AI-37. Sosok Panutan Bagi Arzan

95 16 5
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Beruntung itu ketika seseorang bisa melihat keindahan islam dari gerikmu, sopan tutur katamu, baik perilakumu, serta rasa aman yang timbul dari adab yang kau punya dan senantiasa kau berikan pada mereka tanpa pandang bulu.  Dan berkat orang-orang seperti inilah yang membuat esensi islam semakin terasa di hati sanubari. Mereka menebarkan eloknya kedamaian di muka bumi."

~Assalamu'alaikum, Islam~

-Happy reading!-

☪️☪️☪️

Beberapa hari berlalu sejak Arzan mengetahui bahwa Fatin merupakan Ibu kandungnya. Dan selama itu pula, ia belum mendapatkan jawaban dari pertanyaannya yang ingin tahu mengapa Papinya dan Fatin bisa bersama padahal keduanya berbeda agama?

Fatin memilih tutup mulut karena menganggap Edwin sendirilah yang lebih pantas menjelaskan perkara ini pada Arzan. Mengingat, apa yang sudah dilakukannya itu terbilang cukup sensitif. Yakni berpindah keyakinan. Dan dia tidak mau menciptakan sesuatu yang dapat menimbulkan kekecewaan di hati Arzan hingga ia bertindak berontak nantinya.

Namun akibat ketidakterbukaan itu, membuat Arzan yang belum tahu pasti alasan mengapa dulu kedua orang tuanya bisa bercerai jadi berpikir, apakah alasan mereka berpisah itu karena baru sadar bahwa hubungan antara keduanya tidaklah benar? Memaksakan diri untuk menikah, padahal sudah jelas dalam agama masing-masing ada aturan yang melarangnya.

Hingga akhirnya, dari hubungan terlarang itu lahirlah dirinya ke muka bumi. Seorang anak yang tumbuh dalam ketimpangan kasih sayang.

Usai menempuh perjalan sekitar 2 kilometer pada malam hari, saat sudah memarkirkan mobilnya di parkiran, Arzan keluar untuk menghirup hawa dingin dan menutup pintu mobilnya dengan perlahan. Setelahnya ia meninggalkan parkiran yang suasananya sedikit remang dikarenakan lampu di sana memang sengaja disetting kurang terang.

Begitu meninggalkan mobilnya beberapa langkah, terlihat Rowena yang tadi langsung keluar rumah saat mendengar suara mobil Arzan memasuki pekarangan.

Wanita berambut pendek bertanya khawatir.

"Ar, kenapa kamu pulang larut sekali? Mami tadi sempat telpon ke kantor katanya hari ini kamu full di luar. Mami pikir jika bekerja di lapangan kamu akan pulang cepat, tapi kenapa malah terlambat seperti ini?" cecar Rowena sembari mengikuti langkah Arzan yang terus berjalan ke dalam rumah.

Tanpa menoleh laki-laki itu menyahut. "Tadi aku ada urusan, Mi."

"Urusan apa?"

"Urusan--"

Arzan menghentikan langkah saat sadar dia telah membuat Rowena kewalahan mengejar langkahnya yang cepat dari parkiran sampai ke dalam rumah. Bahkan suara napas Rowena yang terengah-engah bisa terdengar jelas di telinga. Ibunya sudah tidak lagi muda. Berjalan dengan tempo secepat itu pasti membuatnya lelah.

Dia jadi merasa sangat bersalah. Alhasil Arzan mengajak Rowena duduk di sofa ruang keluarga lalu menatapnya seraya berkata tidak enak.

"Maafin aku, Mi. Aku udah bikin Mami khawatir."

"Jangan diulangi." Rowena mengelus rambut Arzan yang kini tengah berbaring di sofa berbantalkan pahanya.

Untuk sejenak, mereka sama-sama terdiam. Rowena fokus memandangi wajah putranya yang akhir-akhir ini jarang berada di rumah meskipun sedang tidak pergi ke kantor. Sedangkan Arzan sendiri menatap lurus pada langit-langit rumah yang berwarna putih keabuan.

Assalamu'alaikum, IslamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang