4

251 27 5
                                    

Desna menggigit dan merobek tiga helai sekaligus roti tawarnya dengan raut malas. Tidak ada yang berubah dari keputusan orang tuanya meskipun ia nyaris terdampar di rumah sakit jiwa kemarin.

"Pa, dompet Desna kosong, kalo Desna besok kelaparan gimana?" rajuknya masih dengan aktifitas sama.

"Apa susahnya menahan selama seminggu, Desna? Kamu harus belajar bersyukur, belajar hidup sederhana itu perlu bla..bla..bla"

Desna sudah tidak mendengar lagi apa yang Nirina katakan. Intinya tetap saja, keputusan orang tuanya tidak bisa diganggu gugat. Titik! Apalagi jika seorang Dava Perwira sudah 'memukul palu', tidak ada yang bisa membuat pria itu menarik ulang keputusannya.

Tin! Tin!

Ia tersenyum lebar ketika suara klakson mobil Meta sudah menyeruak ke pendengarannya. Ia menatap sumringah Papa-Mamanya. "Ya udah sementara ini dompet itu lupakan aja asal Desna nggak naik angkot lagi, daah!"

Ia berlari setelah meneguk sembarangan susu cokelatnya sementara Nirina menatap Dava penuh tanya sementara pria itu janya mengedik. Akhirnya mereka berdua ikut keluar memastikan siapa yang menjemput putri semata wayangnya itu.

"Mam! Desna berangkat!" teriak gadis itu seraya membuka pintu penumpang depan.

"Desna! Tunggu! Mama mau bicara sebentar! Satu menit!" teriak Nirina dari dalam. Mau tak mau gadis itu mengurungkan niatnya untuk satu menit ke depan.

"Kamu inget hukuman kamu apa?" tanya Dava. Desna mengangguk. "Termasuk apa?"

"Termasuk nggak boleh naik kendaraan pribadi? Yah, Pa? Masa Desna nggak boleh nebeng Meta? Papa yakin ngelepasin Desna naik angkot lagi? Mending juga naik taksi! Lah ini?!" Desna mendengus sebal. Ia melirik Meta yang kini melemparinya tatapan prihatin. "Apa Papa mau nganterin Desna?"

"Nggak," jawab Papanya.

"Kalo gitu ya udah Desna bareng Meta aja! Udah mau telat nih!" gadis dengan beannie biru cerah itu bersiap membuka pintu mobil namun lagi-lagi terhenti karena ucapan Nirina.

"Yakin? Kamu mau membantah perintah Mama sama Papa? Nggak takut dosa?"

Desna meraup udara sebanyak mungkin lalu menghembuskannya kasar. Meskipun gadis itu sangat sulit dikendalikan, bahkan terkesan kasar dan ketus, namun jika menyangkut kedua orang tuanya, maka gadis itu menyerah. Menyerah bukan dalam maksud sesungguhnya. Ia hanya tidak mau menjadi anak durhaka dan akhirnya.. apa kata orang-orang dulu? Ah iya. Kuwalat. "Ya udah, Desna harus naik apa sekarang? Rempong amat!"

"Kamu bareng sama-"

"Maaf, Tante, saya telat, tadi nganterin Kakek dulu," seorang lelaki dengan kemeja hijau kotak-kotak membaluti kaos putih dan celana jin hitam berdiri memunggungi Desna. Saat ini menyalami kedua orang tuanya. Sopan. Atau mungkin dibuat-buat? Entah.

Ketika suara lelaki itu memasuki otaknya, barulah kesadaran itu terkumpul. "Mam! Kok Desna dianterin dia!"

"Namanya Reno, sayang!"

"Siapapun itu! Desna nggak mau! Mendingan sama Meta kemana-mana! Mama lupa ya, kemaren orang gila itu mau ngebawa Desna kemana?!!"

"Desna!" gertak Dava tegas. Skakmat! Kalau papanya sudah berbicara dengan intonasi seperti itu, maka Desna si liar langsung melunak seketika. "Sejak kapan Papa ajarin kamu nggak sopan gitu?"

"Maaf, Pa.."

"Nak Reno kemaren minta maaf sama Mama karena bikin mobil kamu masuk bengkel, sebagai gantinya dia mau jadi sopir kamu sampai mobil kamu bener,"

"HAH?!"

"Apa kamu mau hukumannya ditambah?" Nirina tersenyum penuh arti.

"Mama kok malah lebih percaya sama orang asing sih daripada sama temen Desna sendiri?!"

Anggrek Berduri ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang