"DESNATA CATALEYA!"
O h t i d a k !
Seolah baru saja berbaring tidur lalu terlelap ke alam mimpi beberapa menit lalu, suara teriakan mamanya menggema sudah di telinganya. Memecah paginya yang damai. Pagi? Tidak juga, malah tidak bisa disebut pagi. Ini sudah jam setengah sebelas siang ketika Nirina, mama Desna, berteriak memanggilnya.
"Hm?" gumam Desna seraya menggelinjang di atas tempat tidur. Matanya masih urung melek juga ketika derap suara seseorang sangat keras menginjak tangga rumahnya. Biarpun gadis itu masih merelakan nyawanya di alam bawah sadar, namun Desna tahu persis. Itu langkah Nirina sedang marah.
"Apa?!"
Dalam satu sentakan nafas, Desna langsung berdiri di samping tempat tidurnya. Nirina marah?! Oh tidak tamat sudah hari-hari tenangnya berhari-hari ke depan. Tanpa peduli rasa pusing karena tiba-tiba berdiri, gadis itu melangkah gontai keluar. Setelah acara Satnite di atap rumah semalam, ke empat teman lelakinya memutuskan pulang ketika waktu tepat menunjukkan pukul satu pagi, sementara Meta, Ira, dan Rahma baru pulang jam delapan tadi setelah acara rutin sarapan bersama keluarga Perwira. Dan setelah itu, Desna memutuskan kembali terlelap.
Cklek!
Gadis itu nyaris terjungkal ke belakang begitu pintu kamarnya sempurna terbuka. Persis di depannya, Nirina berdiri dengan penampilan menyeramkan. Khas ibu-ibu mengamuk tentu saja. Tangannya tergerak untuk menyambar pintu berwarna putih itu namun begitu saja di tepis Nirina. Matanya sempurna melotot.
"Mau kemana, huh? Ikut Mama ke bawah!!"
"Aduh, Mam, jangan jewer telinga Desna kenapa!" sungut gadis itu. Nirina tidak peduli, tangannya masih menarik telinga kiri putrinya hingga menuruni tangga. Dan saat ini, ia berada tepat di depan rumah. Dava, papanya, sudah berdiri memunggungi mereka. Pria itu tengah sibuk memeriksa sesuatu dengan teliti dan serius. Sedangkan Desna tahu persis apa yang tengah dipikirkan kedua orang tuanya tapi ketika ia hendak kabur, jeweran pada telinganya semakin kencang. "Aw! Sakit, Ma! Aduh!"
"Jelasin sama Mama sama Papa kenapa mobil ini bisa lecet parah kaya gitu? Kamu main kebut-kebutan di jalan?!" semprot Nirina dengan suara tinggi dan dalam satu hembusan nafas.
"Nggak, Ma!" Desna menunduk.
"Kamu tahu, Desna, biaya memperbaiki goresan panjang dan dalam kaya gitu berapa?" kali ini suara Dava yang terdengar. Pelan tapi jika suara itu sama dengan pisau maka saat ini gendang telinga Desna pasti sudah berdarah-darah.
Sudah saya duga pasti seperti ini! Sialan! Gumam Desna dalam hati. Emosi.
"Papa kok malah nanyain biaya mobil sih? Ish, sama sekali nggak nanyain keadaan Desna! Gimana coba kalo Desna kenapa-napa!"
"Tapi kan kamu nggak apa-apa!" jawab Nirina.
"Ah, Mama!" gerutunya. "Ah.. aduh! Iya iya Desna salah! Lepasin dong, Mam! Sakit telinga Desna!"
Tarikan pada telinga kiri Desna terlepas juga namun tidak dengan pelototan mamanya. Ia meringis.
"Bukannya Papa nggak peduli sama keselamatan kamu, Desna!" ucap Dava tegas. "Tapi kan Papa sudah berkali-kali ingatin kamu, jangan main balapan di jalan!"
"Iya, Pa, maaf." Menunduk. Mengerucutkan bibir. Menyumpah-nyumpah orang yang seenak hatinya membuat mobilnya seperti itu.
Dava menghela nafas. Percuma saja menasihati gadis satu-satunya itu. Sifatnya sama persis dengannya. Keras kepala. "Sekarang jelasin kenapa bisa sampai kaya gini?"
"Kemarin sore waktu Desna mau masuk parkiran Pusat Perbelanjaan, nggak sengaja nabrak.. orang," jawabnya skeptis. Desna ragu apakah ia benar-benar menabrak orang atau tidak. "Terus pas Desna ngalihin setir eh malah kena palang pembatas di depan pintu."