AI-34. Ditemukannya Sang Buah Hati

109 12 10
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Semua ada masanya. Jadi bersabarlah atas setiap proses pahit yang harus dijalani saat ini. Teruslah berprasangka baik. Barang kali kebahagiaanmu sedang ditenun dengan apik."

~Assalamu'alaikum, Islam~

-Happy reading!"

☪️☪️☪️

"Ini ... Ustadzah Fatin, ya?"

Tidak langsung menjawab, mata Fatin terlebih dahulu mengamati dengan seksama wajah lelaki berlesung pipi di depannya saat ini.

Wajahnya seperti pernah tersorot oleh mata, tapi di mana?

Sistem di otaknya belum bisa memberikan informasi yang tepat meski dirinya terus berusaha untuk mengingat.

Ingatannya masih remang-remang.

Sedangkan Arzan yang mengerti maksud dari ekspresi bingung perempuan berhijab segiempat syar'i warna maroon di depannya, dia lekas menjelaskan.

"Saya pemuda yang waktu itu terciduk ikut berteduh di MDA. Ustadzah Fatin masih ingat?"

"Berteduh di MDA?"

"Iya, dan setelahnya saya juga sempat mengantarkan Ustadzah untuk pulang," jelas Arzan tanpa meluruhkan senyum di wajahnya.

Setelah diberikan clue yang cukup meyakinkan, barulah ingatan Fatin terkumpul. Dia menatap Arzan dengan sumringah.

"Maa syaa Allah, iya-iya. Sekarang saya ingat. Maaf tadi saya sempat lupa."

"Tidak apa-apa, Ustadzah."

"Panggil saya Ibu saja, sepertinya kamu kesulitan saat mengucapkan kata Ustadzah, ya?" tebak Fatin.

Arzan menyengir. Memang benar, lidahnya terasa kelu saat menyebutkan panggilan itu. Dan panggilan Ibu terasa nyaman saat diucap.

"Ibu sedang membeli nasi?"

"Iya, Nak."

Arzan mengangguk-angguk. Tidak lama dari sana, segerombolan pekerja proyek nampak bangkit dan bersiap-siap untuk meninggalkan warung. Sebentar lagi mereka akan melintas di depannya.

"Eh, kalian mau ke mana?" tanya Arzan membuat salah satu di antara mereka langsung menyahut.

"Kami sudah selesai makannya, Pak. Kami izin kembali lagi ke lokasi bangunan."

"Oh, ya sudah. Nanti kalo ada yang namanya Ahsan datang mencari saya, tolong beritahukan saya sedang di sini, ya."

"Siap, Pak."

Setelah itu Arzan mempersilahkan mereka beranjak.

Berhubung tempat di sana sudah kosong, dan kue balok pemberian dari Rama tidak bisa membuat perutnya kenyang dalam waktu lama, Arzan memutuskan untuk ikut makan di sana juga.

Padahal niatnya ke sini untuk membeli gorengan saja, tapi gorengan plus nasi dan lauk pauk yang lain sepertinya harus ikut masuk ke dalam perut.

Sebelum memesan, ia kembali menoleh pada Fatin yang baru selesai membayar. Dia berkata ragu-ragu.

"Ibu, jika tidak keberatan, Ibu mau menemani saya untuk makan di sini?"

Pertanyaan dari Arzan membuat Fatin terdiam sejenak. Pemuda ini mengajaknya makan bersama?

Di sini?

Ia menimbang-menimbang apakah harus menerima tawaran dari pemuda itu atau tidak.

Namun saat melihat ekspresi penuh harap yang tersemat di wajahnya, membuat Fatin tidak tega untuk menolak.

Assalamu'alaikum, IslamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang