Yessi terembus pendek-pendek. "Dengan adanya kasus kemarin, menjadi titik balik, bahwa aku nggak boleh seenaknya saja menuduh orang tanpa mendengar penjelasannya terlebih dahulu. Ini teguran dan karma buatku, Ras, karena sudah berasumsi buruk tentang Damian dan membuat kamu terprovokasi."

Laras menggeleng-gelangkan kepalanya. "Tadi kamu pas perjalanan dari Surabaya ke Tulungagung sempat mampir ke mana dulu sih? Kok jadi kesambet begini?"

"Ras, aku seriuuuus! Aku benar-benar ngerasa bersalah sama kalian. Dan kamu tahu, ternyata kejadian yang kita lihat waktu itu nggak seperti yang kita pikirkan. Mantan pacarnya itu benar-benar kliennya Damian. Mereka ketemu di restoran untuk membahas soal kasus yang dialami Silviana. Terus ada kejadian di restoran, waktu itu kita lihat ada anak kecil nyamperin mereka kan, itu keponakannya Silviana, dan nggak sengaja numpahin minuman ke celana Damian. Karena masih ada banyak hal yang harus mereka bahas, dan Damian butuh ganti celana, akhirnya mereka memutuskan ke hotel yang nggak jauh dari restoran. Di hotel, mereka juga nggak hanya berdua. Silviana menginap di sana sama kakak dan iparnya yang sudah punya anak tadi."

Tentu saja informasi yang dilontarkan Yessi membuat Laras langsung membeku. Jantungnya berdetak kencang. "Kamu gimana bisa tahu detailnya?" Gumam Laras lemas.

"Semua karena Mas Asga." Jawab Yessi.

"Bisa saja dia bohong. Kamu bilang kalau dia laki-laki manipulatif. Itu cuma alasan supaya nama dia di mata Mas Asga dan keluargamu nggak tercoreng." Laras berusaha konsisten dengan yang ia pikirkan tentang mantan suaminya.

"Secara nggak langsung, Ras. Mas Asga juga nggak sekepo itu. Cara curhatnya cowok berbeda dengan cewek. Tapi Mas Asga bisa nyimpulin kalau Damian bersih. Dia nggak sama wanita manapun di belakangmu saat kalian masih menikah. Boleh saja dulu dia gonta-ganti pacar, tapi saat sudah berkomitmen sama kamu, dia nggak lagi main-main di luar."

"Jangan gampang percaya! Laki-laki manipulatif punya seribu satu karangan cerita hidupnya agar tetap terlihat sempurna."

"Ras, ya ampun, Ras! Nggak seperti itu, Ras!" Tahan Yessi. "Seperti yang aku katakan tadi, kalau aku punya kebiasaan buruk nilai orang dari luar, tanpa benar-benar mengenalnya. Aku ngerasa sangat berdosa karena sudah ngatain dia manipulatif."

"Sudahlah, Yess! Sekarang ini kamu masih di euforia kagum sama dia karena sudah berhasil menangin kasus Mas Asga. Di matamu yang tadinya iblis, dia berubah jadi sosok malaikat. Itu wajar. Aku bisa ngerti. Sudah, nggak usah dibahas lagi. Aku malas ngomongin masa lalu."

Paras Yessi tampak frustasi. "Harus dengan cara apa aku menebus kesalahanku pada kalian?"

Celah Yang Tak Tampak (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang